PIDATO REKTOR ITB
WISUDA KEDUA ITB TAHUN AKADEMIK 2023/2024
“SARJANA DENGAN KARAKTER”
Yang saya hormati,
Pimpinan dan Anggota Majelis Wali Amanat,
Pimpinan dan Anggota Senat Akademik,
Segenap Dosen dan Tenaga Kependidikan,
Seluruh Wisudawan,
Bapak/Ibu Hadirin,
Assalamualaikum warrahmatullahi wabarakatuh,
Salam sejahtera bagi kita semua.
Dengan memanjatkan puji dan syukur ke hadirat Allah SWT dan disertai rasa bangga, saya sampaikan selamat kepada seluruh wisudawan Program Doktor, Program Magister, serta Program Sarjana, dalam Prosesi Wisuda Kedua Institut Teknologi Bandung Tahun Akademik 2023/2024. Pada hari ini, Saudara mendapatkan sebuah gelar kesarjanaan yang baru dari ITB, sebagai bentuk pengakuan terhadap penguasaan ilmu pengetahuan dan kompetensi akademik yang telah berhasil Saudara raih. Dengan menyandang gelar baru tersebut, Saudara kini mengemban tanggung jawab baru yang lebih tinggi, untuk bisa berkiprah dan memberikan sumbangsih kepada masyarakat dan bangsa Indonesia, serta peradaban dunia dan kemanusiaan.
Para wisudawan yang saya banggakan,
Sesudah menyelesaikan studi di ITB, perjalanan Saudara akan memasuki fase yang baru di lingkungan kerja, di masyarakat, di ‘dunia nyata’. Yang membuat fase ini menjadi baru, sebetulnya bukanlah bahwa lingkungan kampus itu ‘tidak nyata.’ Lingkungan kampus pun bagian yang tak terpisahkan dari ‘dunia nyata.’ Tetapi yang berbeda adalah status yang Saudara emban. Selama menjalani studi, status Saudara adalah ‘mahasiswa’. Sedangkan sesudah lulus, status adalah seorang ‘sarjana.’ Jadi tidak ada ‘dunia nyata,’ sebagai lawan dari ‘dunia tidak nyata.’ Yang ada adalah perbedaan status dan peranan, yang diikuti dengan perbedaan peranan, hak dan tanggung jawab.
Dengan status ‘mahasiswa,’ peranan Saudara adalah ‘menimba ilmu’, meraih penguasaan ilmu pengetahuan dan kompetensi akademik. Saudara mendapatkan ‘privilege,’ agar dapat menjalankan peranan tersebut sebaik-baiknya. Kami, para dosen dan segenap tenaga kependidikan, berupaya untuk memberikan fasilitas dan pelayanan yang terbaik bagi Saudara sebagai ‘mahasiswa.’ Negara pun turut memberikan dukungan kepada Saudara, baik secara langsung maupun tidak langsung. Kampus dan negara menyediakan support system bagi Saudara, agar dapat menimba ilmu dan meraih kompetensi setinggi-tingginya. Support system ini adalah ‘privilege’ yang Saudara dapatkan, sebagai ‘mahasiswa.’
Ketika Saudara sudah bukan lagi mahasiswa, situasinya berbeda. Privilege tersebut sudah tidak ada lagi. Sebagai seorang sarjana, lulusan perguruan tinggi, pertanyaannya adalah bagaimana Saudara, dengan ilmu dan kompetensi yang telah diraih, dapat memberikan kontribusi kepada lingkungan kerja.
Di kelas, ketika Saudara melakukan kesalahan dalam pembelajaran, konsekuensinya sebatas pada nilai kelulusan mata kuliah. Kalau pun tidak lulus, Saudara bisa mengambil kembali mata kuliah tersebut. Tetapi sebagai sarjana, di lingkungan kerja, situasinya sangat berbeda. Kesalahan yang Saudara lakukan dapat menimbulkan dampak yang nyata, yang merugikan banyak pihak. Di sini, kepedulian dan tanggung jawab sosial menjadi faktor yang penting.
‘Mahasiswa’ dan ‘sarjana’ adalah dua status yang berbeda. Dan dari perbedaan status tersebut, melekat peranan, hak dan tanggung jawab yang berbeda. Di lingkungan kerja pun, ketika Saudara menjadi bawahan atau atasan, sebagai karyawan atau pimpinan, di sini Saudara mengemban peranan yang berbeda lagi. Jadi, di sepanjang perjalanan hidup, kita akan memasuki lingkungan sosial yang berbeda-beda, memegang peranan yang berbeda-beda. Untuk bisa menempuh perjalanan tersebut dengan berhasil, kita perlu terus-menerus belajar (life-long learning). Tetapi ini saja tidak cukup, kita juga perlu terus-menerus mengembankan karakter.
Para wisudawan yang berbahagia,
Bapak/Ibu hadirin yang saya hormati,
Pada kesempatan ini, ijinkan saya membahas tiga unsur karakter yang penting yaitu adaptability, integrity, dan responsiveness (AIR), yang bisa juga diterjemahkan dengan Adaptasi, Integritas, dan Rendah hati, AIR juga.
Sebenarnya, baik kampus maupun dunia kerja, adalah lingkungan sosial yang heterogen. Di kampus terdapat beraneka ragam bidang akademik, serta mahasiswa dari beraneka ragam latar belakang sosial/budaya. Begitu juga di lingkungan kerja, di masyarakat, kita akan bertemu dengan beraneka ragam bidang ilmu, bidang profesi, serta beraneka ragam perilaku dan budaya. Perbedaannya, sebagai mahasiswa, Saudara tidak dituntut untuk berinteraksi dan berkolaborasi dalam keanekaragaman tersebut. Atau, kalaupun Saudara berkolaborasi dalam kelompok ataupun mengerjakan penelitian lintas-disiplin, ini semua masih dalam konteks pembelajaran.
Sedangkan di lingkungan kerja, Saudara akan terlibat dalam urusan problem-solving yang akan menimbulkan dampak yang nyata. Keberhasilan problem-solving tersebut sangat bergantung pada keberhasilan dalam interaksi, dialog dan kolaborasi dengan berbagai pihak, dalam keanekaragaman latar belakang, cara pandang, sikap dan kepentingan. Kunci dari keberhasilan ini adalah adaptasi, atau lebih tepatnya, mutual adaptation.
Kunci untuk bisa beradaptasi adalah kemampuan untuk belajar tentang lingkungan dan dinamikanya. Lalu berdasarkan hasil dari pembelajaran tersebut, kita melakukan penyesuaian-penyesuaian, untuk bisa sampai pada kesepakatan kolektif. Tetapi, pembelajaran dan adaptasi saja tidak cukup. Ada hal lain yang tidak kalah penting. Yaitu kita perlu membuat diri kita, sikap dan pengetahuan kita, bisa dikenali dan cukup dipahami oleh pihak-pihak lain. Jadi, bukan saja kita perlu beradaptasi terhadap lingkungan, melainkan kita perlu turut membangun suasana yang kondusif, bagi terjadinya mutual adaptation.
Berikutnya, tentang integritas. Integritas adalah konsistensi antara prinsip/nilai yang kita pegang, pikiran, sikap, dan perbuatan, secara terus menerus. Menjaga integritas artinya kita berupaya menjalani hidup dengan menggali (to explore) dan memegang prinsip/nilai, dan mengembangkan gagasan, membangun sikap serta menjalankan pekerjaan, secara selaras dengan prinsip/nilai tersebut. Ketika kita terus-menerus berusaha menjaga integritas, kita akan menjadi pribadi yang bisa dipercaya dan diandalkan oleh lingkungan sosial kita. Selain ini, menjaga integritas akan membuat hidup kita menjadi punya pegangan dan orientasi. I know what I do, why, and for what purpose. Ketika kita mengabaikan integritas, kita bisa mengalami disorientasi dalam hidup, dan kepribadian kita menjadi terpecah atau tidak solid. Dan orang-orang di sekitar kita menjadi sulit mengandalkan peranan kita, ataupun beradaptasi terhadap keberadaan kita.
Terakhir tentang responsiveness. Ini berkaitan dengan kepekaan dan kepedulian akan orang-orang lain dan hal-hal yang terjadi di lingkungan kita. Kepekaan membuat kita menjadi connected, atau dalam bahasa Generasi Millenial, relate dengan hal-hal yang terjadi di lingkungan kita. Sedangkan, kepedulian akan menggerakkan kita untuk ambil peranan, demi kebaikan bersama. Kalau kita kehilangan kepekaan, kita bisa menjadi terisolasi dari kehidupan. Dan kalau kepedulian kita rendah, kita akan kehilangan kesempatan untuk berpartisipasi dan berkontribusi demi kebaikan bersama di lingkungan kerja. Responsiveness akan membuat hidup kita semakin kaya, dan dalam kehidupan bersama, kita semakin menjadi bagian dari solusi, bukan bagian dari masalah.
Sikap rendah hati (humble, sincere) akan membantu kita untuk meningkatkan responsiveness. Dengan sikap rendah hati, kita menjadi siap mendengar pendapat orang lain, tanpa mempersoalkan latar pendidikan ataupun status sosial orang tersebut. Dan kita pun siap untuk bahu-membahu melakukan pekerjaan demi kebaikan bersama. Sebaliknya, dengan melatih kepekaan dan meningkatkan kepedulian, hal ini akan membawa kita pada sikap rendah hati. Ketika kita memiliki banyak prestasi dan keunggulan, lalu kita merasa bangga, ini adalah hal yang manusiawi. Selayaknyalah kita merasa bersyukur dan bangga atas prestasi-prestasi yang kita capai, ataupun yang dicapai oleh orang-orang lain. Responsiveness juga berarti saling menghargai. Kita perlu saling mendukung, sehingga semakin banyak dan tinggi prestasi-prestasi yang bisa dicapai. Namun pada akhirnya, pertanyaannya adalah bagaimana mentransformasikan capaian-capaian tersebut menjadi perbaikan-perbaikan dalam kehidupan kolektif.
Ketiga unsur karakter di atas saling berkaitan dan mendukung. Ketika kita membangun kemampuan untuk beradaptasi, ini perlu disertai dengan upaya untuk membangun dan menjaga integritas. Tanpa integritas, yang terjadi bukanlah adaptasi, melainkan sikap yang sebatas mengikuti ‘kemana angin bergerak,’ atau sikap pragmatis. Sebaliknya, membangun integritas juga perlu diikuti dengan kemampuan beradaptasi, sehingga kita terhindar dari sikap ‘kepala batu.’ Integritas perlu menjadi pegangan dalam menjalankan mutual-adaptation. Selanjutnya, kemampuan adaptasi juga membutuhkan responsiveness. Tanpa kepekaan dan kepedulian, tidak akan ada dorongan untuk beradaptasi. Sebaliknya, dengan berlatih beradaptasi, ini akan membantu kita meningkatkan kepekaan dan kepedulian. Terakhir, responsiveness dapat menjadi sumber inspirasi dalam membangun integritas yang relate dengan dinamika pada lingkungan kita.
Para wisudawan yang saya banggakan,
Ketika kita memasuki lingkungan kerja yang baru, tidak selalu kondisi-kondisi di lingkungan kerja tersebut benar-benar sesuai dengan harapan. Yang pasti, tidak ada ‘privilege’ sebagai mahasiswa di kampus. Kalau kita tidak sungguh-sungguh berupaya mengembangkan kemampuan beradaptasi dan responsiveness, bisa jadi pada akhirnya kita akan menyimpulkan bahwa lingkungan kerja tersebut kurang cocok. Lalu kita mencoba mencari lingkungan kerja yang baru. Tentu saja, perjalanan karir itu tidak selalu berpola linier. Terkadang kita mencoba memperkaya pengalaman, dengan cara pindah ke lingkungan kerja yang berbeda. Tetapi perlu kita pastikan, bahwa kalau kita memutuskan untuk pindah kerja, ini bukan karena kita kurang berusaha untuk beradaptasi di lingkungan kerja yang ada. Pada akhirnya, kita akan dinilai oleh lingkungan kita, berdasarkan integritas yang kita tunjukkan.
Kecocokan lingkungan kerja ini juga menjadi isu bagi para sarjana lulusan perguruan tinggi di mancanegara, yang menganggap bahwa lingkungan kerja di negara lain itu lebih ‘maju,’ dibandingkan di dalam negeri. Lalu, dengan prestasi dan kompetensi yang dia capai, dia memandang bahwa lingkungan kerja di luar negeri itu lebih layak.
Tentu saja, menimba pengalaman kerja di luar negeri dapat menjadi langkah yang sangat baik dan bermanfaat. Namun di sini timbul pertanyaan tentang integritas kita sebagai sarjana, serta responsiveness kita sebagai anak bangsa. Apakah kompetensi dan prestasi yang kita capai itu merupakan alasan bagi kita untuk menuntut privilege? Atau hal ini justru menjadi sumber daya intelektual, yang kita gunakan untuk bisa kontribusi bagi bangsa kita, sebagai bentuk tanggung jawab moral atas ilmu dan kompetensi yang kita miliki? Kalau para sarjana di suatu bangsa mengabaikan tanggung jawab moral untuk membangun bangsanya, pertanyaannya, apakah bangsa tersebut perlu memberikan support system untuk menghasilkan sarjana?
Segenap wisudawan yang saya banggakan,
Para hadirin yang saya hormati,
Sebagai penutup, izinkan saya mengutip pernyataan berikut dari fisikawan terkemuka, Albert Einstein,
"Most people say that it is the intellect which makes a great scientist. They are wrong: it is character." –Albert Einstein
Kita tahu bahwa Albert Einstein adalah sosok jenius yang membawa ‘revolusi’ dalam cara kita memandang dunia dan alam semesta. Dan catatan sejarah menunjukkan bahwa Einstein adalah sosok yang mengabdikan hidupnya untuk kebaikan peradaban manusia, bukan untuk mengejar privilege ataupun popularitas. Scientist adalah sebuah profesi. Saya percaya, karakter itu penting bukan hanya bagi profesi scientist, melainkan juga bagi semua profesi di mana peranan ilmu pengetahuan itu sentral, khususnya bagi setiap sarjana, di lingkungan kerja mana pun. Kalau merujuk ke pernyataan Einstein di atas, sarjana bukan saja ‘agent of knowledge’, melainkan juga sebagai ‘agent of morality endowed with character’.
Menyongsong Indonesia Emas di tahun 2045, saya percaya bahwa para sarjana mengemban peranan yang kunci, apakah di bidang sosial, ekonomi dan inovasi, penegakan hukum, maupun ekologi. Tercapainya Indonesia Emas membutuhkan dukungan para sarjana yang, selain memiliki penguasaan ilmu pengetahuan dan kompetensi yang tinggi, juga memiliki karakter. Ini harapan kita bersama.
Sekali lagi, saya ucapkan selamat atas keberhasilan seluruh wisudawan. Saya sampaikan rasa terima kasih yang mendalam, kepada para orang tua yang telah memercayakan putra-putrinya kepada kami guna menempuh pendidikan dan pengembangan karakter di ITB.
Semoga Tuhan Yang Maha Kuasa dan Maha Pengasih senantiasa melimpahkan rahmat dan karunia kepada kita dan seluruh bangsa Indonesia, sehingga kita dapat secara bersama-sama meraih kehidupan bersama yang lebih baik, kemajuan di berbagai bidang, serta martabat yang terpandang di masyarakat dunia. Aamiin.
Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Bandung, 27 April 2024
Prof. Reini Wirahadikusumah, Ph.D.
Rektor Institut Teknologi Bandung