Dr. Ir. Bisuk Siahaan: Nama Besar di Balik Proyek Asahan
Oleh Ria Ayu Pramudita
Editor Ria Ayu Pramudita
BANDUNG, itb.ac.id -- Dr. Ir. Bisuk Siahaan adalah nama besar dibalik suksesnya Proyek Asahan. Proyek Asahan adalah proyek yang membangun pabrik peleburan aluminium, Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Siguragura, dan PLTA Tangga di Sumatera Utara. Proyek dengan nilai investasi sekitar 4,5 miliar dolar AS ini merupakan megaproyek yang sukses. Proyek ini dilakukan berdasarkan survei akurat dan pengoperasian tepat waktu. Selain itu, proyek ini juga mendapat pengakuan dari dua perguruan tinggi asing. Oleh karena keahlian dan perjuangannya dalam proyek yang telah memberikan manfaat kepada masyarakat Indonesia ini, Dr. Bisuk Siahaan mendapatkan penghargaan Pioneering Award pada momentum Reuni Akbar 70 Tahun Teknik Kimia pada November lalu. Penghargaan ini diberikan oleh Yayasan Alumni Teknik Kimia ITB dengan tim penilai yang diketuai oleh Prof. Saswinadi Sasmodjo. Selanjutnya, penghargaan ini rencananya akan diberikan secara berkala sebagai wujud apresiasi dan penghargaan setinggi-tingginya bagi jasa para alumni Teknik Kimia ITB di Indonesia.
"Tahun 1961, begitu menjadi pegawai Departemen Perindustrian Dasar dan Pertambangan (Perdatam), saya mulai merintis proyek ini. Saya ditawari Menteri Perdatam Chairul Saleh untuk memilih satu di antara ratusan proyek yang ditawarkan pemerintah. Saya memilih Proyek Asahan," kata mantan juru runding dan Ketua Tim Teknis Proyek Asahan ini.
Alumnus Teknik Kimia ITB itu berkisah, ia meminati proyek yang direncanakan pemerintah melalui Pembangunan Semesta Berencana Delapan Tahun ini di tengah sedikitnya tenaga ahli di Indonesia. Semasa kecil ia pernah mendengar cerita dari kakeknya tentang proyek itu saat Pemerintah Hindia Belanda ingin membangun pembangkit listrik, tak jauh dari rumah kakeknya di Balige, Kabupaten Tapanuli Utara (kini Kabupaten Toba Samosir).
"Karena cerita itu, ketika lulus ITB, saya langsung mendaftar sebagai PNS di Perdatam. Saat itu kami yang lulus perguruan tinggi seperti terpanggil menjadi PNS. Saat itu, saya merasa negara membutuhkan saya," kenang Bisuk.
Hampir Menyerah
Tahun itu juga ia diminta pergi ke Medan untuk mempersiapkan survei awal. Dengan modal satu mesin tik ia segera mempersiapkan data awal untuk menyambut tim survei dari Uni Soviet. Waktu itu, Uni Soviet berminat membiayai Proyek Asahan. Tetapi, proyek ini dihentikan karena pemerintah mengalihkan dana untuk program Ganyang Malaysia. Meski survei terlaksana, akhirnya proyek ini dihentikan karena meletusnya peristiwa G30S. Sejak saat itu, Proyek Asahan hilang dari daftar proyek pemerintah.
Walaupun pemerintah menghapus proyek ini, Bisuk berprakarsa untuk mempromosikan proyek ini kepada investor asing. Dengan biaya pribadi, ia membuat kantor dan mempekerjakan karyawan. Tiga tahun ia berpromosi, tak ada yang berminat. Kemudian ada calon investor yang berminat, salah satunya adalah Kaiser Aluminium dari Amerika Serikat. Sebuah tim survei didatangkan dari AS. Bisuk ikut dalam survei di Kuala Tanjung. "Saya hampir menyerah karena medannya sangat sulit. Tetapi, salah satu anggota tim survei dari AS tetap yakin akan menemukan tempat yang bisa digunakan sebagai lokasi pabrik, juga pelabuhan," tutur Bisuk.
Kaiser Aluminium meminta agar pemerintah menyediakan PLTA karena ada aturan pihak asing tak diperbolehkan mengelola listrik. Usulan ini tak disanggupi pemerintah sehingga Kaiser Aluminium mundur. Bisuk lalu mencari dana ke Bank Dunia. Bank Dunia menyarankan agar proyek itu ditender secara internasional. Bank Dunia hanya mau memfasilitasi tender itu. Tetapi, sampai waktu penutupan pengajuan proposal, tak ada perusahaan yang mendaftar.
Uang Pribadi
Proyek Asahan kembali hilang, tetapi Bisuk tidak menyerah. Ia kembali mencari investor. Salah satunya, Wakil Presiden Direktur Sumitomo Chemical H. Sugano dari Jepang. Sumitomo pun berminat. Mereka berunding. Selain di Jakarta, Sumitomo meminta agar perundingan juga di Tokyo, harapannya Pemerintah Jepang bisa terlibat dalam pembiayaan.
"Saya pikir perundingan paling tiga kali, wah, ternyata sampai tiga tahun. Semua biaya dari uang pribadi dan keluarga saya. Kepalang basah, saat itu saya menyampaikan kepada Ketua Tim Teknis Penanaman Modal Asing BKPM Prof. M. Sadli bahwa keluarga siap menanggung biaya perundingan," katanya.
Ketika soal anggaran terselesaikan, pemerintah menunjuk Ketua Tim Perunding Prof. M. Sadli. Setelah sejumlah penundaan akibat krisis minyak dan kesulitan keuangan Indonesia, Proyek Asahan menjadi proyek pemerintah dengan investasi dari Jepang dan Indonesia. Sejak itu, Bisuk diminta menjadi Ketua Tim Teknis Proyek Asahan hingga proyek diresmikan Presiden Soeharto, dan dikelola PT Inalum, mulai 1983.
Penyelesaian proyek ini mengagetkan dunia internasional karena masih jarang industri besar di negara berkembang bisa diselesaikan tepat waktu. Apalagi, saat itu ada kasus industri baja di India yang gagal karena salah perencanaan. Dua perguruan tinggi di AS, Center for International Studies Ohio University dan Pittsburg State University, mengadakan penelitian selama beberapa tahun tentang kesuksesan ini. Kedua perguruan tinggi itu memberikan penghargaan kepada Bisuk yang dinilai sukses.
"Kesuksesan proyek ini bukan hanya soal kemampuan teknis, tetapi karena kemampuan diplomasi dan yang terbesar adalah pendekatan sosial," katanya. "Kesalahan terbesar dalam proyek-proyek kita adalah tak adanya pendekatan sosial. Mungkin mereka merasa proyek akan berhasil hanya bermodal dekat dengan penguasa."
Bisuk berharap sukses Proyek Asahan bisa dipelajari. Ia mengisi hari tuanya dengan menulis buku "Sejarah Pembangunan Proyek Asahan: Membangunkan Raksasa yang Sedang Tidur" dan "Industrialisasi di Indonesia: Sejak Rehabilitasi sampai Awal Reformasi". Sejarah industri di Indonesia layaknya dicatat agar keberhasilan dan kegagalan menjadi pelajaran bagi generasi berikutnya.
Sumber: Kompas.com
Alumnus Teknik Kimia ITB itu berkisah, ia meminati proyek yang direncanakan pemerintah melalui Pembangunan Semesta Berencana Delapan Tahun ini di tengah sedikitnya tenaga ahli di Indonesia. Semasa kecil ia pernah mendengar cerita dari kakeknya tentang proyek itu saat Pemerintah Hindia Belanda ingin membangun pembangkit listrik, tak jauh dari rumah kakeknya di Balige, Kabupaten Tapanuli Utara (kini Kabupaten Toba Samosir).
"Karena cerita itu, ketika lulus ITB, saya langsung mendaftar sebagai PNS di Perdatam. Saat itu kami yang lulus perguruan tinggi seperti terpanggil menjadi PNS. Saat itu, saya merasa negara membutuhkan saya," kenang Bisuk.
Hampir Menyerah
Tahun itu juga ia diminta pergi ke Medan untuk mempersiapkan survei awal. Dengan modal satu mesin tik ia segera mempersiapkan data awal untuk menyambut tim survei dari Uni Soviet. Waktu itu, Uni Soviet berminat membiayai Proyek Asahan. Tetapi, proyek ini dihentikan karena pemerintah mengalihkan dana untuk program Ganyang Malaysia. Meski survei terlaksana, akhirnya proyek ini dihentikan karena meletusnya peristiwa G30S. Sejak saat itu, Proyek Asahan hilang dari daftar proyek pemerintah.
Walaupun pemerintah menghapus proyek ini, Bisuk berprakarsa untuk mempromosikan proyek ini kepada investor asing. Dengan biaya pribadi, ia membuat kantor dan mempekerjakan karyawan. Tiga tahun ia berpromosi, tak ada yang berminat. Kemudian ada calon investor yang berminat, salah satunya adalah Kaiser Aluminium dari Amerika Serikat. Sebuah tim survei didatangkan dari AS. Bisuk ikut dalam survei di Kuala Tanjung. "Saya hampir menyerah karena medannya sangat sulit. Tetapi, salah satu anggota tim survei dari AS tetap yakin akan menemukan tempat yang bisa digunakan sebagai lokasi pabrik, juga pelabuhan," tutur Bisuk.
Kaiser Aluminium meminta agar pemerintah menyediakan PLTA karena ada aturan pihak asing tak diperbolehkan mengelola listrik. Usulan ini tak disanggupi pemerintah sehingga Kaiser Aluminium mundur. Bisuk lalu mencari dana ke Bank Dunia. Bank Dunia menyarankan agar proyek itu ditender secara internasional. Bank Dunia hanya mau memfasilitasi tender itu. Tetapi, sampai waktu penutupan pengajuan proposal, tak ada perusahaan yang mendaftar.
Uang Pribadi
Proyek Asahan kembali hilang, tetapi Bisuk tidak menyerah. Ia kembali mencari investor. Salah satunya, Wakil Presiden Direktur Sumitomo Chemical H. Sugano dari Jepang. Sumitomo pun berminat. Mereka berunding. Selain di Jakarta, Sumitomo meminta agar perundingan juga di Tokyo, harapannya Pemerintah Jepang bisa terlibat dalam pembiayaan.
"Saya pikir perundingan paling tiga kali, wah, ternyata sampai tiga tahun. Semua biaya dari uang pribadi dan keluarga saya. Kepalang basah, saat itu saya menyampaikan kepada Ketua Tim Teknis Penanaman Modal Asing BKPM Prof. M. Sadli bahwa keluarga siap menanggung biaya perundingan," katanya.
Ketika soal anggaran terselesaikan, pemerintah menunjuk Ketua Tim Perunding Prof. M. Sadli. Setelah sejumlah penundaan akibat krisis minyak dan kesulitan keuangan Indonesia, Proyek Asahan menjadi proyek pemerintah dengan investasi dari Jepang dan Indonesia. Sejak itu, Bisuk diminta menjadi Ketua Tim Teknis Proyek Asahan hingga proyek diresmikan Presiden Soeharto, dan dikelola PT Inalum, mulai 1983.
Penyelesaian proyek ini mengagetkan dunia internasional karena masih jarang industri besar di negara berkembang bisa diselesaikan tepat waktu. Apalagi, saat itu ada kasus industri baja di India yang gagal karena salah perencanaan. Dua perguruan tinggi di AS, Center for International Studies Ohio University dan Pittsburg State University, mengadakan penelitian selama beberapa tahun tentang kesuksesan ini. Kedua perguruan tinggi itu memberikan penghargaan kepada Bisuk yang dinilai sukses.
"Kesuksesan proyek ini bukan hanya soal kemampuan teknis, tetapi karena kemampuan diplomasi dan yang terbesar adalah pendekatan sosial," katanya. "Kesalahan terbesar dalam proyek-proyek kita adalah tak adanya pendekatan sosial. Mungkin mereka merasa proyek akan berhasil hanya bermodal dekat dengan penguasa."
Bisuk berharap sukses Proyek Asahan bisa dipelajari. Ia mengisi hari tuanya dengan menulis buku "Sejarah Pembangunan Proyek Asahan: Membangunkan Raksasa yang Sedang Tidur" dan "Industrialisasi di Indonesia: Sejak Rehabilitasi sampai Awal Reformasi". Sejarah industri di Indonesia layaknya dicatat agar keberhasilan dan kegagalan menjadi pelajaran bagi generasi berikutnya.
Sumber: Kompas.com