Biosensor Aflatoxin Membawa Tim ITB Meraih Medali Perak di Kompetisi Tingkat Dunia

Oleh Bangkit Dana Setiawan

Editor Bangkit Dana Setiawan

BANDUNG, itb.ac.id - Tim ITB berhasil meraih medali silver dalam kompetisi IGEM, International Genetically Engineering Machine, pada November 2013 di Hongkong. Tim ini terdiri dari enam orang Mahasiswa yang berasal dari berbagai jurusan. Mereka adalah Dimas Dwi Adiguna (Teknik Kimia 2010), Ari Dwijayanti (Bioteknologi 2012), Nuke Ayu Febriana (Mikrobiologi 2010), Indra Rudiansyah (Rekayasa Hayati 2010), dan Riandy Rahman N. (Teknik Informatika 2010) dengan pembimbing Maelita Ramdani M. dan Sony Suhandono, Dosen SITH (Sekolah Ilmu Teknologi Hayati) ITB. Mereka berkompetisi dengan 205 tim lainnya  yang berasal dari seluruh penjuru dunia dan berasal dari universitas ternama di dunia, seperti MIT, Harvard University, Groningen University, dan lain-lain.

Ide Ari dan kawan-kawan dalam membuat biosensor untuk mendeteksi Aflatoxin-lah yang telah membawa mereka sampai ke Hongkong dan meraih medali silver. Proses penggalian ide sampai dengan terwujudnya ide tersebut memakan waktu selama hampir satu tahun.  Alfatoxin merupakan zat beracun yang dihasilkan oleh jamur Aspergillus sp. Jamur ini menyerang makanan seperti kacang-kacangan jagung, dan sebagainya.

Aflatoxin sangat berbahaya bagi kesehatan karena zat ini bersifat karsinogenik. Ketika sumber makanan terkontaminasi oleh aflatoxin, aflatoxin ini tidak akan hilang walaupun dipanaskan sampai 200 derjat celcius. "Aflatoxin ini dapat masuk ke dalam tubuh manusia secara langsung maupun mengikuti mata rantai makanan. Ketika kacang yang terkontaminasi menjadi pakan ternak dan ternak itu dimakan oleh manusia maka aflatoxin ini akan terakumulasi dalam tubuh manusia, sehingga manusia tetap akan beresiko untuk terkena kanker hati akibat terpapar oleh aflatoxin ini," jelas Ari. Menurut  survei dari International Agency for Research of Cancer, 1 dari 4 orang yang terkena kanker hati diakibatkan oleh aflatoxin.

Selain menyerang kesehatan, aflatoxin juga dapat berdampak pada ekonomi dan ketahanan pangan di negara berkembang, seperti Indonesia. Indonesia merupakan salah satu negara  penghasil sekaligus pengekspor kacang. Ketika kacang yang telah terkontaminasi oleh aflatoxin tidak dapat terdeteksi, hal ini akan memperbanyak jumlah kacang yang akan terkontaminasi sehingga akan menimbulkan kerugian yang jauh lebih besar. Hal ini menimbulkan "efek domino", ketika banyak kacang yang terbuang karena semakin banyak yang terkontaminasi sehingga permintaan kacang akan naik sedangkan jumlah kacang yang tersedia tetap. Ini akan menimbulkan kenaikan harga kacang yang akan berimbas kepada kenaikan harga bahan pangan lainnya. Maka dari itu biosensor hasil karya Ari dan kawan kawan merupakan jawaban dari permasalahan ini.

Sebelumnya memang sudah ada alat pendeteksi aflatoxin tetapi harganya masih mahal karena menggunakan enzim sebagai penyusun utamanya. "Karena harganya yang mahal, alat ini ini masih belum dapat terjangkau oleh kalangan petani, padahal petani-lah yang sangat membutuhkan alat pendeteksi adanya aflatoxin," tutur Ari. Oleh karena itu Arin,dkk memunculkan ide yang sangat brilian, yakni menciptakan biosensor aflatoxin berbasis sel Escherichia coli. "Harga biosensor yang diciptakan oleh Ari,dkk lebih murah dibandingkan alat pendeteksi sebelumnya jika diproduksi secara massal," tambah Ari.

E. Coli yang terdapat di alam terlebih dahulu dimodifikasi struktur DNA sehingga memiliki sifat baru yakni sel akan berubah warna ketika terdapat zat aflatoxin, sehingga aflatoxin tersebut dapat terdeteksi dengan mudah dan tidak mencemari bahan makanan lain. "Biosensor ini dilengkapi dengan membran yang akan 'mengunci' supaya E. Coli tidak akan keluar ke lingkungan," jelas Dimas. Selain itu gen E. Coli dimodifikasi sedemikian rupa sehingga ketika terjadi kebocoran dan E. Coli keluar lingkungan, maka secara otomatis sel tersebut akan mati, sehingga biosensor ini tidak akan membahayakan bagi manusia dan lingkungan.

Sintetik Biologi di Indonesia

Sintetik Biologi merupakan ilmu yang sangat penting untuk dikembangkan karena sintetik biologi dapat mempermudah proses di industri, militer, kesehatan,dll. Tetapi saat ini sintetik biologi di Indonesia masih belum banyak dikembangkan. "Salah satu alasan mengapa indonesia masih tertinggal dalam bidang ini adalah psikologis masyarakat yang masih belum siap menerima synbio yang dianggap sebagai playing God", Jelas Dimas. Melalui sintesis biologi, manusia dapat 'menciptakan' makhluk hidup dengan sifat-sifat yang diinginkan, inilah yang dimaksud playing god. Salah satu dampak jika synbio digunakan dengan tidak bijak adalah terjadinya ketidakseimbangan ekosistem. "Walaupun kita tahu bahwa synbio sangat mempermudah hidup kita tetapi  kita harus tetap sebijak mungkin dalam melakukan genetic modification serta tidak melanggar bioethics," jelas Ari.

Indonesia merupakan negara dengan sumber daya alam yang melimpah serta kualitas sumber daya manusia yang tidak kalah oleh bangsa lain. Oleh karena itu bukan tidak mungkin bagi Indonesia untuk menjadi negara yang terdepan dalam bidang sintetis biologi. "Para generasi muda di Indonesia diharapkan mampu membangun semangat kolaborasi antar disiplin ilmu dan menekan arogansi masing-masing serta aware dengan perkembangan teknologi yang ada," tutup Dimas. Dengan begitu harapan untuk mengembangkan synbio di Indonesia bukanlah mimpi belaka.

 Sumber Gambar : Dokumentasi Tim ITB dalam IGEM 2013