Sambutan Rektor ITB: Rayakan Pembangunan Berkelanjutan untuk Indonesia dan Dunia

Oleh Bayu Septyo

Editor Bayu Septyo

BANDUNG, itb.ac.id - Oktober kembali menjadi bulan bahagia bagi segenap massa kampus ITB. Sebanyak 2393 wisudawan dan wisudawati yang terdiri dari program Sarjana, Magister dan Doktor kembali dilahirkan untuk wajah Indonesia masa depan dalam Wisuda Oktober Tahun Akademik 2015/2016. Dengan haru bahagia, Mereka yang berasal dari dua belas Fakultas/Sekolah menjalani wisuda terpisah pada Jumat dan Sabtu (16-17/10/15) di Sasana Budaya Ganesha (Sabuga) ITB. Keistimewaan ini menjadi lebih raya ketika Rektor ITB secara langsung memberi pidato sambutan yang diharapkan menjadi tambahan bekal diri bagi para wisudawan agar mampu bermanfaat sebaik-baiknya untuk masyarakat nanti.

Berkenaan dengan antusiasme terhadap agenda dunia pasca-2015, Sustainable Development Goals (SDGs), sebagai produk evaluasi dari Millenium Development Goals (MDGs), Prof. Kadarsah membuka sambutan ilmiahnya yang menekankan pembangunan keberlanjutan (Sustainable Development) sebagai agenda global yang harus digalakkan di Indonesia sebagai bangsa bermartabat di dunia. Gagasan Keberlanjutan yang telah lama hinggap dalam pikiran para pemimpin dunia kini bukan hanya menyoal tentang lingkungan dan ketersediaan sumber daya alam (SDA). Lebih dari itu, menjadi amat kompleks seiring cepatnya dinamika global. Uniknya gagasan ini terlihat kontradiktif ketika dirangkaikan dengan terma pembangunan (development) yang meminta eksplorasi atas apa-apa yang ada. "Semakin tinggi laju pembangunan, semakin tinggi laju eksplorasi sumber-sumber daya, ini berarti semakin sulit pembangunan tersebut dijaga keberlanjutannya," ungkap Prof. Kadarsah.

Untuk itu, diperlukan sebuah yin-yang untuk menjaga keserasian upaya-upaya perwujudan dari Sustainable Development agar tidak saling tindih satu sama lain. Secara ringkas, Prof. Kadarsah memaparkan dua aspek dari pembangunan berkelanjutan yang seimbang, "perkenankan saya secara ringkas membahas pengembangan teknologi melalui renewable resources dan penyeimbangan kehidupan komunitas-komunitas". Dilatar belakangi oleh Protokol Kyoto pada 2015, Bagian pertama aspek diatas merupakan respon terhadap pendekatan ujung pipa (end-of-pipe approach) pada teknologi lingkungan yang tidak memadai lagi dalam menghadapi efek merugikan dari sumber daya berbasis fosil. Kemudian, pemikiran baru dirumuskan untuk mengembangkan teknologi yang berprinspikan keberlanjutan secara holistik. Paradigma ini kemudian melahirkan Trias Energica yang terdiri dari peningkatan efisiensi penggunaan energi, pemasokan sumber daya terbarukan, dan penggunaan cleaner technology pada bahan bakar fosil. Inilah yang pada akhirnya mengharuskan setiap bangsa di dunia untuk mengembangkan dan memanfaatkan teknologi berbasis sumber daya terbarukan yang diyakini memiliki begitu banyak manfaat oleh para ahli dunia. Dengan demikian, pembangunan berkelanjutan menetapkan pengembangan ekonomi dunia berbasis sumber daya terbarukan menjadi suatu hal yang krusial lagi penting.

Sejak 1980-an ITB sendiri telah memelopori pengembangan teknologi berbasis sumber daya terbarukan melalui penelitian dan pembangunan fasilitas salah satunya adalah Pusat Penelitian Energi ITB. Namun begitu, Prof. Kadarsah mengakui masih terdapat kontroversi di antara para ahli terkait teknologi demikian. "Ketidakpastian itu misalnya dalam kalkulasi biaya dan jumlah luasan lahan yang dibutuhkan untuk produksi energi bio-massa berskala besar," terang Prof. Kadarsah. Disisi lain, perasingan prduksi energi terbarukan semacam bio-energi dengan produksi pangan dan ketidakberaturan iradiasi matahari dalam pemanfaatan sel surya serta teknologi penyimpanan listrik yang handal juga menjadi tantangan lain bagi Indonesia dalam beralih pada teknologi berbasis energi terbarukan.

Dalam bagian lain terkait aspek dari upaya perwujudan pembangunan berkelanjutan yang seimbang, Prof. Kadarsah menyentil persoalan komunitas-komunitas yang ternyata juga memainkan peranan penting. Keselarasan sosial dalam keberlangsungan hidup ini tidak hanya perlu pada tingkat intra-generasi namun juga antar-generasi yang berkaitan dengan nasib masa depan sebagai dampak dari kegiatan dan kondisi masa kini. Berbagai pandangan bermunculan terkait hal ini, mulai dari kemampuan sebuah komunitas untuk bertahan, kemampuan untuk hidup bersama, hingga mempertahankan kehidupan secara selektif pada beberapa aspek saja. "Perbedaan pandangan demikian inilah yang menciptakan multi-tafsir pada definisi sustainability," ungkap Prof. Kadarsah.

Namun demikian, terdapat tiga aspek umum yang mampu melingkup persoalan sustainability dalam kehidupan sosial diantaranya adalah daya tahan lingkungan, vitalitas ekonomik dan kesetaraan sosial. Ketiga hal inilah yang selanjutnya harus dipertanyakan formulasinya demi terciptanya kehidupan bersama yang sustainable. Untuk itu, pendekatan-pendekatan berbagai bidang diperlukan dalam menemukan rancangan terbaik dalam merumuskan langkah kedepan. " Dalam literatur, terdapat sejumlah pendekatan yang ditawarkan, diantaranya pendekatan urban design, pendekatan pengelolaan ekosistem dan pendekatan neighborhood," tukas Prof. Kadarsah

Kesemua hal diataslah yang harus direnungkan para wisudawan dan wisudawati sebagai insan ipteks yang dituntut menjadi problem solver bagi bangsa ini. Pengembangan teknologi kedepannya memerlukan pengetahuan dalam menjaga keseimbangan-keseimbangan sosio-kultural dan sumber daya hayati yang sangat beragam. Begitu juga pendekatan dalam penataan kehidupan harus disesuaikan dengan kondisi komunitas yang unik dan variatif.

Dalam menutup pidatonya, Prof. Kadarsah memberi penekanan pada peran lulusan ITB sebagai connector. Wisudawan dan wisudawati memikul harapan besar almamater sebagai penghubung generasi masa kini dan generasi masa depan, pengubungan masyarakat kota dan masyarakat desa, penghubung publik dan swasta, serta penghubung bangsa Indonesia dan bangsa dunia. Hubungan itu haruslah menelurkan kemajuan dalam peradaban manusia kedepannya. Disamping itu, status ikatan alumni ITB dengan kampus ITB bukanlah seperti saklar yang hidup-matinya ditentukan begitu saja. Ikatan tersebut bersifat abadi dan prestasi antar keduanya, baik lulusan terhadap almamater dan sebaliknya, menjadi hubungan timbal balik yang saling menguatkan dan membanggakan. "Demikian pula keberhasilan saudara untuk berkontribusi dalam pembangunan komunitas dan Indonesia serta dunia akan menjadi kebanggaan bagi kami". Inilah yang disebut manifestasi dari apa yang tertera pada Tugu Soekarno di kampus ITB, sekali teman tetap teman.