Prof. Togar M. Simatupang: Hadapi Pasar Bebas ASEAN, Indonesia Jangan Hanya Menjadi Pasar

Oleh Bayu Rian Ardiyansyah

Editor Bayu Rian Ardiyansyah

BANDUNG, itb.ac.id - Tahun depan menjadi awal diberlakukannya kesepakatan Pasar Bebas ASEAN yang bertujuan menghilangkan batas-batas ekonomi antarnegara di kawasan Asia Tenggara, sehingga terbentuklah Masyarakat Ekonomi ASEAN.  Pemberlakuan kesepakatan ini sebenarnya bisa memberikan peluang yang sama bagi setiap negara, termasuk Indonesia, terhadap mobilitas bisnis dan manusia. Oleh karena itu, Indonesia sudah seharusnya bersiap diri agar bisa mendapatkan keuntungan timbal balik dari sana. Lantas, sudah siapkah Indonesia untuk menyambut kesepakatan tersebut?

"Secara umum, kita memang tidak siap karena tidak dipersiapkan," ungkap Prof. Togar M. Simatupang, dosen sekaligus Wakil Dekan Bidang Akademik Sekolah Bisnis dan Manajemen (SBM) ITB. Menurutnya, jika mau mempersiapkan Sumber Daya Manusia (SDM) agar bisa seimbang dengan bangsa -bangsa lain di ASEAN, mulailah dari proses penyadaran (awareness), penyiapan (readiness), kemudian peningkatan kompetensinya. Sementara itu, pengakuan bahwa kualifikasi kita setara dengan yang lain masih belum ada.

Selain dari segi SDM, Prof. Togar menjelaskan bahwa masalah lain juga terletak pada kurangnya keberpihakan pemerintah terhadap sektor-sektor yang memiliki comparative advantage. Hal ini dikarenakan ekonomi Indonesia masih berorientasikan pada komoditas alam dan konsumsi. Kita masih seperti budaya pengumpul dengan hanya mengambil hasil panen dari alam dan menjualnya langsung tanpa memberikan nilai tambah yang lebih baik dengan mengolahnya terlebih dahulu. Untungnya, saat ini sudah ada keinginan untuk mengembangkan hilirisasi industri, salah satunya dengan mulai diwajibkannya proses pemurnian hasil tambang dengan smelter sebelum diekspor. Lalu, untuk mencukupi kebutuhan domestik pun kita juga masih seperti budaya pedagang dengan baru berpikir untuk menghadirkan barang bukan menghasilkan barang.

Berbenah Pekerjaan Rumah Indonesia

"Bila kita terus seperti ini dan hanya menjadi pasar, akibatnya dalam jangka panjang Indonesia bisa mengalami ketidakseimbangan seperti peribahasa besar pasak daripada tiang. Jadi, kita mengeluarkan belanja lebih besar daripada hasil yang kita dapatkan," tutur Prof. Togar. "Kita masih belum siap dikarenakan banyak hal yang belum kita selesaikan, khususnya peraturan-peraturan terkait visa, pajak, logistik, hingga kualifikasi SDM tadi. Akibatnya, kita hanya akan menjadi pekerja saja dan sumber daya alam kita akan diambil semua. Jika terus seperti itu, maka akan ada ketergantungan kepada negara lain dan perlu diingat bahwa ketergantungan itu tidak gratis," lanjutnya.

Menurut Prof. Togar, ketidaksiapan ini disebabkan oleh tiga kelemahan Indonesia. Pertama, kecenderungan untuk hanya berpikir jangka pendek tanpa mau berinvestasi jangka panjang, seperti pada pengembangan teknologi milik kita sendiri. Kedua, program yang jarang diikuti oleh perencanaan anggaran yang tepat, sehingga hanya bersifat eventual atau sekadar pencitraan saja tanpa kesinambungan dan kelanjutan yang jelas. Ketiga, adanya konflik antara pemerintah lokal dan pemerintah pusat hingga masih banyak daerah yang tertinggal secara ekonomi. Inilah yang banyak menyebabkan masalah, mulai dari pengalokasian anggaran tidak pada sektor prioritas hingga kebocoran anggaran di pemerintah lokal. Kesimpulannya, bila ingin berbicara di ASEAN, Indonesia perlu memperbaiki terlebih dahulu pekerjaan rumahnya yang masih belum terselesaikan seperti yang tercanangkan pada Millenium Development Goals.

Ekonomi Kreatif Perlu Dukungan Penuh

Sebagai peneliti yang juga berkecimpung dalam bidang ekonomi kreatif di Indonesia, Prof. Togar menilai bahwa sebenarnya ekonomi kreatif bisa menjadi salah satu daya saing ekonomi Indonesia di kancah ASEAN. Sayangnya, topik ekonomi kreatif ini masih indah dibicarakan, namun sulit dilakukan karena kurangnya dukungan pemerintah. Sebagai industri yang kebanyakan lahir dari kreativitas yang otodidak, sebenarnya ada tiga hal yang dibutuhkan dari pemerintah. Pertama, talent scouting dengan pencarian bakat kreatif yang berpotensi untuk selanjutnya dibina di dalam inkubator bisnis agar bisa berhasil secara perseorangan dan nantinya bisa menjadi bisnis yang lebih besar. Lalu, pemerintah juga harus membuat sistem kebijakan yang lebih lengkap, mulai dari pendanaan modal, fasilitas hingga pasar yang perlu dibangun dengan menyesuaikan nilai-nilai budaya dan alam setempat.

Prof. Togar menjelaskan bahwa untuk memajukan ekonomi kreatif di Indonesia, maka pertama-tama industri ini harus bisa memenuhi kebutuhan kreatif di dalam negeri terlebih dahulu. Dalam hal ini pemerintah perlu mempersiapkan program, terutama terkait pembinaan karena sifat orang Indonesia memang harus ada yang mengayomi dan menjaga kinerjanya agar bisa konsisten. Selain itu, tantangan lainnya adalah bagaimana menjamin ekonomi kreatif ini bisa memberi kehidupan yang layak bagi pelakunya agar bisa terus berinovasi. Terlebih lagi kita memang masih belum bisa menghargai para seniman dengan baik sehingga yang lebih diuntungkan malah para pedagang. Masalah-masalah ini bisa terjawab salah satunya dengan berani membayar mahal desainer untuk sekali mendesain produk yang digunakan sebagai produksi massal sehingga sama-sama diuntungkan.

"Kalau bisa, munculkan dulu leader-leader di sana dengan misi bahwa mereka bisa menarik yang lain. Juga harus ada supporting system agar bisa terus bertumbuh dan harus menggunakan logika multiplikasi dengan ada keberpihakan dari pemerintah melalui modal dan balai pelatihan yang diaktifkan lagi," tutur Prof. Togar. "Untuk ke arah sana, pemimpin ke depan memang harus mencintai Indonesia ini agar kita bisa berdaulat. Dia harus berani mengembangkan ekonomi kreatif ini, semisal batik, semuanya lengkap mulai dari orang, fasilitas, pasar, modal, pendidikan sehingga bisa sampai menembus pasar luar negeri. Yang terpenting, program itu harus berdampak, berjenjang, dan berkelanjutan. Jangan hanya wacana saja," tegas Prof. Togar.