SBM ITB Talks: Mencari Solusi untuk "Hidden Unemployment" di Indonesia
Oleh M. Naufal Hafizh
Editor M. Naufal Hafizh
BANDUNG, itb.ac.id - Apakah Indonesia sedang menghadapi krisis pekerjaan dan kekurangan lapangan kerja yang layak? Topik krusial ini dibahas tuntas dalam episode terbaru SBM ITB Talks, menghadirkan pakar manajemen SDM dari People and Knowledge Management Interest Group, Sekolah Bisnis dan Manajemen, Institut Teknologi Bandung, yakni Alliyah S. Rusdinar, M.Sc., M. Yorga Permana, M.Sc., dan Adita Pritasari, MSM.
Diskusi diawali dengan fenomena sulitnya mencari kerja yang marak di media sosial. Meskipun jumlah angkatan kerja di Indonesia besar, namun banyak yang mengalami skill mismatch dengan kebutuhan industri.
“Tenaga kerjanya banyak banget, tapi secara kualitas, kompetensi atau skill-nya enggak sesuai sama kebutuhan industri sekarang,” ujar Alliyah.
Yorga menambahkan bahwa selain skill mismatch, persoalan lainnya adalah minimnya lapangan pekerjaan yang layak. “Di satu sisi anak-anak muda harus upskilling, harus ikut banyak pelatihan, tapi di sisi lain juga ada hal yang harus kita diskusikan dengan terbuka: pekerjaannya ada enggak? Rekrutmennya ada enggak?” katanya.
Data menunjukkan bahwa sektor formal di Indonesia hanya menyerap 40 persen angkatan kerja, sisanya tersebar di sektor informal dengan keterampilan rendah dan upah minim.
"Ada 17 juta pekerja itu adalah pekerja keluarga tidak dibayar yang itu ada di statistik kita. Tapi itu tidak dikategorikan sebagai pengangguran," kata Adita.
Mirisnya, rata-rata gaji pekerja formal di Indonesia hanya sekitar Rp2,7 juta, bahkan 45 persen di antaranya bergaji di bawah UMR. Kondisi ini menunjukkan bahwa akses terhadap pekerjaan layak masih sangat terbatas.
Lalu, apa pentingnya pekerjaan layak bagi individu dan masyarakat? Para narasumber sepakat bahwa pekerjaan layak berkontribusi signifikan terhadap peningkatan kualitas hidup, kesejahteraan keluarga, pertumbuhan ekonomi, dan stabilitas sosial.
Untuk mewujudkan Indonesia Emas 2045, diperlukan transformasi struktur lapangan kerja yang signifikan. Salah satunya dengan meningkatkan proporsi pekerja di sektor manufaktur dari 15 persen menjadi 25 persen.
Para narasumber menekankan pentingnya kolaborasi antara pemerintah dan pengusaha dalam menciptakan lapangan kerja yang layak. Pemerintah perlu menerapkan kebijakan industri yang mendukung pertumbuhan sektor manufaktur dan jasa berteknologi tinggi. Sementara pengusaha harus memiliki komitmen untuk menciptakan lapangan kerja yang layak dan berinvestasi dalam peningkatan produktivitas.
Diskusi diakhiri dengan kesimpulan bahwa penciptaan lapangan kerja layak merupakan tanggung jawab bersama dan membutuhkan upaya kolektif dari berbagai pihak. Melalui kolaborasi yang kuat antara pemerintah, pengusaha, dan institusi pendidikan, diharapkan Indonesia dapat mewujudkan cita-cita Indonesia Emas 2045 dengan SDM yang berkualitas dan sejahtera.
Reporter: Hafsah Restu Nurul Annafi (Perencanaan Wilayah dan Kota, 2019)