Menjaga Akses Air Bersih dan Layanan Sanitasi di Industri Pariwisata untuk Kebaikan Lingkungan
Oleh Adi Permana
Editor Adi Permana
Foto: Freepik
BANDUNG, itb.ac.id – Kekurangan sumber daya air di Indonesia sering terjadi di sejumlah daerah akibat urbanisasi, curah hujan terbatas, dan ketersediaan air layak minum. Walaupun negara mempunyai teknologi untuk mengolah air, layanan serta manajemennya mahal.
Berkaitan dengan persoalan tersebut, ITB bekerja sama dengan Griffith University Australia, Universitas Udayana, Australian Aid dan Water for Women menyelenggarakan lokakarya nasional berjudul “Layanan Air Bersih, Sanitasi, dan Higiene yang Inklusif di Destinasi Wisata”. Acara yang diselenggarakan pada Selasa (06/07/2021) dan dipandu oleh Nathalie Maura Soetopo ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran kondisi air bersih di destinasi wisata Indonesia yang mayoritas berlokasi di perkotaan, dataran tinggi, dan zona pesisir.
Setelah kata sambutan dari Dekan Fakultas Teknis Sipil dan Lingkungan ITB, Ir. Edwan Kardena PhD., Bronwyn Powell dari International Water Centre di Griffin University memaparkan tinjauan proyek dia tentang pelibatan perusahaan untuk program WASH (Water, Sanitation, and Hygiene) yang inklusif di tempat kerja. Dia memperlihatkan dampak industri pariwisata Indonesia bagi lingkungan, terutama pasokan dan distribusi air bersih.
”Indonesia adalah destinasi wisata yang indah. Tetapi, industri pariwisata memakan banyak penggunaan air,” ujarnya. Saat seorang turis tinggal di hotel, dia bisa menghabiskan lebih dari 700 L/ca air per hari, sedangkan populasi setempat memakai air kurang dari 100 L/ca – ini menunjukkan ada ketidaksamarataan penggunaan air antara pariwisatawan dan penduduk sekitar.
Berkontribusi kepada poin SDGs ke-6 (air bersih dan sanitasi), dia berharap sektor pariwisata dapat melaksanakan WASH inklusif di seluruh destinasi. Tidak hanya berdampak kepada kesehatan masyarakat, ketersediaan air bersih dapat mempengaruhi kebersihan perhotelan. Program WASH dapat meningkatkan kesehatan dan produktivitas karyawan industri pariwisata sekaligus mendukung martabat dan inklusi mereka. “Saat ini, WASH dipraktikkan pada beberapa sistem pariwisata di Mandalika dan Labuan Bajo, di mana proyek tersebut menghasilkan pemahaman mengenai kesetaraan gender, disabilitas, dan isu-isu sosial lain,” tambahnya.
Diskusi dilanjutkan oleh Prof. Helen Johnson dari International Water Centre - Griffith University. Dia menjabarkan tentang situasi ketidaksetaraan gender, disabilitas dan inklusi sosial pada WASH, di mana suara perempuan cenderung tidak didengar dalam pembuatan rancangan proyek manajemen air. Pengecualian sistematis ini tidak hanya dialami perempuan; orang-orang dari kelompok rentan seperti anak-anak muda dan lansia sering menghadapi masalah ini.
Mengangkat nilai-nilai hak asasi manusia dan poin SDGs ke-5 (kesetaraan gender), masalah sosial ini diintegrasikan kepada proyek WASH untuk menciptakan suatu proposisi nilai layak mencakupi kesejahteraan penduduk, wisatawan serta lingkungan turisme secara keseluruhan.
Pada umumnya, GEDSI (Gender Equality, Disability and Social Inclusion) mempunyai pengaruh signifikan terhadap perhotelan pariwisata negara, di antaranya ketersediaan dan kualitas air. “Ada disparitas akses air antara turis dan komunitas lokal,” dia menekankan.
“Pasar berubah. Demografis profile dan lifestyle juga berubah. Seluruh ekosistem- bisnis maupun sosial-membentuk kemajuan industri pariwisata.” Dr. Frans Teguh, MA berkomentar terkait masa depan pariwisata berkelanjutan Indonesia.
Sebagai staf ahli bidang pembangunan berkelanjutan dan konservasi di Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, dia melihat pariwisata Indonesia akan mengalami empat megatrends ke depannya: perkembangan permintaan pengunjung, pertumbuhan turisme berkelanjutan, mobilitas bertamasya, dan penerapan teknologi pendukung.
Oleh karena itu, industri pariwisata Indonesia membuat sejumlah strategi framework untuk memastikan implementasi keberlanjutan lingkungan, ekonomi, dan turisme. “Kita ingin Indonesia menjadi sustainable hub di kawasan Asia Pasifik dengan strategi sustainable tourism development,” dia berharap.
Narasumber berikutnya, Suryani Eka Wijaya, memaparkan zona pariwisata hijau di provinsi NTB (Nusa Tenggara Barat) serta regulasinya. Ia menambahkan bahwa pariwisata adalah andalan utama NTB dalam penataan ruangnya yang bertujuan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Karena NTB rawan bencana, pengolahan sumber daya alam dan lingkungan lebih berkelanjutan dan mendukung ketahanan wilayahnya dan turisme. Dengan adanya zona pariwisata hijau yang melaksanakan program WASH dan protokol kesehatan, industri turisme NTB dapat berlangsung meskipun ada pandemi.
Sesi pemaparan lokakarya diteruskan oleh Ir. Maulana Yusran, MSc., MBA., sekretaris jenderal PHRI (Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia). Saat ini, pihak PHRI mendahulukan perkembangan aksesibilitas, amenitas, dan atraksi. Ketiga komponen tersebut dituntut untuk menerapkan protokol kesehatan COVID-19 melalui sertifikasi CHSE (cleanliness, health, safety dan environmental sustainability). Salah satu cara untuk memperoleh sertifikasi ini adalah menyediakan fasilitas berbasis WASH di perhotelan.
Pemahaman manfaat air bersih, sanitasi dan higienis di sektor pariwisata dapat dipresentasikan sebagai proposisi nilai di mana penerapannya berdampak positif kepada masyarakat, perhotelan dan destinasi wisata dengan pendekatan integrasi penuh.
“Secara ringkas, inisiatif air, sanitasi, higiene dan GEDSI di tempat kerja akan mendukung karyawan, reputasi hotel, dan destinasi wisata. Lokasinya yang berkelanjutan, dekat dengan masyarakat, dan dikelola dengan baik akan sangat membantu bagi kemajuan sektor pariwisata,” kata Dr. Anindrya Nastiti dari Institut Teknologi Bandung.
Reporter: Ruth Nathania (Teknik Lingkungan, 2019)