Ilmu Murni: Raksasa di Pelupuk Mata?
Oleh Unit Sumber Daya Informasi
Editor Unit Sumber Daya Informasi
Ilmu Murni: Raksasa di Pelupuk Mata?
“FMIPA adalah fakultas paling produktif seantero ITB,” menurut Triyanta, mantan kepala departemen fisika ITB. Pernyataan ini memang terdengar agak janggal. Masyarakat umum mengenal ITB sebagai sebuah institut teknik, bukan institut keilmuan murni. Namun sebagian orang berpendapat bahwa ilmu murni-lah ‘ratu’ dari institut ini.
Di ITB, departemen-departemen ilmu murni dirangkum dalam Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Departemen-departemen yang tergabung dalam fakultas ini termasuk departemen fisika, departemen biologi, departemen kimia, departemen matematika, serta departemen astronomi.
FMIPA ITB mempunyai predikat cukup tinggi di kalangan akademis internasional. “Prestasi kami banyak,” kata Triyanta. “Publikasi kami muncul di banyak jurnal internasional setiap tahunnya. Untuk tahun lalu saja tak kurang dari sepuluh paper internasional yang muncul, hanya dari departemen fisika.” Secara keseluruhan, FMIPA telah menerbitkan 46 publikasi internasional tahun 2004 lalu.
“Selain itu,” lanjut Triyanta, “Kami juga menjalin kerjasama erat setiap tahunnya dengan universitas-universitas Belanda, Jepang, dan negara-negara lain.”
Departemen fisika sendiri tahun ini mengadakan tiga konferensi internasional. Tanggal 3-5 Maret 2005 lalu telah diadakan COE-INES, sebuah simposium internasional mengenai fisika nuklir yang diadakan dengan kerjasama Tokyo Institute of Technology. Agustus depan akan diadakan konferensi instrumentasi di ITB dengan bantuan Institut Angkatan Bersenjata Jerman. Pada bulan yang sama akan diadakan sebuah konferensi mengenai alat-alat optik dengan mengundang MIT dan Universitas Italia.
FMIPA ITB memang mempunyai track record yang baik. Namun, masyarakat Indonesia tidak terlihat peduli. Ini terlihat dari minimnya wacana populer yang membahas ilmu murni. Pemerintah Indonesia juga tidak banyak memberikan suntikan dana untuk perkembangan penelitian ilmu murni.
Padahal, menurut Zeily Nurachman, seorang dosen kimia, kelemahan mahasiswa-mahasiswa ilmu murni hanya terletak di fasilitas. “Sebenarnya keterampilan bisa diajarkan dengan alat-alat yang tepat, tapi kita tidak punya alat-alat yang tepat,” ungkapnya. “Kita mempunyai sumber daya manusia yang luar biasa, tapi sarana yang kita punya minim. Ibarat melatih calon pengendara (mobil balap) F-1 dengan mobil butut.”
Zeily menyayangkan suntikan dana yang kurang dari pemerintah untuk mengembangkan inovasi-inovasi baru di bidang ilmu murni. “Padahal, kekuatan ilmu murni terletak pada inovasi,” menurut beliau.
Zeily mengakui bahwa pemerintah Indonesia kini berada pada posisi yang sulit. “Negara sedang susah,” katanya. “Mungkin kita harus bersyukur dengan yang ada.” Beliau menganggap bahwa kebanyakan pengajar ilmu murni kini hadir sebagai pahlawan-pahlawan tanpa tanda jasa dengan gaji yang tak seberapa.
Menurut Satria Zulkarnaen, seorang mahasiswa fisika murni yang sedang mengerjakan tugas akhir, masyarakat Indonesia masih apatis terhadap ilmu murni. “Padahal kami cukup sakti,” aku mahasiswa yang pernah mengikuti proyek penelitian di Durham, Inggris, ini. “Ilmu murni ITB sangat punya nama di kancah internasional.”
Satria menganggap bahwa pengalamannya di luar negeri sebagai peneliti muda dapat dijadikan contoh mengenai kebolehan fakultas ini. “Kita tidak kalah dari mahasiswa dari universitas-universitas papan atas luar negeri. Ilmu kita sama dengan mereka. Bahkan, dalam beberapa hal, ilmu kita lebih tinggi ketimbang mereka. Sebagai bukti, pada saat [penelitian itu], saya adalah satu-satunya mahasiswa tingkat 2 yang ada di sana. Sisanya tingkat 3 dan 4.” Padahal, proyek tersebut dihadiri oleh mahasiswa dari 12 negara.
Mahasiswa angkatan 2002 ini mengungkapkan bahwa ilmu murni ITB mempunyai banyak skill yang aplikatif. Sebuah alat penelitian yang dijual di luar Indonesia seharga 10 milyar dapat dibuat di ITB seharga satu milyar. Sesuatu yang sangat berpotensi ekonomis, tentunya. “Sayangnya,” kata mahasiswa dengan IP 4 ini, “sedikit orang Indonesia yang mampu melihat potensi yang ada dalam perdagangan alat-alat penelitian.” Sekali lagi, masyarakat belum cukup sadar akan potensi ilmu murni.
Padahal, ilmu murni sangat dihargai di luar negeri. Perusahaan-perusahaan banyak memberikan dana riset untuk para peneliti di bidang-bidang biologi, fisika, serta kimia. Selain itu, hibah dana yang dikucurkan pemerintah sangat besar bila dibandingkan dengan dana untuk jurusan teknik. Lantas mengapa Indonesia seakan menganaktirikan sang ilmuwan?
Menurut Satria, masalah utama terletak pada sosialisasi. “Grup-grup yang ada di dalam jurusan ilmu murni memang jarang membuka diri,” akunya, “kecuali terhadap universitas-universitas lain di luar sana. Mungkin karena tidak merasa ilmunya siap dihargai oleh masyarakat lokal.”
Selain itu ada masalah branding -- ilmu murni tidak dapat memberi merek kepada produk. “Kontribusi kami jarang terlihat. Yang terlihat hanya merk perusahaan,” kata Satria. “Padahal produk itu sendiri belum tentu bisa ada tanpa kami.”
Mungkin itulah yang harus diingat oleh masyarakat bila berbicara soal FMIPA-ITB: Sebuah produk belum tentu bisa ada tanpa ilmu murni. Hampir semua teknologi modern dikembangkan oleh orang-orang dari ilmu murni. Memang, nama mereka tidak terpampang di produk akhir; namun tanpa mereka produk tersebut mungkin tak akan pernah ada.
Kekuatan ilmu murni terletak di inovasi. Dan mungkin, untuk ITB-BHMN yang lebih baik, pertama kali kita harus membiarkan inovasi itu mengalir. Sains sebagai dasar dari teknologi akan selalu dapat mengimbangi teknologi. Tinggal masyarakat kita yang harus bertanya pada diri sendiri: Sudah siapkah untuk melihat di balik merek dan label, untuk menghargai perjuangan yang ada di baliknya?
Pandu WS