Bahaya PFAS Jika Masuk ke Tubuh Manusia
Oleh Adi Permana
Editor Adi Permana
BANDUNG, itb.ac.id—Program Studi Magister Teknik Air Tanah Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian (FITB) Institut Teknologi Bandung (ITB) berkolaborasi dengan Jacobs Engineering mengadakan gelar wicara secara daring mengenai bahan kimia PFAS dalam kehidupan manusia pada Sabtu (14/8/2021). Lingkupan gelar wicara ini menjangkau asal keberadaan PFAS hingga penanganan yang dapat dilakukan untuk menekan efek kimianya kepada manusia.
Gelar wicara dibuka oleh Dosen Magister Teknik Air Tanah ITB Dr. Dasapta Erwin Irawan, S.T., M.T. Gelar wicara kali ini dipimpin oleh alumnus Magister Teknik Air Tanah ITB Anggita Agustin dengan pembicara dari pihak Jacobs Engineering, Zhen Wen Tang.
PFAS sendiri merupakan singkatan dari per- and polyfluoroalkyl substances, sebuah substansi kimia oleophobic (antiminyak) dan hydrophobic (antiair). Karena sifatnya, substansi ini banyak dimanfaatkan dalam industri elektronik, otomotif, hingga kesehatan. PFAS bahkan banyak ditemukan di kehidupan sehari-hari. Salah satunya pada teflon.
Jika memasuki manusia dan hewan, PFAS dapat menimbulkan beberapa gejala efek samping, di antaranya gangguan hormon tiroid dan kanker. Tang juga menjelaskan dalam presentasinya mengenai pergerakan PFAS.
“Ia (PFAS) bersifat mobile, yang berarti ia bisa bergerak, ia bisa bergerak di dalam air,” ujar Tang dalam bahasa Inggris.
Kemampuan PFAS melewati senyawa krusial dalam hidup manusia membuatnya lebih dekat dengan kita. Senyawa ini sangat mudah larut dan tidak mudah menguap, sehingga memiliki mobilitas yang sangat mudah dan disebut forever chemical. PFAS utamanya berpindah bersama air tanah yang dapat muncul ke permukaan melalui kolam atau danau serta masuk ke saluran air keran. Beberapa negara memanfaatkan air keran untuk diminum, menambah resiko masuknya senyawa ke dalam tubuh manusia.
Negara-negara kawasan Asia Tenggara sendiri telah menemukan kasus kontaminasi PFAS yang bervariasi. Thailand telah mendeteksi kasus pada air minum, air keran, air permukaan, dan air tanah. Indonesia telah menemukan kasus kontaminasi pada air limbah dan pesisir pantai. Salah satu literatur oleh Brigden et al mencatat keberadaan PFAS pada air limbah tekstil di Kota Bandung.
Sejak penciptaanya pada 1940-an, sudah banyak regulasi yang mengatur peredaran PFAS untuk kepentingan kesehatan, termasuk yang diterbitkan pemerintah Indonesia. Kementerian Pertanian telah melarang penggunaan salah satu jenis PFAS, yaitu PFOS dalam pestisida. Regulasi mengenai konsentrasi PFOS dalam produksi tekstil juga telah diterbitkan Kementerian Perindustrian.
Penanganan untuk mengendalikan keberadaan PFAS telah banyak dilakukan. Metode filtrasi membran dilakukan secara konvensional termasuk osmosis terbalik menggunakan membran semipermeabel yang menyaring ion, termasuk PFAS. Sekarang ini juga sedang dikembangkan metode Thermal Desorption yang memanfaatkan kalor tinggi untuk menguapkan kontaminan.
Pemaparan diakhiri dengan sesi pertanyaan. Salah satunya adalah pertanyaan mengenai metode pendeteksian kontaminasi PFAS. “Tidak ada cara mendeteksi (kontaminasi PFAS) dengan mata telanjang. Satu-satunya cara menemukan PFAS di air tanah adalah dengan membawa sampelnya ke laboratorium untuk diuji. Itulah sebabnya minum langsung dari air tanah berisiko tinggi,” jawab Tang.
Reporter: Ananta Muji (Sistem dan Teknologi Informasi, 2019)