Diskusi MLI: Gerhana Matahari 2016 sebagai Momen untuk Edukasi Publik

Oleh Abdiel Jeremi W

Editor Abdiel Jeremi W

BANDUNG, itb.ac.id - Peristiwa Gerhana Matahari Total 2016 (GMT 2016) baru saja terjadi di Indonesia pada 9 Maret 2016 lalu. Fenomena alam ini berlangsung secara berturut-turut di daerah Bengkulu, Palembang, Bangka, Belitung, Palangkaraya, Balikpapan, Palu, dan seterusnya. Masyarakat yang berada di jalur totalitas menyambutnya dengan sukacita dan histeria yang tidak terduga. Animo tinggi yang disalurkan oleh masyarakat dalam mengamati peristiwa langka ini menandai suatu langkah sukses. Kerja keras astronom dan akademisi dalam mempersiapkan warga lokal ternyata tidak sia-sia.

Setelah mengambil topik "Kalender Sunda" dan "Penerapan Pakuwuan Sunda dalam Pengelolaan Bambu", kali ini diskusi Moedomo Learning Initiatives (MLI) mengundang Mochamad Irfan, M.Si. dari Observatorium Bosscha untuk membagikan pengalamannya dalam mengamati peristiwa Gerhana Matahari Total (GMT). Selain itu, para peserta juga mendiskusikan respon masyarakat terhadap peristiwa GMT 2016 yang melewati daerah-daerah di Indonesia. Peserta yang hadir notabene adalah akademisi-akademisi di bidang Astronomi dan Sosial Humaniora. Kamis (21/04/16) itu, diskusi MLI dilaksanakan di ruang Indonesia Corner, Perpustakaan Pusat ITB.


Diskusi dibuka dengan pemaparan latar belakang oleh Prof. Hendra Gunawan. Menurut beliau, fenomena Gerhana Matahari Total belum berakhir karena masih ada pengolahan data dan publikasi yang harus dilakukan. Selanjutnya, Irfan memaparkan latar belakangnya sebagai astronom. Lulusan Astronomi ITB ini tinggal di Bosscha sejak menjadi mahasiswa. Setelah lulus, ia melanjutkan bekerja dan tinggal di Bosscha, Lembang. Bekerja di satu-satunya observatorium astronomi di Indonesia, Irfan telah banyak berinteraksi dengan berbagai jenis orang yang mengungkapkan rasa penasarannya tentang astronomi. Pengunjung yang datang berasal dari bermacam-macam kota. Hal ini memberikan sebuah wawasan akan kondisi dan profil psikologi yang beragam pula.

Bertanggung Jawab Mencerdaskan

etika pertama kali Irfan melihat peta Indonesia yang telah ditandai dengan jalur totalitas GMT 2016, timbul suatu perasaan terkejut. Berbagai pihak asing telah mempersiapkan sejumlah wisata yang mengakomodasi keinginan turis untuk bertransportasi selagi menikmati GMT. Berangkat dari rasa cemas akan kondisi masyarakat, ia memilih untuk mengamati GMT dari Kalimantan Timur. Sejumlah persiapan dilakukan sebelum melakukan pengamatan. Salah satu persiapan yang menjadi perhatian tim GMT Kaltim adalah kesiapan masyarakat untuk menikmati fenomena alam langka ini. Maka, tim GMT Kaltim berinteraksi dengan warga lokal di Balikpapan, Tana Grogot, dan Penajam Paser Utara sebelum GMT berlangsung. Berbagai macam sosialisasi dilakukan untuk mempersiapkan pemahaman yang tepat bagi masyarakat. Tujuan dari interaksi tersebut adalah agar tidak ada salah kaprah dan kecelakaan saat fenomena GMT.

Beberapa metode yang dilancarkan untuk menyampaikan pemahaman yang tepat adalah dengan sosialisasi, lomba cerdas cermat untuk siswa SMA, workshop GMT, hingga star party. Lomba cerdas cermat diselenggarakan untuk mensuasanakan GMT kepada siswa SMA di ketiga kota/kabupaten tersebut. "Ternyata, SMA-SMA di Kaltim rata-rata memiliki teleskop. Malahan, ada sebuah SMA dengan set teleskop yang lengkap beserta filternya. Namun, masih tersimpan rapi dalam kardus," ujar Irfan. Tim memutuskan untuk melakukan workshop pelatihan menggunakan teleskop dan membuat ekstensi filter matahari, agar dapat mengamati Matahari saat totalitas tidak berlangsung.

Gerhana Matahari Total pada 9 Maret 2016 menjadi lahan penelitian oleh ilmuwan dari disiplin beragam. Beberapa anggota tim Irfan adalah akademisi dari bidang Biologi. Mereka melakukan pengamatan perilaku kera Bekantan liar di pinggiran Balikpapan, baik pada saat gerhana maupun tidak. Pada akhirnya, fenomena GMT 2016 ternyata menyimpan element of surprise mengejutkan para astronom dan pengamat sosial yang menyaksikannya. Beberapa perilaku yang tidak terduga sempat teramati, seperti menangis dan histeris ketika totalitas terjadi. Dari GMT 2016, terlihat dengan jelas bahwa respon masyarakat pada 1983 dan 2016 sangat kontras. Media sosial daring disinyalir sebagai salah satu penyebabnya. Dengan sistem yang membuat informasi mudah diakses oleh semua orang, pengetahuan dapat tersebar dengan cepat dan luas. Antusiasme masyarakat terhadap pembagian kacamata matahari menjadi terlalu tinggi, padahal stok barang terbatas. Oleh karena itu, beberapa orang sempat mencoba membuat filter matahari sendiri yang belum tentu aman. Profil masyarakat Indonesia inilah yang dipelajari oleh para ahli di bidang Humaniora. Pada akhirnya, pendidikan publik menjadi sebuah elemen vital yang mempersiapkan masyarakat akan fenomena-fenomena yang terjadi, baik alami maupun tidak. "Kita memang harus turun untuk memberikan pemahaman," ujar Irfan menyudahi presentasinya.

 

sumber dokumentasi: Yoka Adam Nugraha, S.Sos. (UPT Perpustakaan)