Mengupas Tuntas Tragedi Lapindo Brantas, Bahas Lumpur Panas Sidoarjo
Oleh Muhammad Arif
Editor Muhammad Arif
Himpunan Mahasiswa Teknik Geologi "GEA" bekerjasama dengan Student Chapter AAPG ITB hari Sabtu, 2 September 2006 mengadakan sebuah seminar. Seminar dengan judul "Mengupas Tuntas Tragedi Lapindo Brantas" ini mengambil tempat di ruang multimedia GKU Timur pukul 09.00-12.00 WIB. Seminar ini hadir sebagai salah satu media diskusi bagi permasalahan semburan lumpur panas yang terjadi di Sidoarjo, Jawa Timur sejak Mei lalu. Seminar yang mengundang masyarakat kampus ITB untuk membahas kajian geologis dan teknik dari bencana lumpur panas akibat pengeboran gas oleh Lapindo Brantas tersebut.
Seminar ini menghadirkan pembicara Bambang P.Istadi, selaku Exporation and New Venture Manager Lapindo Brantas dan Dr.Ir, Rudi Rubiandini R.S. Bahasan yang tergali dari Bambang P. Istadi ialah sebab-sebab terjadinya semburan lumpur panas, rekomendasi dan permasalahan-permasalahan yang dihadapi Lapindo Brantas dalam penanggulangan lumpur panas tersebut. Pengeboran gas oleh Lapindo dilakukan di sumur Banjarpanji, Porong mulai Maret 2006 lalu, tapi terhenti akibat munculnya semburan lumpur panas tanggal 29 Mei 2006 pukul 05.00 WIB pada lokasi sekitar 150-200 m barat daya dari sumur. Semburan lumpur panas ini diduga berasal dari ‘mud volcano’ yang ada di luar sumur pengeboran. Lumpur panas yang keluar ini diduga merupakan lumpur yang berasal dari laut karena kandungan airnya yang asin sekitar 70% sedangkan lumpur 30%.
Upaya penanggulangan telah diusahakan dengan membuang lumpur ke laut via Kali Porong. Tapi upaya ini ditolak mentah-mentah oleh Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) karena dikhawatirkan dapat menyebabkan pendangkalan dan tidak memenuhi standar baku mutu.. “(Lumpur—red) dibuang ke laut untuk mengembalikan (lumpur—red) ke asalnya, kok tidak boleh, padahal dulu juga diendapkan di laut,” tutur Bambang. Menurut Bambang, beban lumpur ini harus segera dikurangi karena kekuatan dan kapasitas tanggul yang dibangun Lapindo terbatas. Jika lumpur tidak segera dibuang, pihak Lapindo khawatir penduduk sekitar sumur akan terendam lumpur yang pada bulan Desember diperkirakan telah mencapai 10 juta m3.
Sebagai seorang insinyur, Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S. memperlihatkan masalah semburan lumpur di Sidoarjo dari kacamata teknik perminyakan. Pengeboran yang dilakukan oleh Lapindo Brantas tersebut dinilainya mengalami kesialan. Masalah-masalah teknis saat pengeboran gas terlambat ditanggulangi akibat gangguan non-teknis. “Pengeboran Sumur Banjarpanji menghadapi empat masalah teknis sekaligus, maka bencananya bisa sedahsyat itu,” ucap Rudi. Permasalahan teknis yang terjadi di sumur Banjarpanji dihadapi oleh pengeboran-pengeboran lain di dunia, tapi tidak secara bersamaan.
Skenario penanggulangan masalah tersebut telah dirancang, yaitu dengan mematikan sumur. Tiga skenario telah disiapkan oleh Lapindo Brantas, tapi skenario ketiga dianggap skenerio terbaik. Tiga skenario dijalankan secara paralel, tapi skenario 1 dan 2 telah gagal. Skenario 3 yang akan dilakukan ialah mengebor dari jarak yang aman kemudian dibelokkan ke titik terdalam yang telah dibor, lalu disirkulasi lumpur berat dan dipompa semen. Skenario 3 ini sudah mulai dijalankan tapi mengalami beberapa kendala non-teknis. Pertama, jangka waktu pelaksanaan skenario 3 diperkirakan selama 2 bulan yang ditakutkan sangat dekat dengan musim hujan. Kedua, pihak asuransi yang keberatan dengan pelaksanaan skenario 3. Masalah non-teknis juga dipicu dari kurangnya sosialisasi terhadap masyarakat, terutama sekitar wilayah pengeboran, mengenai respon terhadap kondisi darurat pengeboran atau ‘emergency respond plan.’
Seminar ini menghadirkan pembicara Bambang P.Istadi, selaku Exporation and New Venture Manager Lapindo Brantas dan Dr.Ir, Rudi Rubiandini R.S. Bahasan yang tergali dari Bambang P. Istadi ialah sebab-sebab terjadinya semburan lumpur panas, rekomendasi dan permasalahan-permasalahan yang dihadapi Lapindo Brantas dalam penanggulangan lumpur panas tersebut. Pengeboran gas oleh Lapindo dilakukan di sumur Banjarpanji, Porong mulai Maret 2006 lalu, tapi terhenti akibat munculnya semburan lumpur panas tanggal 29 Mei 2006 pukul 05.00 WIB pada lokasi sekitar 150-200 m barat daya dari sumur. Semburan lumpur panas ini diduga berasal dari ‘mud volcano’ yang ada di luar sumur pengeboran. Lumpur panas yang keluar ini diduga merupakan lumpur yang berasal dari laut karena kandungan airnya yang asin sekitar 70% sedangkan lumpur 30%.
Upaya penanggulangan telah diusahakan dengan membuang lumpur ke laut via Kali Porong. Tapi upaya ini ditolak mentah-mentah oleh Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) karena dikhawatirkan dapat menyebabkan pendangkalan dan tidak memenuhi standar baku mutu.. “(Lumpur—red) dibuang ke laut untuk mengembalikan (lumpur—red) ke asalnya, kok tidak boleh, padahal dulu juga diendapkan di laut,” tutur Bambang. Menurut Bambang, beban lumpur ini harus segera dikurangi karena kekuatan dan kapasitas tanggul yang dibangun Lapindo terbatas. Jika lumpur tidak segera dibuang, pihak Lapindo khawatir penduduk sekitar sumur akan terendam lumpur yang pada bulan Desember diperkirakan telah mencapai 10 juta m3.
Sebagai seorang insinyur, Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S. memperlihatkan masalah semburan lumpur di Sidoarjo dari kacamata teknik perminyakan. Pengeboran yang dilakukan oleh Lapindo Brantas tersebut dinilainya mengalami kesialan. Masalah-masalah teknis saat pengeboran gas terlambat ditanggulangi akibat gangguan non-teknis. “Pengeboran Sumur Banjarpanji menghadapi empat masalah teknis sekaligus, maka bencananya bisa sedahsyat itu,” ucap Rudi. Permasalahan teknis yang terjadi di sumur Banjarpanji dihadapi oleh pengeboran-pengeboran lain di dunia, tapi tidak secara bersamaan.
Skenario penanggulangan masalah tersebut telah dirancang, yaitu dengan mematikan sumur. Tiga skenario telah disiapkan oleh Lapindo Brantas, tapi skenario ketiga dianggap skenerio terbaik. Tiga skenario dijalankan secara paralel, tapi skenario 1 dan 2 telah gagal. Skenario 3 yang akan dilakukan ialah mengebor dari jarak yang aman kemudian dibelokkan ke titik terdalam yang telah dibor, lalu disirkulasi lumpur berat dan dipompa semen. Skenario 3 ini sudah mulai dijalankan tapi mengalami beberapa kendala non-teknis. Pertama, jangka waktu pelaksanaan skenario 3 diperkirakan selama 2 bulan yang ditakutkan sangat dekat dengan musim hujan. Kedua, pihak asuransi yang keberatan dengan pelaksanaan skenario 3. Masalah non-teknis juga dipicu dari kurangnya sosialisasi terhadap masyarakat, terutama sekitar wilayah pengeboran, mengenai respon terhadap kondisi darurat pengeboran atau ‘emergency respond plan.’