HMFT Masuk Desa 2008: Keranjang Takakura sebagai Alternatif Masalah Sampah
Oleh niken
Editor niken
Keranjang Takakura merupakan alat pengomposan skala rumah tangga hasil temuan Pusdakota bersama Pemerintah Kota Surabaya, Kitakyusu International Techno-cooperative Association, dan Pemerintahan Kitakyusu Jepang pada tahun 2005. Keranjang ini merupakan hasil penelitian dari seorang ahli bernama Mr. Koji Takakura ( Jepang). Pembuatan keranjang ini berawal dari jumlah sampah yang semakin meningkat di Surabaya sekitar tahun 2001.
Keranjang Takakura terdiri dari sebuah keranjang plastik yang berlubang, kardus, starter kompos, bantalan sekam, dan selembar kain. Lubang pada keranjang plastik bertujuan melancarkan sirkulasi udara di dalam keranjang, bantal sekam di bagian bawah keranjang berfungsi sebagai penampung air lindi dari sampah sehingga bisa menyerap bau. Bantal sekam juga berfungsi sebagai alat kontrol udara di tempat pengomposan agar bakteri berkembang dengan baik, sedangkan kain berfungsi untuk penghalang lalat atau nyamuk agar tidak masuk ke keranjang. Untuk proses yang maksimal, keranjang tidak boleh diletakkan di tempat yang terkena sinar matahari secara langsung.
Satu keranjang standar dengan starter kompos 8 kg dapat dipakai oleh keluarga dengan jumlah anggota keluarga sebanyak 7 orang. Sampah rumah tangga yang diolah di keranjang ini maksimal 1-1,5 kg per hari. Jenis sampah organik yang bisa diproses di keranjang ini contohnya sisa sayuran, sisa nasi, sisa ikan, ayam, kulit telur, dan sampah buah yang lunak. Sampah yang telah dipotong kecil dikubur ke dalam starter kompos, ditutupi bantalan sekam dan kain, lalu ditutup rapat. Proses pengomposan berlangsung sekitar 2-3 bulan. Setelah 3 bulan, 1/3 bagian dr keseluruhan diambil dan sudah dapat dijadikan pupuk kompos. Proses diulang kembali dari penguburan sampah.
Proses pengomposan terkadang tidak berjalan sempurna, ada kemungkinan kompos menjadi terlalu kering atau dalam keranjang terdapat banyak belatung. Untuk kompos yang kekeringan, campuran bisa ditambahkan air hingga kelembabannya dianggap pas, sedangkan apabila terdapat belatung, campuran harus ditambahkan sekam.
Program HMFT masuk desa kali ini dimulai dengan penyuluhan teori berupa presentasi yang dilaksanakan di balai Desa Sukawening, lalu dilanjutkan dengan praktik langsung. Mahasiswa 2007 dibagi menjadi 15 kelompok yang masing-masing kelompok menjelaskan dan mempraktikkan bagaimana cara menyusun keranjang, memasukkan sampah, hingga menyimpan keranjang yang sudah siap. Dengan adanya penyuluhan mengenai pentingnya pengelolaan sampah mulai dari lingkungan yang kecil seperti rumah tangga, diharapkan masalah lingkungan mengenai sampah bisa perlahan teratasi.