Diskusi Panel: Meningkatkan Produksi Minyak Indonesia (2)
Oleh Krisna Murti
Editor Krisna Murti
Bur Maras lebih melihat secara historis. Bur banyak sekali mengungkap jasa-jasa Ibnu Sutowo yang berhasil memimpin industri migas Indonesia mencapai era euforia. Memang betul, bahwa sektor migas adalah juru selamat bangsa ini dari kebangkrutan pada era 66, pasca jatuhnya Orde Lama. Di awal Orde Baru, Soeharto menugasi Ibnu Sutowo untuk memimpin industri minyak nasional. Saat itu, produksi minyak nasional hanya 500 ribu barrel/hari. Di sisi lain, negara berada di ambang kebangkrutan, ditunjukkan oleh hiper inflasi mencapai 600 persen. Dalam waktu lima tahun, 1971, pemasukan dari sektor migas telah membuat inflasi terkontrol. Lima tahun kemudian, produksi minyak nasional mencapai 1,7 juta barrel/hari. Produksi minyak nasional melunjak lebih dari tiga kali lipat hanya dalam waktu 10 tahun. Yang hendak ditekankan oleh Bur adalah perlunya sosok 'Ibnu Sutowo' pada era sekarang ini. Bur menganalogikan Indonesia sebagai kapal besar dengan fasilitas dan staf dek yang lengkap namun tidak berjalan kemana-mana oleh karena tidak punya nahkoda.
Sosok pemimpin industri minyak nasional ini kemudian juga menjadi bahan diskusi yang tajam. Salah satu kritik yang muncul adalah buruknya struktur dan koordinasi perminyakan nasional. Semenjak kementrian BUMN dibentuk, Pertamina bukan lagi dibawah Departemen ESDM, melainkan di bawah Menteri BUMN. Tapi, BP Migas bertanggung jawab kepada Presiden. Seharusnya Pertamina ditarik lagi menjadi di bawah koordinasi Departemen ESDM. Bur mengusulkan pemimpin industri minyak nasional janganlah Mentri ESDM, melainkan tipikal pebisnis seperti Ibnu Sutowo.
Karsani sebagai praktisi langsung di bidang industri mengangkat banyak mengenai permasalahan yang praktis. Dalam hal merevitalisasi kesuksesan industri minyak nasional menyoroti perlu dibentuknya Indonesia Corporation. Konsepnya adalah kerjasama sinergis antara pemerintah, industri nasional, dan perguruan tinggi nasional. Karsani memang melihat bahwa peran perusahaan asing -walaupun tidak bisa dipungkiri, telah banyak memberikan keuntungan bagi negara- harus segera dibatasi. Memang betul fakta yang diungkap oleh Karsani. Dominasi perusahaan asing dalam sektor industri minyak nasional memang masif. Ini diperkuat oleh data Trijana yang memaparkan bahwa keuntungan Indoensia tergantung keuntungan Caltex Pasific Indonesia (CPI) -yang adalah produsen minyak terbesar di Indonesia.
Pentingnya teknologi terasa dalam setiap pemaparan panelis. "Technology is vital," turut Mahmud. Trijana memaparkan beberapa contoh sumur di Indonesia -utamanya Kota Batak yang dia anggap sangat berhasil- yang walaupun sudah tua, namun produksinya dapat terus dipertahankan oleh karena teknologi recovery. Karsani pun menguatkan fakta bahwa teknologi rekayasa reservoar (reservoar engineering) harus terus dikembangkan. Karenanya, pihak industri harus bekerjasama dengan perguruan tinggi, sementara pemerintah harus banyak memberikan insentif baik berupa bantuan finansial maupun kemudahan lainnya.
Pada sesi tanya jawab, muncul isu baru mengenai pajak. Memang dalam diskusi panel ini tidak ada panelis yang mewakili sektor pajak. Padahal, pajak dalam industri migas dirasakan sangat memberatkan industri untuk berkembang. Muncul pula isu insentif yang hanya diberikan kepada pengembang sumur brownfields dan sumur marjinal. Perlu ada insentif pula untuk eksplorasi karena kunci dari permasalahan ini sebenarnya adalah eksplorasi.
Yang menarik, berkenaan dengan pembiayaan eksplorasi secara mandiri, muncul pula tanggapan mengapa uang pada zaman euforia (zaman keemasan industri minyak nasional) tidak ada bagian dari keuntungan yang ditabung untuk dialokasikan bagi pembiayaan eksplorasi masa depan. Baik Trijana maupun Mahmud saling mengkonformasi bahwa pada masa Ibnu Sutoyo, Soeharto membuat kebijakan agar semua ekses keuntungan Pertamina yang berlebih semuanya dialirkan ke Departemen Keuangan. "Filosofinya, dulu Soeharto tidak mau membuat industri minyak jauh di atas langit, sementara banyak warga negara Indonesia banyak yang susah," tutur Trijana, "Itu filosofinya. Bahwa kemudian tidak jelas kemudian dikemanakan saja uangnya, itu masalah lain." "Tanya ke Departemen Keuangan dong," ungkap Mahmud.
Diskusi panel penutup simposium ini memang cenderung meluas. Nyata betul bahwa produksi minyak nasional ini bergantung pada 1001 macam faktor. Memang terasa betul disepakati bahwa kunci utama peningkatan produksi masa depan adalah eksplorasi. Namun, tetap saja untuk mewujudkan satu kunci itu harus dilakukan usaha yang sinergis di berbagai lini, baik horizontal maupun vertikal; melibatkan pemerintah, industri, perguruan tinggi, serta masyarakat. Perubahan pola pikir serta peningkatan teknologi adalah salah dua pilar penunjang eksplorasi yang ugen untuk dilaksanakan. Terakhir, jangan sampai semuanya ini hanya berakhir pada suara, no action talk only.