FSRD ITB Teliti Serat Rami sebagai Smart Textile

Oleh Adi Permana

Editor Vera Citra Utami

*Sampel kain rami beratribut self-cleaning yang diproduksi menggunakan ATBM (Foto: Dok. LPPM ITB)

BANDUNG, itb.ac.id--Kelompok Keahlian Kriya dan Tradisi, Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD) ITB telah melakukan penelitian mengenai penerapan teknologi dalam serat alam. Mereka membuat penelitian tentang tekstil pintar (smart textile).

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi memiliki dampak yang besar termasuk terhadap perkembangan karakteristik tekstil. Tekstil pintar merupakan istilah untuk kain yang dapat merespons rangsangan lingkungan yang bersifat mekanik, termal, kimia, listrik, ataupun sumber magnet. Istilah smart textile sendiri masih belum umum didengar oleh masyarakat Indonesia.

Dilatarbelakangi oleh penggunaan serat alam terutama rami yang masih umum digunakan di Indonesia, penelitian yang bertujuan untuk menghasilkan produk tekstil pintar dari serat alam ini dilakukan pada tahun 2014 hingga 2015. Penelitian dilakukan oleh Innamia Indriani, S.Ds., M.Ds. dan Adi Surya Pradipta, S.T., M.T., yang dilakukan di bawah arahan Prof. Bambang Sunendar (FTI ITB) dan Dr. Kahfiati Kahdar, M.A. (FSRD ITB).

“Serat rami sudah berkembang di Indonesia sejak tahun 1911, di mana serat ini mudah didapatkan, ramah lingkungan, dan memiliki spesifikasi yang mirip dengan kapas tetapi dengan daya tahan yang lebih kuat,” kata Innamaia, dalam rubrik Rekacipta ITB yang diterbitkan Media Indonesia.

Ia mengatakan, penelitian berfokus untuk mendapatkan benang dari serat rami yang memiliki karakteristik self-cleaning, sehingga kain yang terbuat dari benang tersebut akan bersifat antiair diikuti dengan kemampuan membersihkan diri sendiri ketika terdapat air yang membasahi.

Penerapan teknologi nano merupakan kunci untuk merealisasikan penelitian ini. Layaknya permukaan daun teratai atau daun talas, benang yang berbahan dasar serat rami dimodifikasi agar menghasilkan fenomena lotus effect. Melalui pengamatan dalam skala mikro, diketahui bahwa daun teratai atau daun talas memiliki permukaan yang tidak rata.

“Hal ini disebabkan terdapat papila atau tonjolan kecil yang berfungsi untuk menangkap tetesan air yang jatuh ke permukaan daun dan mempertahankan bentuknya sehingga tidak berubah menjadi globules secara langsung. Fenomena inilah yang menyebabkan permukaan daun tersebut memiliki karakteristik anti-air melalui kondisi hidrofobik (tidak berinteraksi dengan air),” katanya.

Karakteristik self-cleaning juga terinspirasi oleh keberadaan papila yang menyebabkan tetesan air terus bergulir hingga jatuh dari permukaan daun di mana secara tidak langsung tetesan air tersebut sekaligus membersihkan permukaan daun. Akan tetapi, self-cleaning ini juga dipengaruhi oleh faktor-faktor lain seperti posisi daun, massa air, serta sudut antara permukaan daun dengan tetesan air.

Penelitian ini membuahkan hasil. Tim akhirnya memperoleh benang serat rami dengan karakteristik self-cleaning. Selain itu, didapatkan pula kain yang terbuat dari benang ini.

Hadirnya kain dengan karakteristik self-cleaning yang dibuat menggunakan alat tenun bukan mesin atau ATBM ini menunjukkan bahwa suatu hal sederhana atau tradisional dapat dikolaborasikan dengan hal modern atau berteknologi tinggi.

“Penggunaan ATBM tidak mengganggu performa self-cleaning pada benang tersebut. Namun, diperlukan studi lebih lanjut untuk mengetahui ketahanan dan kualitas performa self-cleaning tersebut,” jelasnya.

Program pengabdian masyarakat ini telah dipublikasikan di Media Indonesia rubrik Rekacipta ITB tanggal 29 Juni 2021. Artikel selengkapnya dapat dilihat melalui tautan https://pengabdian.lppm.itb.ac.id/

Reporter: Ghina Aulia (Mikrobiologi, 2019)