Studium Generale ITB: Menyelami Hakikat Kejeniusan Manusia Lewat Buku The Geography of Genius
Oleh Adi Permana
Editor Adi Permana
BANDUNG, itb.ac.id — Eric Weiner, seorang mantan jurnalis yang kini menjadi penulis buku bestseller, dan pembicara publik dari Amerika Serikat mengisi Studium Generale ITB pada Rabu (26/10/2022) secara hybrid dari Aula Barat, ITB Kampus Ganesha.
Kuliah umum ini mengangkat tema “The Geography of Genius” yang merupakan salah satu judul buku Eric Weiner. Ia merupakan seorang pelancong filosofis yang menjelajah ke berbagai belahan dunia. Acara tersebut dipandu oleh Lusia Marliana Nurani, Ph.D., dari FSRD.
Dalam bukunya yang berjudul “The Geography of Genius”, Eric berusaha mencari tahu bagaimana seorang jenius dilahirkan melalui irisan antara gagasan dengan aspek geografis. Kata “jenius” menurut Eric tidak hanya berkutat pada aspek intelegensi, namun lebih merujuk pada seseorang yang dapat memberikan sesuatu untuk peradaban umat manusia lewat kreativitasnya.
Jenius tidak selalu berarti pintar, namun seorang jenius adalah kreatif yang mampu melakukan lompatan tak biasa. Mengutip dari seorang filsuf Jerman, Eric menjelaskan bahwa orang yang berbakat mampu mencapai titik yang tidak mampu dicapai orang lain, sedangkan orang jenius mampu mencapai titik yang tidak mampu dilihat orang lain.
“Ketika berbicara tentang jenius, kita tidak hanya membicarakan seseorang yang sangat cerdas atau seseorang yang mengerjakan tes dengan sempurna, tapi seseorang yang mampu memberikan kontribusinya kepada lingkungan dan peradabannya.”
Terkait faktor yang membentuk kejeniusan seseorang, Eric secara pribadi membantah bahwa jenius bersifat alami. Sifat alamiah dari gen atau keturunan hanya merupakan bagian kecil dari keseluruhan faktor yang mendorong terciptanya kejeniusan.
Menurutnya kejeniusan merupakan sesuatu yang terus tumbuh, bukan diturunkan atau diciptakan. Eric mengambil contoh dari Mozart, seorang jenius musik abad pertengahan yang masyhur karena karyanya. Kejeniusan Mozart tidak hanya sesederhana karena faktor genetik, namun juga karena lingkungannya yang mendukung. Ia tumbuh pada era di mana musik klasik sedang mencapai puncak kejayaannya, di wilayah Austria yang juga terkenal sangat musikal.
“Andaikan Anda menanam pohon mangga, Anda tidak hanya butuh bibit yang berkualitas dan perlakuan yang baik, namun juga tanah yang subur. Itulah apa yang coba disampaikan melalui konsep Geography of Genius,” ujar Eric.
Para jenius memiliki keterbukaan pada pengalaman dan ide-ide baru. Mereka mampu menghubungkan titik-titik yang saling terpisah menjadi satu makna dalam kerangka interpretasinya. Mereka juga merupakan orang-orang yang tidak konvensional, menyukai hal yang tidak terduga namun nyata keberadaannya. Dari sini, konsep Geography of Genius mengajarkan kita bahwa aspek kultural dan emosional tidak kalah penting dari aspek teknis.
Eric menjelaskan, “Sejauh ini saya mengamati hubungan yang ganjil antara perguruan tinggi dan kejeniusan. Hal ini karena perguruan tinggi cenderung membentuk seseorang menjadi konformis, sedangkan jenius kreatif bergerak melawan prinsip tersebut. Perguruan tinggi yang baik akan memberi ruang bagi orang-orang yang mencoba melawan status quo ini, memberi ruang bagi mereka untuk menumbuhkan ketidakbiasaannya.”
Dalam Geography of Genius, Eric menuangkan tiga nilai dasar dalam hal kreativitas pada masing masing tempat yang disebut 3D, yaitu diversity (keragaman), discernment (kearifan), dan disorder (kekacauan).
Diversity merupakan kumpulan berbagai macam ide dan karakter yang diwujudkan tingkat toleransi tertentu. Sedangkan discernment merujuk pada kemampuan suatu tempat untuk memisahkan ide baik dan ide buruk yang dihasilkan oleh manusia di dalamnya.
Nilai yang terakhir yaitu disorder. Walaupun terkesan negatif, namun sebenarnya disorder sangat diperlukan sebagai sarana pembelajaran di antara keteraturan yang sudah terbangun sebelumnya. Dari proses disorder inilah kemudian akan muncul ide ide baru yang dilahirkan seorang jenius.
Reporter: Hanifa Juliana (Perencanaan Wilayah dan Kota, 2020)