Filter Mikroalga: Solusi Tepat Penanganan Limbah Logam Berat

Oleh Yasmin Aruni

Editor Yasmin Aruni

BANDUNG, itb.ac.id - Semakin maraknya kehadiran industri di tanah air tak pelak membawa efek samping berupa semakin banyaknya limbah yang akan dibuang ke lingkungan. Limbah industri cair sebagian besar masih mengandung logam berat yang sulit diolah sehingga akan sangat mudah menurunkan kualitas air bersih. Menyikapi hal ini, Afriana Maharani Puteri, Gesit Nurdaksina, Adi Wiguna (Rekayasa Infrastruktur Lingkungan 2013) dan Ganjar Abdillah Ammar (Rekayasa Hayati 2013) yang tergabung dalam tim Algacentrum ITB mempersembahkan sebuah konsep prototype filter logam berat yang dipamerkan di Galeri Gajah CC Timur ITB mulai Senin (25/04/16). Uniknya, filter yang mampu menyerap logam kromium (Cr) dalam bentuk ion ini menggunakan mikroalga sebagai agen utama penghancur bahan pencemar dalam air.

Mikroalga ialah organisme mirip tanaman namun tidak memiliki akar, batang dan daun. Mikroalga dapat dijumpai dengan mudah di permukaan air tawar dan air laut dengan bentuk menyerupai rambut-rambut halus. Organisme fotosintetik ini juga menghasilkan 50% oksigen yang terkandung di atmosfer. Dari ratusan ribu spesies mikroalga yang ada di Bumi, baru sekitar 35.000 spesies saja yang mampu diidentifikasi oleh manusia. Ini menunjukkan bahwa potensi mikroalga sangat besar untuk dikembangkan.

Sejauh ini, mikroalga telah cukup banyak dimanfaatkan dalam berbagai bidang, mulai dari perikanan (sebagai makanan larva ikan), industri farmasi (penghasil suplemen bernutrisi tinggi), hingga energi alternatif biodiesel (dengan menghasilkan etanol). Adapun tim Algacentrum ITB mencoba memanfaatkan mikroalga dalam bidang bioremediasi, yakni teknik pengendalian pencemaran dengan memanfaatkan proses-proses biologis. Selain pertimbangan efek samping yang dihasilkannya, bioremediasi lebih menguntungkan jika dibandingkan dengan remediasi biasa karena menghabiskan biaya operasional yang lebih murah. Dalam remediasi limbah logam berat di perairan umumnya digunakan senyawa klorin (Cl2) sedangkan dalam bioremediasi dapat digunakan mikroalga yang diantaranya berjenis Nannochloropsis, Scenedesmus, dan Quadricauda. Mikroalga lebih disukai dalam bioremediasi limbah logam berat dibandingkan agen biologis lain seperti mikroba dan jamur karena struktur tubuhnya lebih mudah berikatan dengan ion logam sehingga memiliki kemampuan adsorpsi yang lebih tinggi. Selain itu mikroalga juga merupakan agen yang dapat mereduksi limbah secara berkelanjutan (sustainable), tidak seperti klorin yang dapat langsung habis setelah beberapa kali digunakan.

Remediasi yang menggunakan klorin biasanya dilakukan dengan metode presipitasi, yakni memisahkan kandungan logam berat dari air dengan mengendapkannya di dalam sebuah bak. Adapun dalam konsep purwarupa yang ditawarkan Afriana dan tim, digunakan metode filtrasi melalui sebuah filter yang merupakan sebuah bioreaktor. "Kalau pengolahannya pakai filter bisa lebih mudah mengolahnya karena tinggal melewatkan limbahnya melalui filter," ujar Afriana. Nantinya, mikroalga yang telah dikeringkan diletakkan diantara dua lapisan jaring dalam sebuah tangki bioreaktor. Begitu limbah cair dilewatkan, ion logam berat akan terserap oleh mikroalga sehingga dihasilkan kualitas air bersih yang lebih baik.

Filter limbah milik tim Algacentrum ITB ini baru didesain untuk menyerap logam berat jenis kromium heksavalen saja. Kromium heksavalen dipilih karena merupakan salah satu jenis logam berat yang paling berbahaya di alam. Ion kromium jenis ini merupakan ion kromium yang paling mudah larut dalam air dan dapat membuat ion yang berada disekitarnya teroksidasi dengan mudah. Hal ini menyebabkan limbah cair dapat dengan mudah masuk kedalam tubuh makhluk hidup. Konsumsi manusia akan produk-produk perairan yang sudah tercemar limbah cair, baik berupa air, ikan, maupun tanaman air dapat meningkatkan kemungkinan kanker dan masalah pernapasan. "Pemanfaatan mikroalga dalam mengelola kadar logam berat pada limbah logam akan sangat membantu mengurangi pencemaran air di Indonesia," tulis tim Algacentrum ITB dalam kolom deskripsi karya milik mereka.
Melalui pameran Galeri Gajah ini, tim Algacentrum ITB berharap semakin banyak orang yang tahu dan dapat memberikan masukan bagi filter mikroalga. Konsep yang diikutsertakan dalam Pekan Kreativitas Mahasiswa (PKM) ini juga ditawarkan secara langsung kepada industri yang ingin bekerjasama lebih lanjut. "Kalau ada industri yang berminat, kami bisa mengembangkan produk ini dalam skala besar," jelas Afriana di akhir sesi wawancara.

ITB Journalist Apprentice 2016

Muhammad Arief Ardiansyah (Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati Program Rekayasa 2015)