Semarakkan International Observe The Moon Night 2023, Observatorium Bosscha Adakan Pengamatan Bulan Secara Virtual
Oleh Anggun Nindita
Editor Vera Citra Utami
BANDUNG, itb.ac.id — Observatorium Bosscha kembali mengajak masyarakat Indonesia belajar sambil menikmati langit malam secara virtual dalam acara “Pengamatan Virtual Langit Malam” (PVLM), Sabtu (21/10/2023). Dalam rangka menyemarakkan International Observe The Moon Night (INOMN) 2023, PVLM kali ini mempelajari Bulan melalui pengamatan dan pengalaman interaktif.
Kegiatan tersebut bekerja sama dengan Sekolah Pembangunan Jaya Bintaro dan Sidoarjo serta dipandu oleh peneliti Observatorium Bosscha, yaitu Muhammad Yusuf dan Dhimaz G. Ramadhan.
Bulan merupakan salah satu objek astronomi yang sangat menarik untuk dipelajari mengingat keberadaannya yang tidak bisa dipisahkan dengan Bumi. Tidak jauh berbeda dengan sekarang, peradaban manusia pada zaman dahulu juga sangat tertarik dengan Bulan.
Yusuf dan Dhimaz menjelaskan keberadaan benda melayang yang menyala terang di langit malam berdasarkan latar belakang budaya dan kepercayaan lokal. Sejarah mencatat bahwa berbagai bangsa memiliki penafsirannya terhadap Bulan. Bangsa China menganggap pola pada permukaan Bulan merupakan perwujudan kelinci yang menjadi pendamping setia Dewi Bulan, sedangkan Bangsa Kongo mengidentikkan pola tersebut dengan buaya.
Sebelum IPTEK berkembang seperti sekarang, peradaban kuno menganggap pola gelap (mare) dan terang (highlands) pada permukaan Bulan merupakan lautan dan daratan layaknya di Bumi. Beberapa abad kemudian, peradaban modern baru memahami bahwa permukaan Bulan hanya tersusun atas fitur bebatuan dan kawah. Kawah-kawah yang terbentuk merupakan bekas tumbukan benda langit dari ruang angkasa yang menghantam permukaan Bulan pada sudut tertentu. Tumbukan yang terjadi mampu meninggalkan bekas berupa kawah karena atmosfer Bulan sangat tipis. Tidak seperti di Bumi, fitur kawah pada Bulan umumnya akan bertahan selamanya karena tidak ada aktivitas vulkanik maupun tektonik yang mampu memperbarui bentuk permukaannya.
“Di Bumi kita punya peristiwa vulkanik sehingga permukaan Bumi selalu terbarukan. Artinya, kalau ada tumbukan, bekasnya bisa saja tertutup kembali atau mengalami erosi sehingga kita tidak bisa lagi melihatnya. Sementara di Bulan, karena tidak ada aktivitas vulkanik dan tektonik, permukaannya tidak pernah terbarukan,” ujar Yusuf.
Selain kawah, hal unik lainnya yang dapat terlihat dari pengamatan Bulan adalah bekas sungai dari aliran lava yang terlihat seperti garis sempit memanjang pada permukaan Bulan. Peneliti meyakini bahwa bekas sungai ini terbentuk akibat aktivitas vulkanik yang menyebkan pola aliran materi cair saat Bulan masih sangat muda. Pada bagian permukaan Bulan yang lain juga dapat ditemukan reruntuhan terowongan lava yang semakin menguatkan dugaan tentang adanya aktivitas vulkanik di masa awal pembentukan Bulan.
Uniknya, bagian permukaan Bulan yang menghadap Bumi selalu sama sehingga memunculkan pertanyaan tentang bagian Bulan lain yang tidak terlihat dari Bumi.
Keingintahuan manusia akan hal tersebut mendorong lahirnya berbagai proyek penelitian Bulan hingga akhirnya manusia mengetahui bahwa penampakan permukaan Bulan tidak sama di setiap sisi.
Pada bagian permukaan Bulan yang menghadap Bumi (sisi dekat), wilayah mare lebih luas serta kawah yang terbentuk tidak terlalu banyak. Sementara itu, pada bagian yang tidak menghadap Bumi (sisi jauh), mare jauh lebih sedikit serta kawah yang ditemukan lebih banyak daripada sisi dekat. Hal ini, kata Yusuf, terkait erat dengan sejarah pembentukan serta perkembangan Bulan sejak miliaran tahun lalu.
Dhimaz menambahkan, “Manusia tidak nyaman untuk tidak mengetahui sesuatu, sehingga mereka sudah berandai-andai melalui teori sejak dari dulu. Namun teori-teori yang diajukan harus mampu menjelaskan fakta yang teramati pada Bulan saat ini.”
Salah satu hipotesis tentang pembentukan Bulan yang paling terkenal adalah Hipotesis Tubrukan Besar (Giant-impact Hypothesis). Hipotesis ini memperkirakan bahwa Bulan terbentuk dari sisa lontaran materi hasil tubrukan miliaran tahun lalu antara Bumi dengan benda langit berukuran lebih kecil dari Mars yang disebut Theia. Sejak saat itu, Bulan dan Bumi saling terikat secara gravitasi sehingga Bulan mengorbit Bumi sebagai satelit.
Reporter: Hanifa Juliana (Perencanaan Wilayah dan Kota, 2020)
Editor: M. Naufal Hafizh