Orasi Ilmiah Prof. Ir. Dicky Rezady Munaf MS, MSCE, Ph.D.,: Sosioteknologi Jadikan Kearifan Lokal Sebagai Komoditas Pelopor Revolusi Industri 5.0

Oleh Adi Permana

Editor Adi Permana

*Foto Dok. Dibangdik ITB


BANDUNG, itb.ac.id – Sejak revolusi industri 1.0 hingga revolusi industri 4.0, bangsa Indonesia selalu menjadi pengikut. Sementara revolusi industri 5.0 sendiri telah diprediksi akan datang satu dekade yang akan datang, artinya tidak lama lagi. Pada momen tersebut, Institut Teknologi Bandung diharapkan dapat meningkatkan martabat bangsa dengan menjadi pelopor peradaban dunia. “Sekarang sudah saatnya bangsa Indonesia berpikir sebagai bagian dari pelopor revolusi industri 5.0. Upaya menjadi bagian dari pelopor revolusi industri 5.0 merupakan bagian dari upaya menjaga martabat bangsa,” ujar Prof. Ir. Dicky Rezady Munaf, MS, MSCE, Ph.D.

Hal tersebut ia sampaikan dalam Orasi Ilmiah Forum Guru Besar (FGB) Institut Teknologi Bandung di Aula Barat ITB, Sabtu (14/3/2020). Orasi ilmiah yang disampaikan oleh Guru Besar pada Kelompok Keilmuan Ilmu Kemanusiaan, Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD) ini mengangkat judul “Peran Sosioteknologi untuk Menjadikan Kearifan Lokal Sebagai Salah Satu Pelopor Revolusi Industri 5.0”.

Mengutip ucapan Abraham Lincoln, Presiden Amerika Serikat ke-16, Prof. Dicky mengatakan bahwa cara terbaik untuk memprediksi masa depan adalah menciptakannya. Menurut Prof. Dicky, dalam konteks sosioteknologi kata ‘menciptakan’ di sini maksudnya ialah menciptakan martabat bangsa di dunia internasional berbasis jati diri bangsa. “Menciptakan juga diarahkan mendayagunakan IPTEKs (Ilmu Pengetahuan, Teknologi, dan Seni),” tutur Prof. Dicky mengenang pembicaraannya dengan Prof. Ir. Wiranto Arismunandar, MSME yang merupakan Rektor ITB periode 1988-1997. Dia menambahkan, IPTEK pada revolusi industri 4.0 tetap bisa dipakai untuk kesinambungan peradaban tapi hanya sebagai alat, bukan menjadi komoditas yang berimpilkasi kekuatan Ipoleksosbudhamkam dan Polstranas untuk mewujudkan kepentingan nasional dalam preambul UUD 1945.

Prof. Dicky menyampaikan sebelum membuat produk, pembuat produk atau pelopor harus berpijak pada rumpun ilmu humaniora, sosial, dan agama sebagai koridor analisis potensi dampak penciptaan suatu produk. Dalam setiap penciptaan produk, potensi dan dampaknya terhadap manusia harus selalu diprediksi. Sayangnya pada perkembangan peradaban saat ini, manusia lebih dikendalikan oleh motif ekonomi saja. “Para pelopor tahu segala sesuatu tentang pengguna. Jadi para pembuat teknologi tahu segala sesuatu tentang kita karena kita adalah pengguna. Dan para pelopor merancang agar kita pengguna tidak mengetahui apa yang pelopor tahu,” ucap Prof. Dicky.

Menurutnya, bangsa Indonesia pernah menjadi pelopor, contohnya adalah kearifan irigasi subak di Bali, kearifan sasi di Papua, alat deteksi dini longsor, dan penguatan struktur tanah secara alami untuk penanggulangan longsor secara dini. “Namun saat ini bangsa Indonesia cenderung untuk menjadi pengguna dan melupakan kepeloporan. Untuk itu sosioteknologi yang menerapkan transdisiplin budaya dan teknologi dapat berperan untuk menjadikan bangsa Indonesia sebagai bangsa pelopor kembali,” tutur Prof. Dicky.

Sosioteknologi yang merupakan disiplin budaya dan teknologi, dapat berperan dalam menjadikan bangsa Indonesia menjadi bangsa pelopor kembali. Sosioteknologi ini berperan karena menciptakan transdisiplin antara rumpun ilmu alam, formal, dan terapan (AFT) dengan ilmu humaniora dan sosial (HS) dan ilmu agama (AG). Untuk menjadikan bangsa Indonesia sebagai pelopor revolusi industri 5.0, para ahli sosioteknologi berpendapat bahwa kita dapat memanfaatkan kearifan lokal. Kebijakan pemerintah mengenai kearifan lokal sendiri telah diatur dalam Rencana Induk Riset Nasional (RIRN) 2017-2045 namun hanya sebatas menjadikan kearifan lokal sebagai aspek budaya. Prof. Dicky berharap selanjutnya kearifan lokal bukan hanya sebagai aspek budaya melainkan sebagai komoditas dalam era revolusi industri 5.0.


Ia menambahkan, Indonesia sendiri memiliki sangat banyak kearifan lokal dibandingkan dengan negara-negara lain misalnya dalam hal lagu, olahraga, dan peringatan dini bencana alam. Jumlah kearifan lokal Indonesia mencapai 418 jenis. Salah satu contoh kearifan lokal yang dapat dikembangkan supaya menjadi cabang olahraga internasional adalah olahraga egrang. Olahraga ini mengandung unsur filosofis kemajuan dengan keseimbangan. Harapannya, egrang dapat menyusul pencak silat sebagai cabang olahraga internasional yang baru,” ucap dosen yang pernah meraih penghargaan sebagai mahasiswa Teknik Sipil Terbaik Nasional 1983 itu.

Contoh kearifan lokal yang lain ialah peringatan dini bencana alam. Apabila kita jeli melihat migrasi burung beberapa saat sebelum gempa dan tsunami Aceh 2004 terjadi, fenomena ini sebenarnya dapat menjadi sumber inspirasi bagi para peneliti sebagai upaya peringatan dini bencana alam. Terbaik 

Upaya lain yang dapat dilakukan untuk menjadikan kearifan lokal Indonesia sebagai pelopor revolusi industri 5.0 adalah penyerbukan silang kearifan lokal. Penyelenggaraan lomba lagu-lagu dari berbagai daerah di Indonesia dapat berlangsung tanpa harus bertatap muka secara langsung. Dengan menciptakan Common Denominator suara, dengan berbagai macam alat komunikasi, sosioteknologi berupaya memilih teknologi untuk kualitas rekaman suara yang sangat tipis perbedaannya,” ujarnya.

Dalam kesempatan tersebut, ia sempat memutar lagu “Goro-gorone”. Lagu tersebut mengandung filosofi menyadarkan manusia bahwa perjalanan hidup adalah bertahap. Ia mengajak para undangan yang hadir memaknai lagu tersebut bukan hanya sebagai musik hiburan melainkan juga makna pendidikan karakter.

Reporter: Restu Lestari Wulan Utami (Biologi, 2017)