Pentingnya Berpikir Kritis dan Empati untuk Kepemimpinan di Abad ke-21

Oleh Adi Permana

Editor Adi Permana


BANDUNG, itb.ac.id—Institut Teknologi Bandung (ITB) kembali menyelenggarakan Studium Generale KU-4078. Namun karena masih dalam situasi pandemi, acara diselenggarakan secara daring, Rabu, 9 September 2020. Kuliah umum kali ini diisi oleh Direktur Eksekutif Peace Generation, Irfan Amali.

Irfan Amali membawakan materi terkait “Pentingnya Berpikir Kritis dan Empati untuk Kepemimpinan di Abad ke-21”. Ia membuka paparan dengan studi kasus mengenai kesulitan air di suatu tempat. Mahasiswa diminta menyampaikan solusi yang ditawarkan untuk mengatasi masalah tersebut.

Dari jawaban mahasiswa dapat dilihat bahwa secara umum solusi yang diberikan berasal dari cara berpikir pribadi dan bukan cara berpikir pihak yang memiliki masalah. Ketika memberikan solusi, terkadang seolah kita memecahkan masalah pribadi dan bukan memecahkan masalah orang yang sedang bermasalah, bahkan tidak jarang solusi yang ditawarkan justru menciptakan masalah baru, kondisi ini adalah dampak dari kurangnya berpikir kritis dan empati.

Irfan mengatakan, tahun 2020, berpikir kritis menempati urutan ke-2 di antara 10 keahlian yang paling dibutuhkan untuk hidup di abad 21. Namun berpikir kritis saja tidak cukup, harus dilengkapi dengan empati. Empati adalah memahami orang lain, menempatkan kaki di sepatu orang lain. Berpikir kritis ditambah empati akan menghasilkan welas asih.

Selanjutnya, kang Irfan, sapaan beliau, menyampaikan tiga jurus untuk melatih berpikir kritis dan empati. Jurus pertama adalah Ask Do Not Judge. Jurus kedua adalah menjadi pendengar aktif, dan jurus ketiga adalah mengubah perspektif.

Ia menyampaikan, Peace Generation pernah melakukan uji coba kepada anak SD mengenai cara mengubah perspektif, ada tiga kelompok anak yang diceritakan dengan tiga cerita berbeda.

Kelompok 1 diceritakan cerita versi pertama. “Zebra dahulu adalah kuda berwarna hitam yang karena warnanya, Ibu zebra sulit mencari anaknya di kegelapan malam sehingga ia kehilangan anak-anaknya. Ayah zebra kemudian mempunyai ide untuk mengecat belang zebra dengan warna putih dan akhirnya Ibu zebra tetap bisa melihat anak-anaknya di malam hari.”

Kelompok 2 diceritakan cerita versi kedua. “Zebra dahulu adalah hewan berwarna putih, karena warnanya yang mencolok, singa jadi mudah untuk memangsa zebra. Ayah zebra kemudian mempunyai ide untuk mewarnai belang kulit mereka dengan cat hitam, dan sejak saat itu zebra bisa bersembunyi dengan baik di antara semak-semak sehingga aman dari singa.”

Sedangkan kelompok 3 diceritakan kedua versi mengenai zebra. Selanjutnya ketiga kelompok tersebut dikumpulkan di satu ruangan yang sama dan diminta untuk menjelaskan warna asal zebra, kelompok 1 dan 2 berdebat mengenai warna asal zebra sedangkan kelompok ketiga tidak mengikuti perdebatan tersebut karena kelompok 3 mengetahui kedua versi cerita.

Dari eksperimen ini, dijelaskan Irfan Amali, dapat dilihat orang akan sangat meyakini apa yang baru dia ketahui dan nyaris saling menyalahkan. Kondisi seperti ini berbahaya, oleh sebab itu perlu untuk memperluas cara pandang terhadap suatu hal.

“Jika kita lihat di semua agama, itu ternyata ada satu kesamaan yang akhirnya adalah empati, yang kemudian disebut sebagai the golden rule, dan ini adalah inti dari critical thinking dan empati,” ucap kang Irfan menutup kuliah umumnya.


Tayangan Studium Generale KU-4078 tersebut dapat disaksikan melalui tautan youtube https://www.youtube.com/watch?v=FTw4cfxyKrk

Reporter: Indah Lestari Madelin (Teknik Lingkungan, 2017)