Pengukuran Elevasi Permukaan Air Laut Penting untuk Perkirakan Volume Lapisan Es Global

Oleh Adi Permana

Editor Vera Citra Utami

BANDUNG, itb.ac.id—Dosen sekaligus peneliti dari ISTerre, Université Grenoble Alpes, Prancis, Gino de Gelder, mengatakan, perubahan elevasi permukaan air laut dapat disebabkan karena perubahan iklim, perubahan siklus air, bahkan karena aktivitas tektonik.

“Perubahan ini bermula sejak periode Holosen ketika sebagian besar es di kutub telah lenyap. Pemicunya adalah aktivitas gunung api, gerakan pengangkatan dan pelipatan lempeng. Pada saat itu, permukaan laut naik sampai 130 m dibandingkan periode sebelumnya,” ujar Gino dalam kuliah umum Program Studi Oseanogragi ITB, Jumat (29/10/2021) lalu.

Perubahan ini dapat dilihat dari perubahan rasio isotop stabil ?18O terhadap 16O yang terkandung dalam cangkang fosil organisme tertentu. “Dalam hal ini, kita menggunakan fosil foraminifera. Kandungan rasio isotop pada cangkangnya dapat digunakan untuk menentukan umur sedimen laut, serta membuat rekonstruksi perubahan permukaan air laut,” terang ahli di bidang tektonik dan geomorfologi pesisir.

Dalam paparannya, Gino menjelaskan pentingnya mengukur elevasi permukaan air laut untuk memperkirakan volume lapisan es global dan respons spasio temporalnya terhadap perubahan iklim, menyimpulkan aktivitas tektonik lokal, mengetahui tingkat pengangkatan lempeng, dan memperkirakan bahaya gempa terkait. Selain itu, hal ini menjadi kunci untuk merekam jejak paleogeografi dan menguji model migrasi manusia. Untuk mengantisipasi pengaruh negatif yang ditimbulkan dari perubahan ini, perlu adanya prediksi kenaikan muka air laut.

Berubahnya permukaan laut relatif dapat dilihat dari beberapa indikator, salah satunya teras laut. Teras laut merupakan lahan destruksional akibat proses geologi yang sering terjadi akibat penurunan muka air laut oleh pasang surut. Selain itu, indikator lainnya adalah keberadaan mangrove dan rawa pasang di zona intertidal.

Selanjutnya, Gino memaparkan beberapa pemodelan teras pantai yang telah ia lakukan di berbagai wilayah di dunia. Baik itu teras pantai yang terbentuk karena erosi (wave-cut terraces), teras pantai yang terbentuk karena sedimentasi material yang dibawa gelombang (wave-built terraces), maupun teras terumbu karang.

“Pembentukan teras ini dipengaruhi oleh kemiringan awal, laju pengangkatan, laju erosi awal, dan riwayat tinggi muka air laut,” ungkap Gino.

Pada akhir pemaparannya, Gino kembali menegaskan bahwa perubahan muka air laut tidak hanya akibat manusia. Berbagai aktivitas manusia yang menghasilkan emisi karbon memang dapat menyebabkan perubahan iklim global yang pada akhirnya bisa menaikkan muka air laut. Selain itu, jumlah bangunan juga akan meningkat seiring bertambahnya populasi yang berakibat pada penurunan muka tanah. Akan tetapi, alam juga memiliki kontribusi dalam perubahan ini. Salah satunya adalah proses tektonik dan geodinamika yang dapat menyebabkan kenaikan atau penurunan muka air laut.

“Upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi dampak buruk perubahan muka air laut adalah penanaman mangrove dan pelestarian terumbu karang. Keduanya juga dapat mencegah erosi,” tutupnya.

Acara Kolaborasi

Kuliah umum Program Studi Oseanogragi ITB merupakan rangkaian Program NUSANTARA bagian dari Skema Riset Kemitraan Dasar 2021. Kegiatan ini menggandeng Université de Nantes, ISTerre, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Indonesia, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) RI, dan program Kampus Merdeka dari Kemdikbud.

Kegiatan tersebut diikuti oleh mahasiswa Oseanografi ITB maupun mahasiswa dan masyarakat umum. Topik yang diangkat dalam kuliah umum ketiga ini adalah Paleo-Sea Level dan Coastal Modeling.

Kuliah umum dibuka langsung oleh Dekan Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian (FITB), Dr. Irwan Meilano, S.T., M.Sc., sementara moderator acara ini adalah Dr. rer. nat. Rima Rachmayani, S.Si., M.Si., selaku dosen prodi Oseanografi ITB.

Reporter: Maharani Rachmawati Purnomo (Oseanografi, 2020)