Ragam Kreativitas Mahasiswa Kriya ITB Dipamerkan dalam Pameran A.LA

Oleh Adi Permana

Editor Adi Permana


BANDUNG.itb.ac.id – Sebanyak 18 mahasiswa Jurusan Kriya, Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD) Institut Teknologi Bandung (ITB) menggelar pameran karya seni A.LA tekstil, fashion, dan interior di Aula Timur ITB, Rabu (19/6/2019).  Karya-karya yang merupakan tugas akhir tersebut dipamerkan sebagai salah satu syarat kelulusan dalam ujian tugas akhir.


Pameran tersebut tampak meriah didukung dengan pencahayaan ruangan yang dominan berwarna oranye, semakin menambah kesan hangat di pameran. Untuk tahun ini, karya yang dipamerkan hanya dari kriya tekstil saja, seperti disampaikan Rifda, salah satu mahasiswa jurusan Kriya yang menjadi ketua pelaksana.

Adapun karya yang dipamerkan sangat beragam. Mulai dari jaket, topi, tas, gaun, taplak meja, sofa, karpet, kap lampu, bahkan tenda interaktif. Nama A.LA yang disematkan sebagai nama dari pameran karya seni kali ini menceritakan bahwa setiap orang dalam berkarya tentu akan memiliki karakteristiknya masing-masing. 

“A.LA itu kayak masing-masing orang kan punya keunikan sendiri-sendiri, jadi kita menerjemahkan apa yang kita pelajari menjadi karya khas kami atau nama lainnya ala kami,” cerita Rifda. Selain sebagai salah satu syarat kelulusan bagi mahasiswa Prodi Kriya ITB, pameran karya seni ini bertujuan untuk mengenalkan kepada masyarakat bahwasannya implementasi ilmu kriya sangatlah luas serta menunjukkan apa saja yang didapat selama mahasiswa tersebut mengikuti perkuliahan.



Karya Maudy Nathania misalnya. Maudy unjuk gigi dengan produk interior bertemakan daycare. Menurutnya produk interior seharusnya dapat dimaksimalkan sebagai media pembelajaran di penitipan anak. Agar lebih interaktif, Maudy menerapkan teknik reka latar yang pernah ia dapatkan selama perkuliahan. Teknik ini berupa mendesain permukaan kain seperti menyulam, aplikasi, merajut, dan lain-lain. 

Selain karya interior, terdapat pula karya artware. Produk artware yang terbuat dari serat kulit kayu lantung khas Bengkulu ini menggunakan teknik modular interlock. Pembuatnya, Syilvia, menjelaskan bahwa di Indonesia sebenarnya banyak serat alam yang sudah diolah oleh masyarakat. Termasuk serat kayu kulit lantung.

“Tapi nama serat kulit kayu lantung ini tidak eksis, karena masyarakat Indonesia itu mengolahnya sebatas beberapa teknik saja. Aku mencoba menaikkan nama serat kayu kulit lantung dengan menggunakan teknik modular interlock,” ucapnya kepada reporter Humas ITB. 

Sesuai namanya, modular interlock merupakan teknik menyambungkan/menggabungkan bahan tanpa bantuan lem atau jahitan. Dalam karya tugas akhirnya, Syilvia Rizkiani Putri mengekspresikan kecintaannya kepada lingkungan. Bermula dari isu lingkungan mengenai limbah produk fast-fashion, Syilvia menjelaskan bahwa produk fast-fashion merupakan salah satu sektor penyumbang limbah cair di lautan yang kemudian dalam karyanya diinterpretasikan dalam warna biru sebagai warna laut sedangkan warna abu-abu merepresentasikan limbah di lautan.



Berbeda dengan Maudy dan Syilvia, karya dari Seruni Sekarpuri mengekspresikan kecintaannya kepada budaya Indonesia. Untuk tugas akhirnya, Seruni menunjukkan perhatiannya terhadap kain tenun suku Baduy. Berangkat dari keprihatinannya mengenai kain tenun suku Baduy yang belakangan ini terbuat dari benang sintesis, Seruni bersama masyarakat suku Baduy kembali mengeksplor potensi sumber daya alam yang terdapat di sana untuk membuat benang hingga pewarna alami yang kemudian dibuat menjadi kain tenun khas Baduy yang dikomposisi ulang.

“Biar tenun ini berkembang, akhirnya dikembangkan juga motifnya. Jadi motif-motifnya itu dikomposisikan ulang, jadi ada motif-motif baru,” jelasnya. 

Dengan begitu, masyarakat dapat mengembangkan pewarna alam yang berkualitas serta dapat membuat tenun dengan motif baru tanpa melepas identitas suku Baduy itu sendiri. Seruni sendiri merasa sangat terkesan atas perjuangan dalam membuat karya tersebut. “Senang karena akhirnya jadi satu karya yang emang cerita dibaliknya itu banyak banget dan yang bikin mahalnya itu cerita dibaliknya,” tutur Seruni.

Reporter: Salma Zahra Fadiyah (Astronomi 2016)