SIBE 2022: Meningkatkan Aksesibilitas dan Ketersediaan Air Bersih di Asia Tenggara

Oleh Adi Permana

Editor Adi Permana

BANDUNG, itb.ac.id – Ketersediaan air sangat penting bagi keberlangsungan hidup dan negara. Beberapa daerah memiliki terlalu banyak air, sementara yang lain memiliki terlalu sedikit; keduanya tidak menguntungkan bagi masyarakat, terlebihnya di Indonesia. Tidak hanya persediaan air bervariasi, aksesibilitas untuk air minum bersih dan aman tidak mudah.

Salah satu mata acara SIBE 2022 yang dibawa oleh Kelompok Keahlian Rekayasa Air dan Limbah Cair ITB dan IWA (International Water Association) adalah webinar berjudul “Improving the accessibility of the safe drinking water in Southeast Asia to achieve the SDGs” di hari Minggu (10/03/2022). Tiga narasumber ikut serta dalam webinar ini, yaitu Robert Bos, Tri Dewi Virgiyanti, dan Patrick Lester N. Ty. Mereka memaparkan presentasi masing-masing terkait keamanan air minum di Indonesia dan solusi untuk meningkatkan kualitasnya.

“Akses ke air bersih sangat penting. Sayangnya, masih banyak orang yang kesusahan mendapatkan air layak minum di Asia Tenggara,” kata Dekan FTSL ITB Ir. Edwan Kardena, Ph.D. Orang-orang yang tinggal di pantai pesisir, contohnya, tidak dapat air bersih yang cukup walaupun mereka berada di daerah yang penuh dengan air laut. Air laut pun bisa diolah menjadi air tawar yang cocok untuk minum, tetapi biaya proses permurnian air mahal.

Dr. Hong Li (Direktur International Water Association Asia dan Oceania) juga mengatakan dalam kata sambutannya bahwa perubahan iklim memperburuk kualitas dan pasokan air dan sanitasi publik. 2,2 miliar orang masih kekurangan akses bersih, sedangkan lebih dari 4 miliar orang tidak punya akses ke layanan manajemen keselamatan dan sanitasi. “Sangat krusial bagi kita untuk bekerja sama secara internasional, lintas disiplin, dan lintas sektoral untuk memastikan keamanan air dan sanitasi publik,” jelasnya.

Dua-duanya berharap isu yang disampaikan tentang permasalahan air dapat didiskusikan untuk mencapai solusi terbaik dan memperbaiki kondisi Asia Tenggara.
Webinar dimulai dengan Robert Bos, konsultan independen sekaligus Ketua Pengawas Kesehatan Masyarakat, Lingkungan, Air dan Sanitasi di IRC (International Water and Sanitation Centre) Belanda. Dengan presentasi “The SDG Agenda 2030: Eight More Years to Achieve the Goals”, koordinator program WASH (Water, Sanitation and Health) di WHO ini menyebut semua target SDG sama pentingnya untuk meraih kesejahteraan masyarakat, salah satunya adalah SDG ke-6 yaitu memastikan ketersediaan dan pengelolaan air dan sanitasi yang berkelanjutan untuk semua.

Ia menjelaskan, target tersebut ditetapkan agar setiap orang mendapat layanan yang memadai dan merata secara universal. Hal ini dapat dicapai melalui berbagai upaya untuk meningkatkan kualitas air, efisiensi penggunaan air, memastikan penarikan dan pasokan air tawar yang berkelanjutan, menerapkan pengelolaan sumber air terpadu, melindungi dan memulihkan ekosistem air, memperluas kerja sama dan dukungan internasional, serta memperkuat partisipasi masyarakat lokal pada tahun 2030.

Walaupun segala rancangan sudah disusun, secara realita masih banyak kekurangan layanan air dan sanitasi layak. Jika tren ini berlanjut, 1,6 miliar populasi tidak punya akses air minum dan 2,8 miliar tidak punya akses layanan kebersihan yang aman. Saat ini pun hampir setengah dari populasi global kekurangan layanan sanitasi yang dikelola dengan aman di rumah mereka. Maka dari itu, Robert menekankan empat tantangan permasalahan air yang harus dihadapi: kelangkaan air, kualitas air buruk, ketidakadaan atau rusaknya infrastruktur, dan fragmentasi struktur pemerintahan dan kelembagaan yang berturut.

Sesi diskusi dilanjutkan oleh Tri Dewi Virgiyanti, Direktur Perumahan dan Permukiman dari BAPPENAS. Dia juga merupakan alumni Teknik Lingkungan ITB di tahun 1995. Dalam pemaparan “Indonesia’s Experience in Providing Safe Drinking Water”, dia menjelaskan bahawa SDG dapat diimplementasikan untuk mendukung ekonomi, masyarakat, dan biosfer negara lewat penyediaan air bersih dan sanitasi.

SDG ke-6 digunakan di rencana pembangunan jangka menengah nasional dimana dasar-dasar untuk air minum yang dikelola dengan aman diformulasikan. Target nasional di 2030 adalah tercapainya 100% peningkatan akses, 30% keamanan akses, dan 50% akses pipa ke masyarakat. Target ini berhasil kalau kinerja pengelolaan air minum fokus pada peningkatan sumber, aksesibilitas, ketersediaan dan kualitas air. Membandingkan persentase akses ketersediaan air minum lewat perpipaan dengan negara-negara lain, Indonesia tergolong rendah. Karena ini, Indonesia perlu meningkatkan akses air minum perpipaan baik di tingkat ASEAN maupun global.

Salah satu proyek yang sedang dilakukan oleh BAPPENAS adalah menyediakan akses air minum perpipaan dengan strategi berikut ini: pembangunan infrastruktur pendukung air baku, pemanfaatan kapasitas fasilitas, penurunan penggunaan air nonrevenue, dan pengembangan SPAM regional. Dewi menambahkan bahwa strategi penting dalam menghadapi isu air minum adalah mengamati permintaan masyarakat, institusi, regulasi, pendanaan, dan infrastruktur untuk memastikan pengeluaran yang berkualitas.

Pemaparan persoalan air minum terakhir dibawakan oleh Kepala Regulator MWSS RO (Metropolitan Waterworks and Sewerage System Regulatory Office), Patrick Lester N. Ty. “Di area konsensi, terdapat dua pusat pengolahan air yaitu Maynilad dan Manila Water,“ dia menyatakan dalam presentasi tentang “Making Potable Water Available, Accessible and Affordable for All: Effective Regulation of Water, Sewerage and Sanitation Services in the Concession Area”. 90% sumber air MWSS di Manila berasal dari bendungan Angat dan merupakan sumber air utama untuk seluruh wilayah Metro Manila, dan 10% dari danau Laguna. Masalah dari kedua sumber air ini adalah yang satu memiliki pasokan rendah saat ini, sedangkan yang kedua memiliki kualitas air yang buruk.

Dengan naiknya kebutuhan air dan kurangnya infrastruktur dan sumber air baru untuk menyuplai kebutuhan tersebut, populasi Metro Manila yang terus bertumbuh menghadapai krisis air di 2019. Patrick juga menjelaskan beberapa komunitas tidak punya pilihan selain bergantung kepada air yang mahal dan berbahaya karena berbagai perkara, Oleh karena itu, mereka mengalami penggunaan air terbatas, kesehatan dan sanitasi yang memburuk, serta keuangan rumah tangga terbatas.

Proyek-proyek untuk mengatasi aksesibiltas air terhadap komunitas tersebut dirancang dengan penekanan terhadap pencarian sumber air baku dan konservasi air. Tata kelola partisipatif, transparansi dan akuntabilitas mengenai informasi air dan sanitasi sangat penting untuk konsultasi publik dan dorongan informasi lebih lanjut.

Reporter: Ruth Nathania (Teknik Lingkungan, 2019)