Mengintip Proses Budidaya Lalat Black Soldier Fly (BSF) Bersama Dosen Teknik Kimia ITB
Oleh Anggun Nindita
Editor Anggun Nindita
BANDUNG, itb.ac.id - Belatung sering dianggap sebagai hewan yang menjijikan dan tidak memiliki nilai. Akan tetapi siapa sangka hewan ini memiliki potensi nilai jual yang tinggi. Pada hari Kamis (13/7/2023), para dosen Teknik Kimia, Fakultas Teknologi Industri, Institut Teknologi Bandung mengunjungi salah satu Tempat Pembuangan Sampah Terpadu (TPST) yang terletak di Babakan Cianjur, Desa Gadobangkong, Kecamatan Ngamprah, Kabupaten Bandung.
Kunjungan tersebut merupakan langkah awal untuk mempelajari dan mengembangkan seluruh rangkaian proses budidaya lalat Black Soldier Fly (BSF).
Dalam kunjungan ini, dosen peneliti bertemu dengan beberapa pengelola TPST yang tergabung dalam kelompok “Hegar 7”. Kelompok ini terdiri dari Deni Cahyana, Ule Sulaiman, Ogi O Irawan, Cecep Mulyana, Helmy Andriansyah, Asep Riki, serta Dede.
TPST beroperasi secara swadaya mandiri dengan dukungan PT KAI berupa lahan tanah dan bangunan tempat TPST berdiri. Saat ini, TPST khusus membudidaya lalat jenis BSF secara tradisional. Nantinya, larva BSF yang akan dijual dan menjadi daya tarik industri pakan ternak.
Larva BSF memiliki kandungan nutrisi yang tinggi, terutama protein, yang sangat dibutuhkan dalam industri pakan ternak. Nutrisi yang terkandung dalam larva BSF dapat membantu meningkatkan kualitas pakan ternak dan mendukung pertumbuhan yang sehat. Berbeda dengan lalat pada umumnya, BSF memiliki ukuran yang lebih besar dan berwarna hitam menyerupai tawon. BSF mempunyai keunikan, yakni sifatnya yang tidak menularkan bakteri, penyakit, ataupun kuman pada manusia sehingga sangat cocok untuk dijadikan pakan ternak.
Siklus hidup BSF menyerupai lalat pada umumnya. Telur BSF menetas selama 3-4 hari. Telur-telur yang sudah menetas menjadi bayi larva yang berwarna putih kekuningan. Bayi-bayi larva tersebut harus ditempatkan secara khusus di sebuah wadah yang berisi ampas kelapa. Ampas kelapa memberikan nutrisi yang baik dan dapat menyediakan kelembaban dan temperatur yang baik untuk larva tumbuh dan berkembang.
Diperkirakan, 1 gram telur BSF dapat menghasilkan hingga 2 kg larva. Satu larva BSF dapat mengonsumsi pakan hingga 2 kali berat tubuhnya. Larva-larva yang sudah berumur 18-21 hari akan berubah warna menjadi coklat gelap. Larva-larva tersebut disebut prepupa.
Biasanya prepupa akan mencari tempat kering untuk masuk ke fase pupa dan berhenti makan dan mulai berhenti bergerak. Fase pupa akan terjadi selama 7-30 hari sebelum akhirnya menetas menjadi BSF dewasa. BSF dewasa tergolong mudah dalam hal perawatannya. Cukup disemprotkan air 3 kali sehari dan tidak perlu diberi pakan. Peternak hanya cukup menyediakan beberapa buah busuk yang sudah difermentasi untuk menarik BSF dewasa kawin. Biasanya BSF betina suka bertelur pada celah-celah sempit.
“Untuk itu peternak perlu membuat beberapa kayu yang disatukan dengan celah kecil di antaranya, sehingga memudahkan dalam memanen telur BSF,” kata salah satu perwakilan dari dosen peneliti.
TPST tersebut dapat menjual hingga 125 kg larva BSF setiap minggunya dengan lahan 30 meter persegi. Larva-larva BSF dipasarkan secara kering dan basah. Metode yang biasa digunakan masyarakat setempat untuk larva BSF kering adalah dengan menyangrai larva dengan api kecil sehingga larva memiliki umur simpan yang lama.
Adapun harga yang ditawarkan untuk 1 kg larva BSF basah adalah sekitar Rp7.000-Rp9.000, sedangkan untuk larva BSF kering adalah sekitar Rp40.000. Hal ini menunjukkan bahwa budidaya BSF memiliki potensi sebagai sumber penghasilan bagi masyarakat lokal dan dapat membuka peluang usaha baru dalam bidang agribisnis dan pakan ternak.
Diharapkan, hasil penelitian dan pengalaman yang diperoleh dapat diaplikasikan di daerah lain di Indonesia, sehingga budidaya BSF dapat berkembang lebih luas dan memberikan manfaat yang lebih besar secara nasional.
Reporter: Andrew Benaldo Adikara (Teknik Pangan ’20)