ITB Gelar Diskusi Terbuka Tentang Gempa Lombok dan Palu untuk Upaya Mitigasi

Oleh Adi Permana

Editor Adi Permana

*Prof. Sri Widiyantoro, Ph.D sedang memaparkan kajiannya di Bidang Seismologi


BANDUNG, itb.ac.id - Rangkaian gempa bumi yang terjadi di Indonesia akhir-akhir ini telah memberikan dampak yang cukup besar terhadap kerusakan bangunan, maupun infrastruktur lainnya. Terutama dari kejadian bencana di Lombok, Nusa Tenggara Barat, dan Palu, Sulawesi Tengah yang menelan ribuan korban jiwa.

Melalui dua kejadian bencana tersebut, perlu ada pembelajaran untuk persiapan menghadapi bencana alam serupa. Sebab seperti diketahui, Indonesia berada di kawasan ring of fire yang rawan terjadi gempa bumi dan meletusnya gunung berapi. Untuk itu "Diskusi Terbuka Pembelajaran dari Gempa Lombok dan Gempa Palu 2018 digelar untuk meningkatkan kewaspadaan juga Mitigasi Bahaya Kegempaan dan Tsunami Likuifaksi di Jawa Bagian Barat." 

Acara tersebut digelar atas kerjasama Insitut Teknologi Bandung (ITB) dengan Kementerian PUPR, Pusat Studi Gempa Bumi Nasional (PusGen), dan Himpunan Ahli Geofisika Indonesia (Hagi) di Aula Timur ITB, Jalan Ganesa no 10, Bandung, Selasa (23/10/2018).

Sesi diskusi pertama, mengangkat tema tentang tinjaun ilmiah kejadian gempa Lombok dan Palu 2018. Ahli yang mengupas mengenai kedua gempa tersebut diantaranya, Prof. Sri Widiyanto, Ph.D bidang Seismologi, Prof. Masyhur Irsyam, Ph.D bidang Seismic Hazard, dan Dr. Hamzah Latief bidang Tsunami.

Dalam paparannya, Prof. Sri Widiyantoro menyampaikan bahwa sampai saat ini belum ada teknologi yang mampu memprediksi waktu terjadinya gempa, dan di mana lokasinya. Namun potensinya dapat diketahui sebab banyak penelitian telah dilakukan, hal itu bisa diketahui dari peta gempa nasional yang telah dikeluarkan oleh PusGen di bawah Kementrian PUPR.

Dengan kondisi tersebut, kata Prof. Widiyantoro maka perlu bangunan yang dibuat secermat mungkin menyesuaikan dengan kondisi wilayah yang rawan gempa. Konstruksinya perlu diperhatikan. Selain itu, perlu juga melakukan simulasi evakuasi baik gempa dan tsunami secara rutin kepada masyarakat. "Penting juga mempersiapkan persediaan P3K di rumah, selalu kenali tempat-tempat mana yang harus berlindung, mencatat nomor-nomor penting, dan mengantisipasi kebocoran gas," ujarnya.

Selanjutnya, Prof. Masyhur Irsyam menyampaikan hasil kajiannya terhadap kejadian benca gempa bumi di Palu 2018 bersama tim dari ITB, KemenPUPR, PusGen, LIPI. Ia telah melakukan survei langsung ke lapangan termasuk terhadap daerah-daerah yang terjadi likuifaksi seperti di Petobo, Balaroa, Jonooge, dan Sibalaya. 

Terkait kejadian likuifaksi di Palu, berdasarkan data hasil survei yang telah dilakukan menunjukkan bahwa daerah tersebut memenuhi syarat terjadinya likuifaksi yang ditandai dengan tanah pasir, jenuh air, pasirnya tidak padat, menerima getaran dari gempa. Ditambah kedalaman muka air pun sangat dangkal, misalnya untuk daerah Petobo muka air hanya 3 meter, dan Balaroa 7 meter. 

"Daerah tersebut sebelumnya sudah diperkirakan oleh Badan Geologi rawan terjadi likuifaksi, karena tanah pasir dan jenuh air," ungkapnya.

Data-data tersebut selanjutnya akan digunakan untuk menjadi pertimbangan wilayah yang tepat untuk dijadikan tempat relokasi bagi masyarakat yang kehilangan tempa tinggal. Mengenai peta gempa bumi, ia mengatakan bahwa Indonesia sudah beberapa kali melakukan updating sejak 1966 pertama kali dibuat. Update terbaru yakni pada 2017. Dia juga menjelaskan bahwa perlu dilakukan kajian kembali struktur bangunan yang berada di Palu apakah sudah memenuhi standar bangunan tahan gempa yang disyaratkan pemerintah.

Sementara itu, Dr. Hamzah Latief menerangkan tentang fakta-fakta tsunami yang terjadi di Palu. Berdasarkan hasil analisanya, kemungkinan besar kejadian tsunami di Teluk Palu tersebut dibangkitkan oleh longsoran sedimen di laut karena gempa. Berdasaran data rekaman Stasiun Pasang Surut (Pasut) BIG, tsunami terjadi pada saat pasang tinggi dengan tinggi gelombang tsunami (dari puncak ke lembah) sekitar 4 meter, sehingga memberikan dampak yang cukup besar. Tsunami ini beresonansi di Teluk Palu yang berukuran panjang sekitar 30 km dan lebar 7 km dengan kedalaman teluk mencapai 600 sampai dengan 800 meter.

Dia menambahkan, kesimpulan sementara yang dapat disampaikan yakni, tinggi tsunami hasil pengukuran berkisar 3-4 meter di atas muka laut namun cepat meluruh setelah pecah. Ini menandakan bahwa panjang gelombang tsunami relatif pendek.

Selain itu, deformasi akibat gempa bumi dikatakan Dr. Hamzah tidak mampu membangkitkan tsunami setinggi hasil pengukuran sehingga kemungkinan besar akibat longsoran. Hal itu ditandai dengan tsunami yang tinggi dengan sifat sangat lokal. Paling tidak ia menyebut ada empat lokasi yang diidentifikasi terjadinya longsoran yaitu Talise, Tondo- Taipa, Donggala dan Balaesang.

"Pola arah perjalanan gelombang tsunami masih perlu diteliti lebih dalam hal ini karena masih simpang siur antara keterangan saksi mata dan pola aliran debis," pungkasnya.