FITB dan FTTM ITB Berkolaborasi Lakukan Penelitian Sumber Gempa di Sumedang

Oleh M. Naufal Hafizh

Editor M. Naufal Hafizh

SUMEDANG, itb.ac.id - Gempa bumi dengan Magnitudo 4,8 melanda Kabupaten Sumedang dan sekitarnya pada Minggu (31/12/2023) malam. Menurut Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) gempa tercatat sudah empat kali mengguncang wilayah Sumedang pada 31 Desember 2023, mulai dari berskala M 3,4 hingga M 4,8. Bahkan terjadi gempa susulan M 4,5 pada Senin (1/1/2024).

Dekan Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian, Institut Teknologi Bandung (FITB ITB), Prof. Dr. Irwan Meilano, S.T., M.Sc., menyampaikan bahwa kemungkinan pemicu gempa karena adanya pergerakan sesar aktif Cileunyi-Tanjungsari. Namun, perlu dilakukan penelitian mendetail terkait sumber, panjang, tingkat aktivitas, magnitudo, dan analisis kerusakan gempa.

Di Indonesia terdapat berbagai lembaga yang tergabung dalam Pusat Studi Gempa Nasional (Pusgen), ITB termasuk salah satu di antaranya. ITB melalui kolaborasi FITB dan Fakultas Teknik Pertambangan dan Perminyakan (FTTM) sebagai bagian dari tim pusat penelitian mitigasi bencana ITB melakukan penelitian mendetail terkait gempa yang terjadi di Sumedang.

Dalam kerja sama ini, Prof. Irwan turut mengajak Prof. Dr.Sc. Ir. Andri Dian Nugraha, S.Si., M.Si., selaku ketua tim Seismograf ITB guna memasang seismograf di sekitar area terjadinya gempa Sumedang. Prof. Irwan melakukan penelitian dari sisi data spasial dan survei langsung untuk dilakukan analisis tingkat kerusakan yang hubungannya dengan sumber gempa secara spasial. Tujuan akhir penelitian ini yakni menghasilkan model mitigasi bencana.

Berdasarkan hasil di lapangan, beliau dan tim menemukan anomali, khususnya terkait kerusakan bangunan. Peristiwa gempa tersebut menyebabkan ratusan bangunan di Sumedang rusak dan hancur. Hal tersebut menjadi perhatian peneliti karena dengan kekuatan gempa yang tidak terlalu besar, dampak kerusakan yang ditimbulkan signifikan.

Beliau menjelaskan bahwa kerusakan yang disebabkan gempa Sumedang cenderung tidak sistematis sehingga tim terkendala menganalisis kerusakan. Hipotesis awal kerusakan diperkirakan berasal dari kualitas bangunan yang rendah.

“Kerusakan yang terjadi akibat Gempa Sumedang tidak mengikuti pola tertentu. Dari pengamatan sekilas ada yang rusak di daerah ini, tapi di daerah tersebut yang tidak rusak juga banyak,” ujarnya (11/01/2024).

Apabila ditinjau dari sisi keilmuan Geologi, terdapat tiga hal yang menjadi penyebab kerusakan pascagempa begitu signifikan. Pertama, kedalaman sumber gempa dengan magnitudo besar yang cukup dangkal. Kedua, karakteristik lapisan tanah di Jawa Barat yang mempunyai berbagai produk vulkanik sehingga dapat meningkatkan guncangan gempa. Ketiga, kondisi geografis di Sumedang dan sekitarnya yang memiliki banyak penduduk dan telah dipadati bangunan sehingga berpotensi menimbulkan banyak kerusakan saat terjadi bencana.

Beliau mengimbau masyarakat untuk lebih meningkatkan kesiapsiagaan serta kewaspadaan terhadap gempa bumi susulan maupun potensi bencana lainnya. Pengetahuan tentang risiko dan mitigasi bencana sudah sepatutnya diberikan sejak dini, baik melalui aktivitas kurikuler maupun nonkurikuler. Dengan demikian, kewaspadaan masyarakat Jawa Barat yang tinggal di wilayah rawan gempa dapat meningkat.

“Harusnya apabila kita siap, gempa yang menimbulkan guncangan tidak selalu berisiko. Guncangan yang berefek itu bisa jadi karena pilihan-pilihan yang kita buat sendiri,” tuturnya.

Reporter: Pravito Septadenova Dwi Ananta (Teknik Geologi, 2019)