Dosen ITB Buat Teknologi Crashworthiness untuk Kurangi Risiko Tabrakan pada Kereta Api

Oleh Adi Permana

Editor Adi Permana

*Dr. Rachman Setiawan



BANDUNG, itb.ac.id – Risiko terjadinya kecelakaan di dunia transportasi masih sangat tinggi. Kecelakaan yang dimaksud ialah salah satunya karena tabrakan antara dua atau lebih kendaraan atau dengan objek lain sehingga menyebabkan kerugian baik materil maupun korban jiwa. Karenanya, keselamatan transportasi harus menjadi konsen utama dalam desain sebuah kendaraan.

Strategi untuk mengurangi risiko terjadi kecelakaan pada kendaraan bisa dilakukan dalam dua hal, yaitu pertama dengan menerapkan keamanan aktif (active safety). Strategi ini dilakukan dengan memasang teknologi penghindar tabrakan di sebuah kendaraan dengan sensor mikro kontroler dan aktuator. Sementara strategi kedua ialah dengan menerapkan teknologi keamanan pasif (passive safety technology).

Dosen di Fakultas Teknik Mesin dan Dirgantara (FTMD) ITB, Dr. Rachman Setiawan bersama tim melakukan sebuah riset yang berfokus pada teknologi keamanan pasif yaitu penerapan crashworthiness technology. Teknologi tersebut dibuat dalam rangka mengurangi risiko crash atau tabrakan pada kereta api. “Riset kami berfokus pada teknologi keamanan pasif, yaitu dengan cara meningkatkan crashworthiness di kendaraan,” ujarnya.

Crashworthiness sendiri didefinisikan sebagai kemampuan struktur atau kendaraan untuk melindungi para penumpang atau kargo ketika terjadi kecelakaan tabrakan. Di dalam transportasi kereta api, di mana kecepatan dan jumlah penumpang sangat tinggi, dampak dari kecelakaan yang bisa ditimbulkan akan besar pula.

“Tujuan utama crashworthiness adalah untuk meningkatkan keselamatan kereta api jika terjadi tabrakan. Tentu kita tidak mengharapkan kejadian tersebut terjadi, tapi kalau memang terjadi, manusianya harus tetap selamat,” jelas Dr. Rachman saat ditemui reporter Humas ITB belum lama ini.

Dosen pada Kelompok Keahlian Perancangan Mesin tersebut menerangkan, jika teknologi tersebut diterapkan, saat kejadian tabrakan struktur kereta memang akan mengalami kerusakan pada bagian tertentu saja. Tapi bukan pada bagian (gerbong) yang banyak diisi penumpang. Sehingga dengan begitu bisa meminimalisir korban jiwa. “Crashworthiness sendiri tidak hanya pada kereta api, tapi juga bisa diterapkan pada kendaraan lain. Tapi untuk penelitian ini lebih spesifik kepada kereta api, karena jika sekali tabrakan, bisa fatal dengan korban yang sangat besar,” tambahnya.


*uji skala lapangan modul penyerap impak kereta api. Hasil uji skala lapangan modul penyerap impak kereta api yang direkam dengan kamera video kecepatan tinggi (5000 frame per detik). 

Dr. Rachman menambahkan, kecelakaan pada kereta api bisa disebut memiliki risiko yang cukup fatal sebab kereta melaju dengan kecepatannya tinggi, memiliki muatan yang cukup berat, dan diisi banyak penumpang. Walaupun pada dasarnya kereta api memang sudah didesain sebagai kendaraan massal untuk tidak terjadi tabrakan, akan tetapi dalam sejarahnya, tabrakan sering terjadi.

“Pada intinya mekanisme kerja crashworthiness ini adalah bagaimana menyerap energi tabrakan. Karena tabrakan dengan kecepatan 100 km per jam, energi tabrakan itu akan merusak struktur dan bahkan sampai penumpang terlempar. Dalam penelitian ini kita mendesain sehingga energi-energi tersebut bisa kita serap di bagian kereta yang tidak ada penumpangnya,” terangnya.

Desain dari alat crashworthiness sendiri terletak pada bagian gerbong kereta api dekat dengan sambungan antar gerbong. Pada bagian sambungan atau dekat dengan pintu masuk tersebut merupakan zona dilarang ada penumpang.

*Ilustri: Dok. Pribadi

Untuk mewujudkan teknologi keamana pasif pada kereta api nasional, beberapa riset dari crashworthiness juga sudah dilakukan. Pertama pembuatan desain yang mengutamakan pada penyerapan energy impact secara spesifik, untuk diaplikasikan di kereta nasional dengan modifikasi minimum dari desain kereta api yang sudah ada.

Kedua, untuk menghindari dampak yg lebih besar jika terjadi kecelakaan, ITB juga telah mendesain teknologi “anti-climber”. Jadi ketika tabrakan terjadi, kereta tidak akan sampai naik ke gerbong lainnya. Teknologi tersebut bisa diimplementasi secara spesifik di Indonesia tapi juga bisa untuk seluruh dunia dengan beberapa modifikasi yang minimal.

Riset teknologi crashworthiness sendiri, dipaparkan Dr. Rachman, sudah diinisiasi sejak 2000 awal. Namun sampai sekarang belum diterapkan di kereta api Indonesia. Untuk itu, tim peneliti pada teknologi crashworthiness tersebut berupaya melakukan pendekatan kepada pemerintah agar mengimplementasikan teknologi tersebut terutama kepada PT. Kereta Api Indonesia dan PT. Inka.



“Sekarang target kita sampai diimplementasikan. Problemnya adalah, kita punya teknologi tapi kalau tidak dipakai akan percuma. Kita sudah meyakinkan baik ke PT. Kereta Api Indonesia dan PT. Inka bahwa teknologi ini sudah bisa digunakan. Jadi kalau diterapkan tidak akan terlalu mahal. Kita juga sudah ke Kementerian Perhubungan bahwa harus ada teknologi crashworthiness, dan teknologinya sudah ada,” ucapnya.

Dia juga mengatakan, bahwa teknologi crashworthiness bisa diaplikasikan pada semua jenis kereta api. Teknologi tersebut sudah diujicobakan, dan diterapkan salah satunya pada LRT Palembang atas kerjasama dengan PT. Inka. “Mudah-mudahan, kereta api di Indonesia bisa terpasang alat tersebut,” harapnya.