Memandang Kebebasan dengan Logika dan Rasa

Oleh Adi Permana

Editor Adi Permana


BANDUNG, itb.ac.id—Studium Generale KU-4078 Institut Teknologi Bandung (ITB) pada Rabu (10/3) lalu menghadirkan tokoh yang selalu tampul dengan iket Sundanya, yaitu Kang Dedi Mulyadi. Ia berbicara tentang “Memahami Semesta dalam Pandangan Nalar dan Rasa”.

Tampil dengan materi yang filosofi dan erat dengan unsur kesundaan, Wakil Ketua Komisi IV DPR RI, ini menerangkan bahwa kegagapan orang Indonesia dalam sejarah peradabannya karena gagal dalam mengartikulasikan masalah di Indonesia. Hal ini dikarenakan masyarkat masih menganggap masa lalu sebagai ketertinggalan sejarah, cerita yang hanya ada pada dongeng/sastra fiktif lainnya. Sehingga terjadi loncatan dalam kelola berpikir yang menyebabkan adopsi pemikiran yang membabi buta. Dan dalam pelaksanaannya menjadi sebuah masalah.

”Kenapa menjadi problem? Berangkat dari falsafah Sunda ‘Cing caringcing pageuh kancing, Set saringset pageuh iket’ yang bermakna bahwa manusia sempurna, manusia Indonesia seutuhnya, manusia jawa, dan manusia Sunda”.

Merujuk dari kalimat tersebut ia menjelaskan jika sejatinya manusia memiliki 4 kerangka, yaitu tanah, air, udara, dan matahari. Dan apabila dianalogikan sebagai warna hitam melambangkan tanah, kuning-udara, putih-air, dan merah sebagai api. Analogi tersebut diadopsi dari falsafah sunda “Papat Kalimat Pancer”.

“Komponen tersebut sebenarnya merupakan sebuah pertikaian manusia dengan alam secara utuh. Yang dialektikanya dimulai dengan dialektika rasa,” imbuh Kang Dedi.
Konsep ini memberi pemahaman bahwa mulailah sesuatu dengan sebuah rasa. Karena jika segala tindakan tidak didasari sebuah rasa atau hatinya melakukan penolakan maka nilai yang dihasilkan dari kegiatan tersebut tidak akan tercapai. Egoisme yang dilakukan oleh seorang teknokrat akan memiliki dampak yang sangat luas apabila hatinya tak mau menerima pendapat.


Ia berpendapat, pemahaman rasa ini merupakan pengetahuan yang biasa namun dibungkus dengan bahasa yang berbeda. Dalam teori alam hati hal tersebut disebut alam Mayapada. Dalam alam ini, manusia memiliki kesamaan di mana berasal dari energi, kekuatan, dan atmosfer yang sama (fitrah jika dalam ajaran Islam). Sebagai dasar lalu alam turun menjadi alam marcapada, alam yang sering disebut sebagai alam material sehingga memiliki batasan ruang dan waktu.

“Batasan tersebut mengharuskan kita sebagai manusia untuk menggunakan nalar yang melahirkan kerangka berpikir sistemik yang disebut logika. Logika yang dimiliki setiap orang berbeda – beda berdasarkah sistem nilai yang berkembang di wilayahnya. Hal ini menandai bahwa daerah yang memiliki logika yang baik di sana diterapkan kebebasan berpikir sehingga logika yang berkembang tidak memiliki batasan. Logika yang berkembang ini akan diartikulasikan oleh sebuah negara sebagai kebijakan pembangunan,” ungkapnya.

Terkait hal ini analogi yang sangat menarik yang dibawakan adalah tentang Borobudur. Pada Borobudur terlihat di sekelilingnya banyak orang yang bermain musik. Mulai dari musik tiup hingga gesek. Dan pada faktanya pada seluruh dunia menggunakan semua konsep alat musik itu. Hal ini menimbulkan 2 kemungkinan pernyataan. Bisa saja pemusik dunia pernah berkumpul pada Borobudur atau musik Indonesia berkembang dan dikembangkan di seluruh dunia.

Kedua, Borobudur selalu dikaitkan dengan hal mistis. Padahal jika dikaji lebih dalam akan banyak hal yang dapat dibuktikan. Sehingga kerangka berpikir untuk mencari kebenaran yang dapat mendekatkan kita pada sebuah kebanggan terhadap masa lalu kita. Di mana leluhur kita membangun sebuah peradaban ini dengan menggunakan logika dan rasa. Sehingga hal ini akan menghasilkan kejelasan artikulasi alam semesta. “Antara logika dan rasa bukan yang dipertentangkan tapi sesuatu yang disatukan“

Reporter : Muhammad Rafli Ramadhan (Teknik Mesin, 2019)


scan for download