Bahasa Rupa: Mengoptimalkan Potensi Anak Melalui Pendidikan Seni di Indonesia
Oleh M. Naufal Hafizh
Editor M. Naufal Hafizh
JAKARTA, itb.ac.id - Pendidikan estetika seni di Indonesia kerap menjadi topik yang membingungkan dan sulit dijelaskan. Namun, pentingnya pendidikan seni untuk mengembangkan potensi anak tidak bisa diremehkan. Dalam perjalanan sejarah, desain telah berkembang dari produk sederhana hingga teknik logam dan kayu yang kompleks, dengan Indonesia sebagai salah satu pewaris dunia desain.
Pada tahun 1919, arsitek Jerman Walter Gropius mendirikan Bauhaus di Weimar, dengan visi mengintegrasikan arsitektur, patung, dan lukisan ke dalam satu ungkapan kreatif. Kurikulum berbasis kerajinan Bauhaus melatih perajin dan desainer untuk menciptakan objek yang praktis dan estetis, menjadi tonggak pendidikan desain modern dunia. Pengaruh Bauhaus juga dirasakan di Indonesia, terutama di Fakultas Seni Rupa dan Desain, Institut Teknologi Bandung (FSRD ITB). Beberapa pengajar, seperti Rita, Widagdo, dan Imam Buchori Zainudin, yang merupakan lulusan Bauhaus, berhasil menyempurnakan kurikulum jurusan desain sejak pertengahan tahun 1960-an.
Salah satu metode pendidikan seni yang unik di Indonesia adalah "Bahasa Rupa" karya almarhum Primadi Tabrani. Metode ini menelaah karya seni anak-anak dan membandingkannya dengan gambar prasejarah. Pendekatan ini menghasilkan dampak positif bagi perkembangan anak-anak, termasuk pola pikir dan kreativitas mereka. Namun, distribusi pengetahuan Bahasa Rupa mengalami hambatan dan baru mulai dikenal oleh beberapa institusi pada tahun 2000-an. Penerapan ilmu ini membutuhkan berbagai sumber daya, termasuk tokoh penggerak, dana, dan waktu.
Indonesia adalah negara kepulauan dengan hampir 15.000 pulau. Daerah di luar Jawa kerap menjadi subjek ketertinggalan dalam aspek ekonomi, teknologi, dan pendidikan. Bahkan di Pulau Jawa sendiri, tidak semua daerah terpapar fasilitas dan pendidikan yang memadai. Hal ini menyebabkan kesenjangan akses pendidikan seni yang signifikan antara daerah perkotaan dan perdesaan. Oleh karena itu, pendidikan literasi visual, yang melibatkan pemanfaatan alat-alat bahasa visual dan keterampilan kreatif menjadi aspek yang penting. Memberikan dasar-dasar literasi visual kepada anak-anak diharapkan dapat meningkatkan kemampuan visual mereka, tidak hanya dalam pemahaman tetapi juga dalam aspek kreatif seperti seni, desain, dan kriya di masa depan.
Ilmu Bahasa Rupa pertama kali muncul di Indonesia pada tahun 1991 melalui disertasi Primadi Tabrani di FSRD ITB. Disertasi ini membandingkan hasil studi berupa gambar anak-anak, gambar goa prasejarah, gambar primitif, dan karya seni modern. Bahasa Rupa memungkinkan seseorang untuk "membaca" berbagai gambar tanpa teks pendukung, membantu dalam interpretasi dan penciptaan gambar dalam berbagai bentuk. Beberapa institusi, termasuk sekolah Bumilimas, telah berusaha menerapkan ilmu ini dalam kurikulum mereka.
Salah satu upaya penerapan Bahasa Rupa dilakukan di Madrasah Alam Cibolang, di daerah pertanian, Lembang, Kabupaten Bandung Barat. Madrasah ini dibangun dengan kontribusi berbagai pihak dan melibatkan kolaborasi dengan 3AO, sebuah komunitas yang fokus pada pendidikan seni rupa. Kegiatan yang dilakukan mencakup berbagai aktivitas kreatif seperti menggambar, mewarnai, bermain musik, dan membuat mural.
Meskipun upaya untuk menerapkan Bahasa Rupa sudah dilakukan, masih ada kendala seperti kurangnya pemahaman pengajar terhadap teori ini, kesulitan akses di daerah terpencil, dan keterbatasan kesempatan untuk memahami bahasa rupa. Oleh karena itu, pelatihan dan pendidikan bagi pengajar sangat diperlukan. Selain itu, perlu adanya upaya peningkatan aksesibilitas dan kesetaraan kesempatan bagi semua wilayah.
Kegiatan yang dilakukan oleh 3AO di Madrasah Alam Cibolang membawa berbagai dampak positif, baik bagi sistem pembelajaran maupun bagi anak-anak di daerah tersebut. Masyarakat sekitar semakin menyadari pentingnya kreativitas dan anak-anak merasakan manfaat nyata dari kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan. Dukungan dari masyarakat setempat menjadi krusial untuk kelangsungan kegiatan ini.
3AO berharap agar pemerintah dan masyarakat kota lebih memperhatikan dan menyediakan panggung kreatif bagi anak-anak. Investasi dalam pengembangan kreativitas anak-anak merupakan investasi jangka panjang bagi masa depan masyarakat. Menciptakan panggung kreatif akan membantu anak-anak mengekspresikan potensi kreatif mereka, menjadikan mereka pilar keberlanjutan dan kemajuan dalam masyarakat.
Pendidikan seni memiliki peran penting dalam mengoptimalkan potensi anak. Upaya seperti penerapan Bahasa Rupa di Madrasah Alam Cibolang menunjukkan bahwa dengan dukungan yang tepat, pendidikan seni dapat memberikan dampak positif yang signifikan. Diperlukan langkah-langkah konkret untuk memastikan bahwa setiap anak, di mana pun mereka berada, memiliki akses yang sama untuk mengembangkan kreativitasnya.
Reporter: Satria Octavianus Nababan (Teknik Informatika, 2021)