Karsa Loka Volume 007: Pesantren dan Pengembangan Masyarakat

Oleh Adi Permana

Editor Adi Permana


BANDUNG, itb.ac.id--Sebagai perwujudan kerja sama antara Rabithah Ma'ahid Islamiyah (RMI) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dengan Institut Teknologi Bandung dalam pemanfaatan teknologi tepat guna bagi pesantren, pada Jumat (7/5/2021) diadakan Gelar Wicara ITB bertajuk Lokakarya Pesantren: Social-Lab untuk Inovasi Berbasis Pertanian Terpadu.

Acara ini merupakan program rutin dari LPPM ITB. Pada kesempatan ini dilakukan dalam dua sesi, dengan sesi pertama mengangkat tema Pesantren dan Pengembangan Masyarakat yang dibawakan Angga Dwiartama, Ph.D., dari SITH ITB dan Alhilal Furqan, Ph.D. dari SAPPK ITB.

Acara yang dipandu oleh dr. Rizwa Nafiati dari RMI NU ini diawali dengan penjelasan hubungan pertanian dengan perubahan sosial. Jawaban atas pertanyaan tersebut dapat dilihat dari bagaimana interaksi antara masyarakat dengan alam berubah dari waktu ke waktu; mulai dari berburu dan meramu hingga mengenal pertanian. Begitu pula dengan struktur masyarakat yang sederhana dan tidak sekompleks struktur masa kini.

Dalam Islam, pesantren memiliki andil sangat besar dalam memperbaiki dan mengembangkan masyarakat. Perubahan ini, dikutip dari Eric Holt-Gimenez tahun 2011, dapat digolongkan menjadi empat kategori; konservatif, reformis, progresif, dan radikal. Diharapkan bahwa perubahan yang terjadi adalah perubahan reformis dan progresif. Perubahan-perubahan ini dilakukan dengan langkah-langkah kecil namun juga dapat memperbaiki kondisi sosial.

Menurut Alhilal Furqon, pesantren juga dapat berperan dalam masyarakat perdesaan. Hal ini dilatarbelakangi oleh pemahaman pesantren yang pada umumnya dikenal di lingkungan perdesaan. Aktivitas pesantren berupa dakwah, tarbiyah, serta nashrul fiqah merupakan aktivitas utama yang diiringi dengan fungsi-fungsi lain yang sering melekat seperti produksi pertanian, industri, dan lain sebagainya.

“Yang ingin saya usulkan di sini adalah upgrade fungsi tersebut tanpa mengurangi makna utamanya,” katanya. Sebetulnya, menurut Furqon, makna pariwisata seperti destinasi dan daya tarik wisata, juga dapat dilihat sebagai syiar da’wah pada masyarakat yang lebih luas. Masyarakat yang lebih luas yang dimaksudkan di sini adalah masyarakat perkotaan atau kelompok urban sebagai wisatawan.

Syiar da’wah selama ini juga sering dilakukan sebagai fungsi pariwisata, antara lain sebagai media pembelajaran singkat dalam bentuk santri kilat serta pengenalan budaya dan tradisi pesantren. Terkait dengan pariwisata, masyarakat urban pada umumnya mencari destinasi-destinasi wisata yang menerapkan konsep pariwisata berkelanjutan; kecenderungan wisatawan global juga memiliki relevansi dengan fungsi pariwisata pada pesantren.

Dipaparkan lebih lanjut oleh Alhilal bahwa pendekatan pariwisata perdesaan atau pengembangan bertumpu masyarakat memiliki beberapa langkah-langkah yang harus diterapkan. Langkah 1 hingga 4 merupakan langkah untuk mengembangkan pariwisata yang diawali dengan mengenali kebutuhan masyarakat. Langkah pengembangan ini kemudian dilanjutkan dengan mengedukasi masyarakat, mengidentifikasi kelompok atau individu penggerak, serta mempersiapkan dan mengembangkan organisasi masyarakat.

“Langkah selanjutnya setelah pengembangan, sektor ini haruslah ditopang agar tetap dapat bertahan,” jelasnya. Lebih lanjut ia mengatakan, “Hal ini dapat direalisasikan melalui kerja sama dengan pihak lain, pendekatan-pendekatan yang sesuai, pengemasan sedemikian rupa hingga produk laik jual, mengidentifikasi pasar, serta proses memonitor performa dari awal hingga akhir.”

Reporter: Athira Syifa P. S. (Teknologi Pascapanen, 2019)