Kuliah Tamu Palinologi ITB Bahas Sisi Lain Batubara di Indonesia

Oleh Adi Permana

Editor Adi Permana


BANDUNG, itb.ac.id—Indonesia dikenal dengan kandungan Sumber Daya Alam yang melimpah, salah satunya adalah batubara. Walaupun masih banyak yang memandang sebelah mata, tetapi batubara memiliki nilai ekonomi yang tinggi. Hal ini diungkapkan dalam kuliah tamu GL5061 Palinologi yang dibawakan secara daring oleh Subkoordinator Pusat Sumber Daya Mineral Batubara dan Panas Bumi Kementerian ESDM, M. Abdurachman Ibrahim, S.T., M.T., Senin (5/4/2022).

Definisi Batubara

Secara definisi batubara adalah suatu endapan yang terdiri dari bahan-bahan organik maupun anorgani yang terbentuk akibat hasil akumulasi sisa-sisa tumbuhan yang telah mengalami pemadatan melalui proses ubahan secara fisika dan kimia oleh panas dan tekanan selama waktu geologi. Kualitas batubara dapat ditentukan berdasarkan pemendamannya, semakin dalam maka kualitas batubara semakin baik.

Potensi Batubara Indonesia

Batubara dikenal sebagai dirty energy karena emisi CO2 batubara yang tinggi, tetapi batubara dapat meningkatkan perekonomian Indonesia. Dalam presentasinya, Ibrahim menunjukan data yang menyebutkan bahwa cadangan batubara Indonesia hanya 3%, sebuah angka yang sangat kecil akan tetapi Indonesia menjadi negara pengeskpor batubara terbesar di dunia.

Berdasarkan data dari Pusat Sumber Daya Mineral Batubara dan Panas Bumi Kementerian ESDM, total sumber daya batubara Indonesia sebesar 110 M Ton, total cadangan 36 M Ton, total inventori 24 M Ton, dan total target eksplorasi 6 M Ton yang tersebar di beberapa provinsi di Indonesia seperti Sumatera, Kalimantan, Papua, dan sedikit di Jawa dan Sulawesi-Maluku.

Pertambangan batubara masih menjadi salah satu industri utama di masa depan pada sektor nonmigas di Indonesia dengan tingkat produksi mencapai lebih dari 60 juta ton/tahun. Bahkan, cadangan batubara di Indonesia masih mencukupi untuk jangka panjang yang diperkirakan sisa cadangan pada tahun 2040 mencapai lebih dari 24,8 miliar ton.

Akan tetapi, hal ini tidak berbanding lurus dengan permintaan yang justru mengalami penurunan 40% (4,731 ton) di tahun 2050. Hal ini disebabkan oleh pengetatan peraturan lingkungan khususnya untuk power plant dan peningkatan EBT sebagai sumber energi primer. Oleh karena itu, Pusat Sumber Daya Mineral Batubara dan Panas Bumi Kementerian ESDM mulai berfokus untuk percepatan transisi penggunaan batubara sebagai sumber karbon baik untuk bahan baku kimia ataupun material karbon maju.

Program Pemanfaatan dan Pengembangan Batubara Indonesia

Upaya pemanfaatan lainnya yakni optimalisasi PLTU eksisting dan tambahan PLTU dengan penerapan teknologi Clean Coal Technology, Carbon Capture Storage (CCS), dan Carbon Capture Utilization & Storage (CCUS). Hal ini mengingat 35% emisi CO2 dihasilkan dari Pembangkit Listrik dari batubara sehingga dengan menggunakan CCS/CCUS diharapkan dapat mengurangi emisi CO2 melalui teknologi pemanfaatan CO2 untuk produksi alga maupun injeksi Enhanched Oil Recovery (EOR). Selain itu, mengoptimalisasikan pemanfaatan batubara Indonesia dengan penerapan teknologi ramah lingkungan (Clean Coal Technology / CCT) hingga tahun 2045 juga tengah digencarkan pemerintah.

Selain program pemanfaatan, batubara juga dapat dikembangkan melalui berbagai program di antaranya, coal gasifikasi (produk berupa methanol dan DME), coal liquefaction (produk berupa gasoline dan solar), coal briquette (produk berupa briket batubara-biomassa dan briket terkarbonisasi), cokes making (produk berupa batubara metalurgi sebagai campuran untuk besi baja), coal upgrading (batubara untuk kelistrikan dan industri), ekstraksi (produk berupa material maju dan REE), dan ekstraksi (produk berupa material argo industri seperti asam humat dan asam fulvat).

Keberadaan batubara di Indonesia tidak akan hilang namun akan menjadi sumber daya yang terbuang sia-sia apabila tidak dimanfaatkan dengan baik. Selain ditunjang dari data total sumber daya dan cadangan batubara, di Indonesia masih terdapat greenfield / wilayah yang memiliki formasi pembawa batubara namun belum diusahakan mencapai sekitar 67,32%. Sehingga, peran geoscientist dalam hal ini sangat dibutuhkan terutama ahli geologi mengingat 50% kesalahan proyek gagal tambang karena pengambilan data dan kesalahan interpretasi geologi. Selanjutnya, dengan kolaborasi dan berbagai program pengembangan dan/atau pemanfaatan batubara yang akan membuat batubara tetap eksis ke depannya.

Reporter: Pravito Septadenova Dwi Ananta (Teknik Geologi, 2019)