Sambutan Rektor
Pada Dies Natalis ke-65 ITB
“Otonomi sebagai Penguatan Misi Akademik Perguruan Tinggi”
Yang saya hormati,
Pimpinan dan anggota Majelis Wali Amanat,
Pimpinan dan anggota Senat Akademik,
Pimpinan dan anggota Forum Guru Besar,
Para tamu kehormatan, para pimpinan daerah, dan para sesepuh ITB,
Para pimpinan media massa,
Segenap dosen dan tenaga kependidikan,
Para mahasiswa,
Para tamu undangan,
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Selamat pagi dan salam sejahtera bagi kita semua.
Pada 2 Maret 2024, perjalanan panjang Institut Teknologi Bandung (ITB) telah genap memasuki tahun yang ke-65. Sejak kelahirannya sebagai institusi pendidikan tinggi di tahun 1959, ITB telah tumbuh dan berkembang melalui sumbangsih pemikiran, karya, serta perjuangan putra dan putri terbaik bangsa Indonesia, yang berasal dari beraneka ragam daerah dan suku, dari segenap penjuru Nusantara. ITB lahir, tumbuh, dan berkembang dalam kebhinekaan untuk mewujudkan sebuah tujuan bersama, yaitu: kemajuan bangsa Indonesia yang dicapai melalui penguasaan, pemajuan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan, teknologi, seni, serta ilmu-ilmu sosial dan humaniora. Para pendiri ITB telah meletakkan fondasi keilmuan, kemanusiaan, kebudayaan dan keadaban yang menjadi pijakan bagi perjalanan ITB hingga hari ini, dan juga di masa-masa mendatang. Pada kesempatan ini, mari kita sampaikan apresiasi yang setinggi-tingginya kepada para pendiri ITB tersebut.
Sebagai sebuah entitas, ITB bukanlah sebatas sebuah organisasi yang tersusun atas struktur kepengurusan, sarana/prasarana, serta bangunan gedung. Lebih dari ini, ITB adalah sebuah tradisi panjang keilmuan, kebudayaan dan keadaban. Terlepas dari adanya kekurangan dan keterbatasan, perjalanan yang panjang telah membawa ITB pada posisi yang terhormat dan terpandang di masyarakat dan bangsa Indonesia, dan juga di dunia internasional. Reputasi tersebut adalah suatu capaian membanggakan, yang diraih melalui kontribusi seluruh sivitas akademika ITB, dan juga melalui kiprah para alumni ITB di berbagai sektor pembangunan di masyarakat. Untuk ini, mari kita panjatkan puji dan syukur ke hadirat Allah SWT atas segala limpahan rahmat, karunia dan hidayah-Nya, sehingga ITB dapat melalui berbagai dinamika dalam perjalanannya, dan meraih capaian-capaian tersebut.
Bapak dan Ibu yang saya muliakan, hadirin yang saya hormati,
Kalau kita tengok perjalanan pendidikan tinggi nasional dalam seperempat abad belakangan, salah satu isu yang menjadi pusat perhatian adalah Otonomi Pendidikan Tinggi. Di awal Era Reformasi, di tahun 1999/2000, Pemerintah menerbitkan sejumlah peraturan sebagai dasar hukum bagi transformasi sejumlah Perguruan Tinggi Negeri (PTN), untuk menjadi perguruan tinggi otonom (autonomous university), dengan status Badan Hukum Milik Negara (PT BHMN).
Kebijakan otonomi pendidikan tinggi tersebut disambut dengan antusias oleh banyak kalangan akademisi, dengan harapan akan terwujudnya ‘otonomi akademik’ yang semakin tinggi. Bagi para akademisi dan pengelola perguruan tinggi, dipercayai bahwa ‘otonomi akademik’ akan memberikan ruang gerak yang lebih luas untuk peningkatan layanan pendidikan tinggi, serta penguatan kontribusi perguruan tinggi terhadap kemajuan bangsa. Akan tetapi, kebijakan otonomi pendidikan tinggi tersebut juga memunculkan sebuah isu baru, yang berkaitan dengan ‘otonomi finansial.’
Seiring dengan bergulirnya kebijakan otonomi pendidikan tinggi tersebut, berkembang dua pandangan atau tafsiran tentang status ‘otonom.’ Di satu sisi, sebagian pihak berpandangan bahwa dengan status otonom, perguruan tinggi mendapatkan misi baru dari negara, untuk melakukan pengembangan-pengembangan kinerja akademik, peningkatan kualitas layanan, serta penguatan kontribusi. Oleh karena adanya misi ini, dukungan pendanaan dari negara perlu ditingkatkan. Di lain sisi, terdapat pandangan yang beranggapan bahwa dengan status otonom, perguruan tinggi akan lebih leluasa untuk memperoleh sumber pendanaan dari masyarakat. Dan karena ini, dukungan pendanaan dari negara dapat dikurangi. Bagi pandangan yang pertama, otonomi pendidikan tinggi artinya penguatan misi akademik. Sedangkan bagi pandangan yang kedua, artinya adalah peningkatan kemandirian finansial.
Perbedaan pandangan seperti ini, seputar perguruan tinggi otonom, juga terjadi di berbagai negara lain di dunia. Perbedaan di antara kedua pandangan tersebut terletak pada asumsi-asumsi, berkenaan dengan karakteristik dari perguruan tinggi. Asumsi-asumsi tersebut berkaitan dengan pertanyaan berikut: apakah perguruan tinggi mampu menjadi entitas yang menghasilkan pendapatan (income-generating entity). Banyak kajian ilmiah telah dijalankan untuk menjawab pertanyaan tersebut di atas.
Secara umum, berbagai kajian ilmiah tentang ‘perguruan tinggi otonom’ sampai pada kesimpulan sebagai berikut. Sebagai institusi pengetahuan, perguruan tinggi memiliki potensi untuk menghasilkan kontribusi ekonomi (economic contribution) melalui komersialisasi hasil-hasil riset (research commercialization). Akan tetapi, peluang untuk melakukan transformasi potensi tersebut ke dalam nilai ekonomi yang aktual, sangat bergantung kepada berbagai unsur dari ekosistem inovasi nasional, seperti kondisi-kondisi persaingan bisnis yang sehat, konektivitas sektor-sektor ekonomi, serta dukungan lintas-kelembagaan dan kerangka regulasi. Dalam kondisi di mana ekosistem inovasi tersebut bersifat kondusif, komersialisasi hasil riset memerlukan proses yang panjang, berliku, dengan disertai ketidakpastian dan risiko.
Jadi, dengan dukungan ekosistem inovasi yang kondusif, komersialisasi hasil-hasil riset akan memberikan kontribusi ke sektor-sektor ekonomi/industri. Akan tetapi, komersialisasi riset tersebut tidak bisa diandalkan sebagai sumber pendanaan bagi perguruan tinggi itu sendiri. Bahkan perguruan-perguruan tinggi terkemuka seperti Stanford University dan MIT, tidak menjadikan komersialisasi riset sebagai sumber pendanaan bagi kampus.
Manfaat utama dari komersialisasi riset adalah penguatan daya saing sektor-sektor ekonomi/industri, melalui knowledge-based innovation. Tetapi manfaat ini tidak bisa secara langsung ‘kembali’ (return) ke kampus-kampus. Mengapa demikian? Ini karena ‘economic values’ itu tercipta melalui kegiatan pasar (market activities) di antara para pelaku pasar (market actors). Sedangkan hubungan antara perguruan tinggi dan perusahaan bukanlah hubungan pasar (market relation), karena perguruan tinggi bukan pelaku pasar. Pada umumnya, komersialisasi riset melibatkan dukungan pendanaan dari Negara, karena di tahap ‘pra-komersial,’ perusahaan-perusahaan pun mengalami keterbatasan dalam pendanaan.
Hadirin yang saya hormati,
Dari uraian terdahulu dapat disimpulkan bahwa perguruan tinggi bukanlah organisasi yang menghasilkan pendapatan. Ini bukan soal mampu atau tidak mampu. Melainkan ini berkaitan dengan karakteristik dan misi, atau khittah, dari perguruan tinggi. Perguruan tinggi adalah institusi pengetahuan dan institusi kebudayaan, yang mengemban misi berkaitan dengan kemajuan peradaban. Oleh karena adanya misi tersebut, layanan pendidikan dan hasil riset di perguruan tinggi tidak bisa direduksi menjadi ‘barang swasta’ (private goods). Layanan pendidikan dan hasil riset bukan sebatas ‘public goods,’ melainkan, lebih dari itu, adalah ‘cultural goods’ yang berkembang melalui tradisi yang panjang. Dan atas dasar ini semua, pandangan bahwa perguruan tinggi otonom akan bisa mencapai kemandirian finansial, tidaklah realistis.
Sebagai perbandingan, dalam dokumen “The University Autonomy in Europe IV: The Scorecard 2023” dilaporkan berbagai bentuk pengembangan kinerja akademik dan penguatan misi dari perguruan-perguruan tinggi otonom di Eropa. Dengan status otonom, perguruan-perguruan tinggi tersebut mendapatkan keleluasaan untuk mengembangkan indikator-indikator kinerja akademik, dan keleluasaan dalam mengalokasikan pendanaan yang diterima dari negara, untuk mencapai sasaran sesuai dengan indikator-indikator tersebut. In return, perguruan tinggi otonom harus mendemonstrasikan bahwa indikator-indikator kinerja akademik tersebut sejalan dengan misi akademik, yang diembannya sebagai perguruan tinggi yang berstatus otonom. Dan di banyak negara di Eropa, biaya untuk mendapatkan layanan pendidikan tinggi ditanggung oleh negara, untuk memastikan akses yang seluas-luasnya bagi warga negara.
Jadi, kalau kita belajar dari pengalaman di negara-negara lain, perguruan tinggi otonom adalah perguruan tinggi yang menjalankan misi yang lebih besar, sebagai penugasan dari negara. Dan negara memberikan dukungan pendanaan yang cukup bagi perguruan tinggi otonom, untuk menjalankan misi tersebut dengan sebaik-baiknya. Negara juga memberikan dukungan pendanaan kepada para peserta didik, segenap warga negara, untuk dapat mengikuti pendidikan tinggi. Sebab, warga negara, atau rakyat, adalah bagian yang sentral dari pelaksanaan misi tersebut.
Hadirin yang saya hormati,
Sebagaimana dinyatakan oleh para ahli ekonomi, saat ini bangsa Indonesia tengah menyongsong era ‘bonus demografi’ (demographic dividend). Dan dengan modal demografi ini, kita berharap bisa meraih ‘Indonesia Emas’ di tahun 2045. Menurut hemat saya, secara umum ada dua langkah mendasar yang perlu dijalankan untuk mewujudkan harapan tersebut. Yang pertama adalah ‘mengasah’ modal demografi tersebut melalui layanan pendidikan tinggi, sehingga mencapai kualitas yang terbaik. Yang kedua adalah memperkuat ekosistem inovasi nasional. Kedua langkah tersebut perlu dijalankan secara sinergis, untuk memastikan peningkatan pertumbuhan ekonomi berbasis inovasi.
Perguruan-perguruan tinggi otonom (PTN-BH) dapat memainkan peranan yang penting dalam menjalankan kedua langkah tersebut. Pertama, PTN-BH mengembangkan modal demografi tersebut menjadi Sumber Daya Manusia Indonesia dengan kapasitas pengetahuan, tingkat keterampilan dan kompetensi yang berdaya saing global, serta siap untuk menjadi pendorong inovasi dan kemajuan bangsa. Kedua PTN-BH menyediakan Sumber Daya Inovasi bagi sektor ekonomi/pembangunan, dalam bentuk hasil-hasil riset di tingkat ‘cutting edge,’ dengan relevansi yang kuat dengan kebutuhan inovasi di sektor-sektor ekonomi/pembangunan. Layanan pendidikan tinggi dan kegiatan riset di PTN-BH perlu dijalankan secara terintegrasi, untuk memastikan kualitas SDM bangsa yang berdaya saing tinggi, dan memiliki relevansi yang kuat dengan dinamika di sektor-sektor ekonomi/pembangunan. Untuk menjalankan kedua peranan ini, PTN-BH perlu terus melakukan pengembangan dan penyempurnaan indikator-indikator kinerja akademik.
Dalam aspek pembiayaan/pendanaan, kontribusi negara dalam bentuk investasi pembiayaan pendidikan tinggi dan riset merupakan hal yang krusial dan strategis. Peningkatan investasi negara tersebut perlu diikuti dengan langkah-langkah oleh berbagai pihak, untuk memperkuat ekosistem inovasi nasional, sehingga menghasilkan indeks kinerja inovasi nasional yang semakin meningkat. Return dari investasi negara tersebut akan meningkat jika ekosistem inovasi nasional tersebut diperkuat. Linkage di antara elemen-elemen ekosistem perlu terus dikembangkan dan diperkuat, untuk meningkatkan relevansi, dan penciptaan nilai tambah. Perguruan tinggi perlu terus memperluas dan memperkuat interaksinya dengan berbagai pihak di masyarakat. Kebijakan Merdeka Belajar, Kampus Merdeka (MBKM) merupakan sebuah langkah yang penting untuk memperkuat interaksi tersebut.
Peningkatan investasi negara di bidang pendidikan tinggi dan riset tentu bukan hal yang mudah, karena keterbatasan fiskal negara. Tetapi ini merupakan langkah yang strategis, jika diikuti dengan penguatan ekosistem inovasi nasional. Dengan lebih memberikan perhatian pada penguatan ekosistem, bukan sebatas pada perguruan tinggi secara terisolasi, kita akan lebih mampu mengukur, dan meningkatkan return dari investasi negara di bidang pendidikan tinggi dan riset.
Bapak dan Ibu yang saya muliakan, hadirin yang saya hormati,
Sebagai penutup, saya berharap bahwa hal-hal yang dikemukakan terdahulu dapat menjadi bahan bagi kita, untuk melakukan refleksi perjalanan 65 tahun ITB, khususnya dalam 25 tahun belakangan. Kebijakan Otonomi Pendidikan Tinggi merupakan langkah yang penting bagi kita semua. Dengan melakukan refleksi atas bergulirnya kebijakan tersebut, saya percaya kita akan dapat melakukan perbaikan terus-menerus, sehingga dengan status otonom, ITB dapat semakin meningkatkan kinerja akademik, yang semakin relevan dengan kebutuhan pembangunan bangsa.
Semoga kita semua senantiasa dalam lindungan dan hidayah Allah SWT, sehingga kita dapat bergerak semakin mantap menuju Indonesia Emas di tahun 2045. Aamiin, Yaa Rabbal Alamin.
In Harmonia Progressio,
Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Bandung, 2 Maret 2024
Prof. Reini Wirahadikusumah, Ph.D.
Rektor