TKP 2: Asah Kemampuan Konseling Melalui Penapisan Resep dan Farmakoterapi

Oleh Christanto

Editor Christanto

BANDUNG, itb.ac.id - Untuk memperdalam pengetahuan peserta tentang konseling pasien, Himpunan Mahasiswa Farmasi (HMF) 'Ars Praeparandi' ITB kembali mengadakan Training Konseling Pasien (TKP) pada Sabtu (13/08/11) di Ruang Edukatorium Sekolah Farmasi ITB. Training seri kedua tersebut membahas tentang pentingnya kemampuan penapisan resep dan farmakoterapi dalam konseling pasien yang diberikan oleh seorang farmasis.
Pentingnya kemampuan penapisan (screening) resep telah diatur dalam PP No.51 Tahun 2009 Tentang Pekerjaan Kefarmasian, seperti yang dikatakan oleh Ida Lisni, M.Si., Apt. Ia menjelaskan bahwa salah satu pekerjaan kefarmasian adalah pelayanan obat atas resep dokter. "Resep merupakan bentuk komunikasi seorang dokter kepada apoteker," jelas Ida.

Dalam kesempatan tersebut, Ida juga menjelaskan bahwa penapisan resep meliputi evaluasi terhadap persyaratan administrasi, persyaratan farmasetik, dan persyaratan klinis. Pada tahap awal, apoteker harus memeriksa keabsahan dari resep yang diberikan. Kemudian, apoteker mengevaluasi persyaratan farmasetik seperti bentuk dan kekuatan obat, dosis dan jumlah, atau stabilitas.

"Ketika seorang pasien sulit menelan tablet misalnya, harus dicarikan solusi terhadap bentuk sediaan lainnya," jelas Ida. Jika hingga tahap persyaratan farmasetik telah terpenuhi, barulah apoteker dapat mengevaluasi persyaratan klinis obat, seperti ketepatan indikasi, duplikasi pengobatan, interaksi dan lainnya.

Konseling Farmakoterapi

Selain penapisan resep, farmakoterapi merupakan materi yang sangat penting dalam ilmu konseling pasien. Materi ini dipaparkan oleh Afianti Sulastri, S.Si., Apt yang merupakan salah satu alumni Sekolah Farmasi ITB. Dalam pemaparannya, Afianti menjelaskan bahwa apoteker menjadi profesi kesehatan yang menjual jasa profesinya untuk menjelaskan tentang manajemen farmakoterapi. "Jadi apoteker diharapkan dapat memberikan informasi obat," jelasnya.

Untuk memperdalam pemahaman tentang farmakoterapi, Afianti memberikan studi kasus terhadap pasien yang mengidap diabetes melitus. Terapi yang diberikan terhadap pasien ini adalah cara mempertahankan kadar glukosa plasma dan mencegah komplikasi. "Penangannya dengan terapi farmakologi misalnya pengobatan dengan insulin atau agen antidiabetes oral," ungkapnya.

Terapi secara farmakologi dimulai dengan dosis yang rendah terlebih dahulu, kemudian dinaikkan secara bertahap. Selain itu, apoteker juga harus mengetahui cara kerja, lama, efek samping obat, dan interaksi obat. "Untuk orang usia lanjut misalnya, obat hipoglikemik oral yang bekerja jangka panjang tidak dianjurkan," ujarnya.

Setelah pemaparan dari kedua pembicara, TKP kemudian diakhiri dengan simulasi berupa konseling pasien. Melalui simulasi tersebut, diharapkan para peserta semakin memahami tentang materi yang telah diberikan oleh pembicara.