Transformasi Pendidikan ITB di Era New Normal
Oleh Adi Permana
Editor Adi Permana
BANDUNG, itb.ac.id--Prof. Kadarsah Suryadi, menjadi pemateri dalam acara workshop bertema “Towards ITB’s Education 4.0” yang digelar oleh Direktorat Pengembangan Pendidikan ITB, Kamis (10/06/2021). Pada acara itu, Prof. Kadarsah membawakan tema terkait megatren Revolusi Industri 4.0, mega-shift di era New Normal, Internet of Things (IoT) dalam ranah pendidikan, serta pendidikan 4.0 di ITB. Megatren Revolusi Industri 4.0 memuat lima hal, yaitu demokratisasi pengetahuan dan akses, teknologi digital, mobilitas global, kompetisi pasar dan pendanaan, serta integrasi dengan industri.
Sementara itu, mega-shift di era New Normal mencakup perilaku masyarakat yang kini lebih banyak menjalankan aktivitas dari rumah, mengutamakan kebutuhan dasar sehingga konsumsi produk tersier relatif berkurang, memiliki empati yang besar, serta menjadikan inovasi digital sebagai kunci keberhasilan untuk memperoleh konsumen.
Aktivitas digital di dunia virtual akan semakin banyak, termasuk dalam ranah pendidikan dan layanan perguruan tinggi. Untuk itu peruguruan tinggi dapat mengadakan aktivitas multidisiplin dan blended-learning, memanfaatkan IoT, memperbarui infrastruktur digital, serta meningkatkan konektivitas antarentitas dalam perguruan tinggi.
“Transformasi digital saat ini erat hubungannya dengan transformasi antara konten pedagogi dan teknologi. Dalam transformasi ini, dibutuhkan pula peran aktif mahasiswa,” ungkap Prof. Kadarsah.
Transformasi Digital ITB
Melanjutkan paparan Prof. Kadarsah, Prof. Hermawan mengawali paparan soal perubahan yang saat ini dihadapi. Menurutnya, generasi sekarang harus belajar beradaptasi karena dituntut untuk bertransformasi. Terdapat berbagai faktor yang memotivasi munculnya niat belajar tersebut, di antaranya adalah tujuan untuk mencapai pendidikan yang optimal, manfaat dan efisiensi, dukungan dan kemudahan adopsi, kemauan berubah, serta rasa memiliki. Faktor-faktor tersebut dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu faktor internal dan faktor eksternal.
Jika tidak belajar dan mengejar, digitalisasi akan memperlebar kesenjangan antarbangsa. “Jadi, kita memang harus bekerja semaksimal mungkin. Kita perlu proaktif dalam percepatan transformasi. Ini adalah bentuk investasi terhadap bangsa,” ucap Prof. Hermawan.
Peringkat Universitas dan Kehadiran Digital
Paparan terakhir disampaikan oleh Dr. Poerbandono melalui video yang telah dipersiapkan sebelumnya. Dr. Poerbandono menjelaskan mengenai hubungan timbal balik antara opini publik dengan reputasi dan rekognisi universitas yang dapat dilihat dari peringkat universitas.
Peringkat sendiri terbentuk dari setidaknya dua hal, yaitu pendapat publik serta data-data perguruan tinggi itu sendiri, misalnya data produktivitas riset. Sekalipun ITB menduduki peringkat ke-303 (2022), peringkat tertinggi yang pernah diraih selama 20 tahun terakhir berdasarkan QS World University Rankings, setidaknya terdapat tiga titik lemah ITB, yaitu internasionalisasi, sitasi, dan reputasi akademik.
“Reputasi adalah hal yang kompleks. Dari banyak variabel yang memengaruhi, dua faktor yang paling membentuk adalah pengelolaan kemitraan dan kehadiran digital,” ujar Prof. Poerbandono. Dia menekankan bahwa penting bagi ITB untuk meningkatkan jumlah mitra, baik domestik maupun internasional. Mengenai kehadiran digital, hal ini dapat didorong melalui peningkatan jumlah artikel oleh para penulis yang terafiliasi dengan ITB. Hal tersebut penting untuk meningkatkan opini publik yang baik terhadap ITB demi meningkatkan reputasi ITB.
“Semoga ini bisa memberikan inspirasi untuk kita dalam melakukan langkah-langkah sistematis untuk memperbanyak kuantitas dan kualitas eksistensi ITB di internet,” demikian Prof. Poerbandono mengakhiri paparan dalam rekaman videonya.
Sebagai penutup, Prof. Kadarsah menyampaikan bahwa era disrupsi yang dihadapi saat ini adalah era dengan perubahan yang drastis dan transformasi yang eksponensial sehingga dibutuhkan upaya dari seluruh pihak. Sementara itu, dalam closing statement-nya, Prof. Hermawan mengingatkan kembali bahwa para dosen memiliki tanggung jawab sehingga suka tidak suka harus siap dalam menghadapi perubahan.
Reporter: Zahra Annisa Fitri (Perencanaan Wilayah dan Kota, 2019)