Mengintip Proses Pengembangan Tol Trans Sumatera melalui Kuliah Tamu Prodi Teknik Sipil ITB

Oleh Adi Permana

Editor Adi Permana


BANDUNG, itb.ac.id—Pertumbuhan penduduk berkorelasi dengan peningkatan permintaan terhadap kebutuhan sarana dan prasarana transportasi. Pembangunan jalan tol menjadi salah satu alternatif penyelesaian dalam permasalahan ini. Namun, apakah pembangunan jalan tol selalu berfungsi secara optimal atau tidak? Bagaimana dengan dampaknya secara finansial dan AMDAL?

Program Studi Teknik Sipil Institut Teknologi Bandung mengadakan kuliah tamu dengan tajuk “Penugasan Hutama Karya dalam Pengembangan Tol Trans Sumatera”. Hadir Ir. Koentjoro sebagai narasumber pada kuliah tamu yang dilaksanakan secara virtual pada Rabu, 24 November 2021.

Koentjoro menjelaskan dasar-dasar penugasan PT Hutama Karya dalam mengembangkan tol yang menghubungkan beberapa wilayah di Pulau Sumatera ini. Penugasan ini tertera di UU No. 38 Tahun 2004 tentang Jalan, Peraturan Pemerintah No. 15 Tahun 2005 tentang Jalan Tol, dan Peraturan Presiden No. 117 Tahun 2015 jo. Peraturan Presiden No. 100 Tahun 2014 tentang Percepatan Pembangunan Jalan Tol di Sumatera.

Menurutnya, pembangunan jalan tol ini sulit dilakukan karena membutuhkan dana atau investasi yang sangat besar bagi Indonesia. Ruas jalan tol ini membentang sepanjang 2.813 km dan membutuhkan investasi sebesar Rp539T. Direktur Operasi III PT Hutama Karya (Persero) ini menyampaikan ada ruas tol yang telah beroperasi, yaitu sepanjang 531 km.

Dalam pemaparannya, Koentjoro menjelaskan ada beberapa alternatif sumber pendanaan pada proyek infrstruktur yang masif ini. Alternatif tersebut terdiri atas PMN, penerusan peminjaman dari pemerintah, obligasi perusahaan, pinjaman dari lembaga keuangan, dan lain-lain. Pendanaan ini juga berasal dari korporasi, tidak hanya dari pemerintahan.

Tantangan yang dihadapi oleh PT Hutama Karya (Persero) dan tim dalam membangun jalan tol dibagi menjadi dua aspek, yaitu aspek finansial dan teknis. “Secara finansial (bagi korporasi), Jalan Tol Trans Sumatera kurang menarik,” kata Koentjoro. Lintas Harian Rata-rata (LHR) di Sumatera masih di bawah kelayakan bisnis. Ia pun bercerita di daerah Bakauheni yang direncanakan memiliki LHR senilai 20.295, di awal pengoperasiannya pada 2019 hanya mencapai LHR sebesar 11.083. “Itu di luar dugaan,” imbuhnya.

Tantangan teknis yang kerap dihadapi adalah kondisi geologi di Pulau Sumatera yang terdiri dari tanah gambut, tanah lempung, dan tanah lunak. Koentjoro menyampaikan perlunya improvisasi atau inovasi teknologi konstruksi untuk pembangunan jalan ini. Selain itu, ada pula masalah pembebasan lahan dan pandemi Covid-19 yang tidak terduga.

Namun demikian, lulusan Sarjana Tekni Sipil Universitas Diponegoro ini cukup optimis terhadap peluang pengembangan di Pulau Sumatera. Secara ekonomi, adanya Trans Sumatera ini dapat meningkatkan PDB dan penyerapan tenaga kerja. Saat ini, Pulau Sumatera telah berkembang menjadi Kawasan industri, residensial, pariwisata, dan mix-use.

Dalam mengembangkan jalan tol ini, PT Hutama Karya (Persero) juga menggunakan inovasi teknologi yang dapat meningkatkan produktivitas proses konstruksi ini. Salah satunya adalah penggunakan Unmanned Aerial Vehicle (UAV) LiDAR yang dapat melakukan pemetaan dari udara. Koentjoro juga menyampaikan inovasi teknologi ini juga diterapkan di ruas tol yang telah beroperasi, seperti penggunaan weight in motion yang dapat mendeteksi berat dan ukuran dari kendaraan yang akan memasuki jalan tol, khususnya kendaraan berat.

Pengembangan jalan tol lintas pulau ini juga tetap memerhatikan aspek lingkungan. Pulau Sumatera yang memiliki keanekaragaman flora dan fauna tentu akan terganggu ekosistemnya jika habitatnya dirusak. Salah satu aksi nyata yang telah dilakukan oleh PT Hutama Karya (Persero) adalah membangun terowongan lintasan untuk gajah di Ruas Jalan Tol Pekanbaru–Dumai.

Reporter: Hanan Fadhilah Ramadhani (Teknik Sipil Angkatan 2019)