Geologi ITB Menyapa: Menulusuri Jejak Perkembangan Manusia Purba di Indonesia
Oleh Adi Permana
Editor Adi Permana
BANDUNG, itb.ac.id - Program Studi Teknik Geologi Institut Teknologi Bandung kembali menyelenggarakan webinar dengan tema “Perkembangan Manusia Purba di Indonesia” pada Sabtu, 30 Mei 2020. Webinar kali ini diisi oleh Prof. Dr. Yahdi Zaim dan dimoderatori oleh Mika R. Puspaningrum, Ph.D.
Menurut Prof. Yahdi, urgensi mengetahui perkembangan manusia purba di Indonesia tidak lepas dari ditemukannya banyak fosil vertebrata maupun manusia di wilayah Indonesia, sehingga Indonesia memiliki peran penting dalam ilmu paleontologi dan paleoantropologi di dunia. Pulau Jawa menjadi salah satu wilayah yang paling banyak menyumbangkan berbagai fosil vertebrata dan manusia di berbagai penemuan. Fosil Homo Erectus Sangiran 17 dan Homo Erectus Skull IX, merupakan contoh fosil yang ditemukan di Pulau Jawa tepatnya di Desa Pucung dan Desa Tanjung, Sangiran.
“Selama ini banyak kalangan yang memahami bahwa penemuan fosil manusia purba di Indonesia adalah Eugene Dubois pada 1981/1982 di Desa Trinil, Jawa Timur. Padahal, yang menemukan fosil manusia purba pertama di Indonesia adalah B.D. van Rietschoten pada tahun 1888 di Gunung Lawa, Desa Wajak. Di tahun yang sama, Eugene Dubois sedang melakukan eskavasi beberapa gua di Sumatera Barat salah satunya gua Lidah Ayer. B.D. van Rietschoten menemukan sebuah tengkorak yang dinamakan Wajak-1 berumur Holosen 10.000 taun yang lalu,” ujar Prof. Yahdi.
Setelah penemuan fosil Wajak-I yang dinamai Homo (sapiens) Wajakensis, dijelaskan Prof. Yahdi, terdapat penemuan lainnya yang dilakukan oleh Dubois di sepanjang aliran sungai Bengawan Solo di Desa Trinil pada tahun 1883. Fosil yang ditemukan oleh Dubois berada di lapisan tanah yang disebut dengan Kabuh Formation berumur Plestosen, yang dinamai Pithecanthropus Erectus.
Setelah menemukan fosil tersebut, lanjutnya, Dubois mendapatkan penemuan lainnya dari desa Sangiran, Kedungbrubus, Perning/Mojokerto, area Ngandong, pada tahun 1930-1940. Kemudian pada 1950-1970 ditemukan banyak penemuan di daerah Sangiran, Sambungmacan, dan Ngawi. Selanjutnya pada 1977-1978, Prof. Yahdi menemukan fragmen parietal dan dua gigi premolar di bukit Patiayam, Gunung Muria, dan pada 2004-2015 juga ditemukan fosil di Pulau Flores, serta pada 2016 ditemukan fosil fragmen temporal di pinggir sungai Lusi.
“Fosil manusia purba tertua yang ditemukan dalam formasi Sangiran berumur Plestosen awal (1,8-1,5 juta tahun lalu) dinamai Paranthropus (Meganthropus) Paleojavanicus, sedangkan yang lebih muda berumur Plestosen tengah (1,0-0,5 juta tahun lalu) di dalam lapisan dari Formasi Bapang dan Formasi Kabuh di Jawa Tengah dan Jawa Timur dinamai Pithechantropus erectus, Pitechantropus mojokertensis. Sedangkan, fosil yang ditemukan di daerah Ngandong dalam sedimen undak sungai berumur 50 ribu tahun lalu (plestosen akhir) dinamai Pithecanthropus Erectus Ngandonegensis, Pithechantropus Erectus Soloensis, dan fosil yang ditemukan dalam sedimen Wajak, Tulungagung berumur Plestosen akhir-Holosen awal dinamai Homo Sapiens,” ujarnya.
Pada akhir webinar, Prof. Yahdi memberikan kesimpulan berupa beberapa hipotesis mengenai pola persebaran evolusi fosil di Indonesia. Hipotesis pertama mengungkapkan terdapat perbedaan antara pola persebaran evolusi di Indonesia yaitu pola persebaran Indonesia Barat dan Indonesia Timur. Sehingga, kedua pola persebaran ini tidak saling terkait. Hipotesis yang kedua mengungkapkan bahwa pola persebaran Indonesia Barat yang mencakup fosil-fosil yang ditemukan di Wajak, Ngandong, Patiayam, dan lainnya berevolusi menjadi fosil Indonesia Timur dengan ukuran lebih kerdil yang ditemukan di Flores, Leang Boa, dan Luzon.
Webinar Geologi ITB Menyapa ini, merupakan rangkaian webinar yang bertujuan menggalang dana untuk membantu penangan pandemi COVID-19, dan sebagai ajang silaturahim bagi para sivitas akademika dan alumni Geologi ITB.
Reporter: Diah Rahmawati (Teknik Industri, 2016)