Kuliah Tamu SAPPK ITB: Sejarah Keamanan Energi dan Perubahan Iklim Indonesia

Oleh Adi Permana

Editor Vera Citra Utami


BANDUNG, itb.ac.id – Sekolah Arsitektur, Perencanaan, dan Pengembangan Kebijakan (SAPPK) ITB melaksanakan kuliah umum untuk membuka Tahun Akademik 2021/2022 pada Jumat (3/9/2021) dengan tema “The History and Future of Energy Security and Climate Change in Indonesia”. Kuliah umum ini dimoderatori oleh Aswin Indraprastha, Ph.D., dan Adiwan Fahlan Aritenang, Ph.D., serta menghadirkan narasumber utama Prof. Budy P Resosudarmo dari Australian National University.

Kuliah umum diawali dengan sambutan dari Dr. Sri Maryati. “Dengan tugas melaksanakan penelitian, pendidikan, dan pengabdian masyarakat di bidang perencanaan desain dan pengembangan kebijakan di lingkungan, energi dan perubahan iklim tentunya sangat erat kaitannya. Hari ini kita menghadirkan pembicara terkemuka yang memiliki pengalaman dalam bidang ini dan saya percaya kita akan mendapatkan pengetahuan yang sangat bermanfaat,” sambutnya selaku Dekan SAPPK ITB.

Membuka paparan, Prof. Budy menyampaikan bahwa pembicaraan tidak hanya fokus pada inti masalah, yaitu keamanan energi dan perubahan iklim, tetapi membahas secara menyeluruh tentang pendekatan terhadap masalah tersebut dan mencari tahu mengapa kita sampai pada situasi saat ini. “Salah satu cara meninjaunya adalah melalui sudut pandang historis,” tukasnya.

Ia menyebutkan bahwa Indonesia memiliki keragaman sumber daya, baik gas, minyak, maupun komoditas. Keragaman sumber daya yang ada di Indonesia sangat penting, terutama dalam hal ekonomi. “Di masa penjajahan, Belanda ingin mengeruk sumber daya di Indonesia dengan melakukan monopoli perdagangan dan perampasan wilayah, terutama di Jawa dan Sumatra. Setelah kemerdekaan, pada era Soekarno, ekonomi Indonesia sempat mengalami penurunan,” jelas Prof. Budy.

Ia melanjutkan, “Terjadi percepatan pertumbuhan negara pada masa Soeharto setelah dikeluarkannya peraturan mengenai sumber daya, investasi, kehutanan, dan pertambangan. Dalam 5 tahun, terjadi peningkatan 50 persen pada sumber daya di Indonesia. Strategi tersebut berhasil membangun Indonesia hingga menurunkan angka kemiskinan sampai hampir 50 persen.” Namun, strategi tersebut mengakibatkan eksploitasi sumber daya. Permasalahan lingkungan juga kurang diperhatikan.

Kemudian, pada era Habibie, Gus Dur, dan Megawati, Indonesia mengalami pemulihan finansial. Peraturan mengenai hutan kembali dikeluarkan di era Susilo Bambang Yudhoyono, tetapi substansinya berbeda dari sebelumnya. “Pada era SBY, harga komoditas khususnya pertambangan dan perkebunan naik. Pertambangan batubara mulai terbuka dan produksinya meningkat setiap tahun. Indonesia bahkan termasuk dalam 5 besar negara pengekspor batu bara meskipun bahan bakunya tak sebanyak negara pengekspor terbesar lainnya,” ungkap Prof. Budy.

Akibat adanya penggunaan lahan yang berlebihan dari aktivitas tersebut, Indonesia menjadi salah satu negara penghasil emisi karbon dioksida terbesar secara global. Masih pada era yang sama, SBY menyiapkan strategi dalam menangani emisi karbon. Kemudian pada tahun 2014 bergantilah menjadi era Jokowi yang nawacitanya memprioritaskan pembangunan infrastruktur. Seiring dengan meningkatnya pertumbuhan ekonomi, meningkat pula kebutuhan energi yang digunakan. Sayangnya Indonesia belum mampu mengadopsi teknologi yang lebih hemat energi.

“Kondisi lingkungan masih tidak diperhatikan, padahal penggunaan batubara telah berkembang dan menjadi pendorong utama terjadinya emisi karbon dioksida. Hal yang perlu kita pikirkan sekarang adalah sumber daya dan energi kita sudah mulai berkurang jumlahnya. Apakah ada sumber daya lain yang dapat mendorong perekonomian kita? Akan sangat sulit mendorong perekonomian dengan sumber daya alam yang ada sekarang ini,” jelas Prof. Budy.

Dalam masalah pembangunan, Indonesia dapat berkembang karena memiliki nilai investasi dari kekayaan yang ada. Namun, perlu diperhatikan lagi cara mengatasi energi yang diperlukan. “Konsekuensi dari kondisi lingkungan sekarang ini adalah jumlah energi yang ada tidak cukup. Apakah dengan diadakannya kebijakan dalam mengamankan energi dapat mendukung pengentasan properti?” Prof. Budy melempar pertanyaan retorika.

Ia menyebutkan bahwa di masa depan terdapat dua kemungkinan untuk mengamankan energi dalam mendukung pembangunan. Pertama, energy integrity, yaitu menghubungkan sistem energi dan mengembangkan satu pasar energi. Kedua, renewable energy, terutama tenaga surya dan air secara ekstensif. “Dua hal tersebut dapat dilakukan meskipun belum diketahui secara pasti apakah hal tersebut benar-benar mendukung ekonomi dan mengentaskan kemiskinan atau tidak,” tutur Prof. Budy.

Di akhir paparan, Prof. Budy menekankan bahwa Indonesia perlu mengendalikan dan mengamankan energi dengan mengendalikan emisi karbon. “Tujuan lebih besarnya, salah satunya, adalah untuk mengentaskan kemiskinan,” pungkasnya.

Reporter: Zahra Annisa Fitri (Perencanaan Wilayah dan Kota, 2019)