Disebabkan Penurunan Tanah, Jakarta Akan Tenggelam atau Tergenang?

Oleh Adi Permana

Editor Adi Permana


BANDUNG, itb.ac.id--Mahasiswa Teknik Geodesi dan Geomatika Institut Teknologi Bandung (ITB) menyelenggarakan acara webinar yang mengangkat isu tentang tenggelamnya Kota Jakarta beberapa tahun yang akan datang. Webinar berjudul Geodesink 2021: Our Sinking Capital From Geodesy’s Perspective disiarkan secara langsung melalui kanal Youtube Geodesink, Selasa (14/9/2021).

Acara ini menghadirkan dua pembicara, yakni Dr. Heri Andreas, S.T., M.T., dosen Program Studi Teknik Geodesi dan Geomatika ITB dan Dr. Agustan, S.T., M.Sc., Direktur Pusat Teknologi Pengembangan Sumberdaya Wilayah BPPT. Acara ini dipandu oleh Zachary Adam Hidayat sebagai MC dan Gathan Rasendriya Kumar sebagai moderator.

Pembicara pertama, Dr. Agustan memulai pemaparannya dengan menyinggung sedikit pidato Joe Biden yang menyatakan bahwa dalam 10 tahun Ibu Kota Jakarta akan tenggelam. Menurutnya, sebagai seorang saintis kita harus harus kritis, mempertanyakan, meneliti serta membuktikan sendiri pernyataan tersebut.

Menurut Dr. Agustin, masalah utama sebenarnya di Jakarta adalah banjir. Hal ini disebabkan beberapa hal seperti penurunan muka tanah dan kenaikan muka laut. Penyebab ini diidentifikasi melalui beberapa penelitian yang menggunakan satelit seperti altimetri. Pada tahun 2010 dilakukan kerja sama antara BPPT dan Geodesi ITB untuk mengolah data altimetri. Hasilnya ditemukan bahwa ada fenomena kenaikan muka laut.

Dr. Agustan juga menjelaskan bahwa untuk mengamati penurunan muka tanah digunakan teknologi InSAR (Interferometric Synthetic Aperture Radar). Pengamatan ini dilakukan dalam rentang 2014 – 2020 dan terlihat bahwa setiap tahun terdapat perbedaan hasil pengamatan yang menunjukkan penurunan muka tanah. Di akhir pemaparannya, beliau mengatakan bahwa Jakarta tidak akan tenggelam, melainkan tergenang.

Acara selanjutnya dilanjutkan oleh pemaparan Dr. Heri Andreas. Dia memulai pemaparannya dengan menegaskan pernyataan Dr. Agustin barusan, bahwa sebenarnya Jakarta tidak akan tenggelam. “Kata Jakarta tenggelam itu hanya clickbait untuk meningkatkan awareness masyarakat,” ujar dosen dari kelompok keahlian geodesi tersebut. Dia juga menambahkan bahwa masyarakat harus kritis dalam menanggapi isu ini.

Beliau menjelaskan bahwa penurunan muka tanah di Kota Jakarta sudah terjadi sejak 1997. Hasil ini didapat dengan melakukan pemodelan penurunan muka tanah menggunakan teknologi LIDAR (Light Detection and Ranging). Selain LIDAR ada juga data dari tahun 2007-2018 yang disajikan melalui fleet InSAR, terlihat memang ada penurunan tanah di beberapa daerah. “Ada yang mencapai 20 cm per tahun,” tutur beliau. Namun, dalam beberapa tahun terakhir terlihat pengurangan laju penurunan muka tanah.

Beliau menjelaskan bahwa dengan menambahkan kenaikan muka laut dan penurunan muka tanah terhadap topografi, kita bisa mengetahui wilayah mana yang berpotensi berada di bawah permukaan laut per satuan waktu. Pada tahun 2012 dibuat skenario penurunan muka tanah dan didapat bahwa potensi tenggelamnya Jakarta mencapai 31%. Setelah skenario tersebut diperbarui terdapat penurunan potensi menjadi 28%. “Ini memang terlihat berkurang, tetapi potensinya masih ada,” pungkasnya. Tentu saja topografi ini sifatnya dinamis sehingga akan terus diperbarui.

Dari data model perbaruan terakhir, terlihat bahwa 9000 hektare lahan sudah berada di bawah permukaan laut, namun di lapangan tetap kering karena adanya proses tanggul laut dan tanggul sungai.

Pada tahun ini, 14% wilayah Jakarta sudah berada di bawah laut dan diperkirakan akan menjadi 28% pada tahun 2050. Beberapa tempat seperti Muara Baru sudah turun sejauh 1 meter. Hal ini perlu diperhatikan karena akan terus bertambah jika terus diabaikan. “Jika usaha kita tidak maksimal, maka pada tahun 2050 penurunannya akan mencapai 4 meter,” kata beliau.

Dr. Andreas dan tim membuat model potensi bahwa jika hanya dipengaruhi oleh kenaikan muka laut, maka hanya 292 hektare lahan saja yang akan tergenang dan tenggelam. Namun, jika ditambah pengaruh penurunan muka tanah, maka akan bertambah menjadi 9000 hektare. Selain kedua hal tersebut, perubahan iklim di pesisir bisa membuat 16000 hektare lahan terendam.

“Untuk mencegah atau membuat Jakarta tidak tenggelam, perlu dilakukan monitoring dan early warning, menentukan faktor penyebab, serta memetakan risiko bencana dengan lebih pasti,” jelasnya. Hal ini bisa dilakukan dengan melakukan pembuatan tanggul, pembuatan pompa, serta mencari alternatif air tanah karena eksploitasi air tanah menyebabkan penurunan muka tanah.

Dr. Andreas menjelaskan bahwa ilmu geodesi dan geomatika bertanggung jawab dalam menganalisis risiko bencana. Dia juga mengimbau masyarakat untuk tidak khawatir hingga paranoid. “Jakarta tenggelam adalah clickbait bahasa media, tidak perlu khawatir, Jakarta memang berpotensi tenggelam tetapi tidak akan tenggelam,” pesannya kepada seluruh peserta yang menyaksikan acara tersebut.


Reporter: Kevin Agriva Ginting, Teknik Geodesi dan Geomatika 2020