Menelisik Perkembangan Kecerdasan Buatan bersama Peneliti AI Senior di Google DeepMind
Oleh Adi Permana
Editor Adi Permana
BANDUNG, itb.ac.id—Program Studi Informatika, Sekolah Teknik Elektro dan Informasi (STE), Institut Teknologi Bandung (ITB) mengadakan kuliah umum pada Rabu (27/4/2022) tentang Deep Learning dan AlphaCode sebagai penutup Mata Kuliah IF2211 Strategi Algoritma. Kuliah ini dibawakan oleh Adhiguna Surya Kuncoro.
Alumni Informatika ITB angkatan 2009 itu adalah seorang peneliti kecerdasan buatan (AI) senior di Google DeepMind. KU dimoderatori oleh Dr. Ir. Rinaldi Munir, M.T., dan dilaksanakan melalui platform Zoom selama kurang lebih 90 menit.
Adhi memulai kuliahnya dengan menjelaskan bidang keilmuan kecerdasan buatan. AI adalah bidang studi yang bertujuan untuk membuat mesin yang pintar yang memiliki kecerdasan manusia. Salah satu contohnya adalah AlphaGo Zero (produk DeepMind) yang merupakan AI yang bisa mengalahkan pemain Go juara dunia hanya dengan waktu training 4 jam. Padahal, permasalahan permainan Go bukanlah sesuatu yang sederhana. Salah satu kendalanya adalah banyaknya kemungkinan langkah yang ada (sekitar 10 pangkat 17, melebihi jumlah atom dalam semesta).
Contoh lain adalah AI untuk menyelesaikan persoalan-persoalan algoritma, yaitu AlphaCode. Menurut Adhi, penelitian model AI seperti ini menjadi penting karena dapat menguji pemahaman mesin terhadap bahasa manusia. Mengerjakan competitive programming berarti sama saja melakukan translasi dari bahasa manusia (soal) ke bahasa pemrograman (jawaban).
Performa dari model AI ini diujikan pada platform competitive programming yang sering digunakan banyak orang, yakni Codeforces. Hasilnya, dari kontestan sejak 6 bulan terakhir, AlphaCode berada pada peringkat 28% teratas. Artinya, performa AI ini lebih dari rata-rata pengguna Codeforces (>50%).
Arsitektur model AlphaCode sendiri adalah Transformers, yaitu arsitektur yang juga digunakan pada Google Translate. Secara teknis, pada tahap pertama, dilakukan pre-training terlebih dahulu pada model. Tujuannya adalah supaya model sudah mengetahui konteks semantik dari sebuah kode—model tidak belajar dari nol—ketika lanjut ke tahap berikutnya. Kemudian, pada tahap kedua, dilakukan fine-tuning, yang bertujuan agar model belajar cara menyelesaikan sebuah persoalan algoritma. Setelah selesai, program AI akan melakukan pencarian (sampel), misalnya dari 10.000 solusi, difilter 10 jawaban terbaik yang berpotensi menyelesaikan persoalan.
*Untuk mencoba melihat visualisasi dan demonstrasi langsung dari AlphaCode, bisa kunjungi situs berikut: https://alphacode.deepmind.com/.
Meski perkembangan AI sudah cukup maju, untuk mendapatkan performa AI yang baik, dibutuhkan data yang bagus dan banyak. Definisi data yang bagus adalah data yang cocok dan tidak bias. Jika kualitas data buruk atau tidak cocok, hasil prediksi model AI bisa tidak akurat.
Adhi mencontohkan persoalannya dengan data gaji karyawan. Data ini tidak bisa dipakai untuk model AI yang berkaitan dengan pendapatan UMKM. Hal ini karena pendapatan UMKM bisa saja tidak stabil, berbeda dengan pendapatan karyawan cenderung stabil. Di sisi lain, belum tentu data pendapatan UMKM dalam jumlah banyak tersedia—sehingga tidak dapat membuat AI yang baik.
Sebagai penutup, Adhi mengatakan bahwa masih banyak sekali perkembangan teknologi yang bisa dieksplorasi. Teknologi AI seharusnya bisa membantu banyak orang di dunia, bukan hanya orang-orang tertentu, misalnya pada permasalahan vaksin pada iklim tropis, sistem irigasi, dan kebakaran hutan.
Reporter: Maria Khelli (Teknik Informatika 2020)