ITB Talks: Penguatan Peran Perguruan Tinggi untuk Mendukung National Economic Development

Oleh Adi Permana

Editor Diky Purnama, S.Si.,M.Ds.

BANDUNG, itb.ac.id – ITB menyelenggarakan ITB Talks periode November dengan judul “Penguatan Peran Perguruan Tinggi untuk Mendukung National Economic Development” pada Kamis (24/11/22) secara luring di Aula Barat ITB dan daring. Pada ITB Talks kali ini mengundang dua orang pembicara di antaranya Yudi Latif, Ph.D., dan Prof. Dr. Yasraf Amir Piliang, M.A. yang dipandu oleh Ir. Sonny Yuliar, Ph. D., dan dihadiri oleh Rektor ITB Prof. Reini Wirahadikusumah, Ph. D.

Pada era pascapandemi, Indonesia dan bangsa lain di dunia dihadapkan pada masalah global khususnya dari sudut pandang ekonomi. Tema ini relevan diangkat karena perguruan tinggi terkhusus ITB menjadi tonggak perkembangan pengetahuan yang berpengaruh besar pada peningkatan stabilitas ekonomi.

Prof. Reini pada sambutan pembukanya mengajak semua audiens untuk berkontemplasi tentang eksistensi ITB dan sumbangsihnya dalam perkembangan ekonomi nasional. Cara-cara yang beliau paparkan merujuk pada buku Universities as Engines of Economic Development karya Edward Crawley, dkk (2020).

Buku tersebut menyebutkan bahwa perguruan tinggi bisa berpartisipasi aktif menjadi ‘mesin’ penggerak ekonomi nasional efektif apabila terjadi pertukaran pengetahuan yang sistematis. Pertukaran pengetahuan yang dimaksud adalah memberi dan mengambil orang, kapasitas, dan ide antara universitas dan partnernya. Kemudian dengan begitu kita mampu untuk memberikan manfaat bagi masyarakat.

“Sebenarnya (kita) tidak perlu mengubah 100 persen apa yang sudah dilakukan. Hanya perlu memperkuat dan mempercepat phase-nya kemudian memperkuat budaya ITB,” ujar Prof. Reini.

Peranan ekonomi tidak bisa dipisahkan dengan peranan budaya. Akan tetapi, pada praktiknya di Indonesia kedua sudut pandang ini masih dibicarakan secara terpisah yang mengakibatkan aspek sains sulit masuk ke dalam dua ranah sekaligus. Ironisnya di satu sisi, perguruan tinggi masih dianggap sebatas pabrik penghasil pekerja hingga penanaman nilai budaya sering terabaikan.

Berdasarkan pendekatan ontologis, kata Yudi Latif, ITB adalah produk dari krisis ekonomi Indonesia pada masanya. Krisis ekonomi pada permulaan abad 19 didominasi oleh Perang Dunia I hingga era pandemi flu spanyol yang melumpuhkan berbagai sektor kehidupan. Pada masa itu negara lain sibuk memenuhi kebutuhannya masing-masing termasuk tenaga insan intelektual sehingga didirikan Technische Hoogeschool te Bandoeng supaya mampu melahirkan tokoh intelektualnya sendiri.

Tolok ukur yang bisa dijadikan acuan kemajuan Indonesia adalah membandingkan dengan negara yang merdeka pada tahun yang sama seperti Korea Selatan (15 Agustus 1945). Pada awal kemerdekaan memang Indonesia unggul, namun seiring berjalannya waktu kini Indonesia masih menempati negara pendapatan menengah ke bawah. Beliau menekankan bahwa yang perlu dievaluasi adalah kecepatan perkembangannya, bukan kekayaan sumber dayanya.

Bagi Indonesia, mentalitas ilmu adalah hal prioritas yang harus segera ditangani. Selama ini, kita sebagai orang ilmiah dinilai masih mendua. Kita memahami bahwa arti pendidikan itu penting, namun pada riset-riset yang dilakukan nyaris tidak menempatkan variabel pendidikan dan pengetahuan kaitannya dengan kejatuhan dan kebangkitan kemakmuran. Yang patut dijadikan kunci utamanya adalah kapabilitas dalam meningkatkan kualitas hidup. Kemudian dari kapabilitas tersebut karya-karya yang dihasilkan harus berfungsi efektif dalam kehidupan nyata.

“Kalau mau mengembangkan teknologi, harus terkait pada konteks kenyataan masyarakat, dari mana bermula, dan kenyataan-kenyataan kultural berkembang,” ujar Yudi Latif.

Konsep seperti ini dikenal sebagai rooted globalism yang bermakna bahwa teknologi yang dikembangkan harus mengakar pada historis dan kebudayaan suatu bangsa. Setiap bangsa memiliki lintasan kemajuan yang berbeda satu sama lain. Misalnya Jepang maju karena kualitas otomotifnya bukan berarti Indonesia harus seperti Jepang. Indonesia memiliki sumber daya lain yang lebih unggul seperti maritim, obat-obatan, minyak, dan masih banyak lagi.

Pada ilmu ekonomi dikenal dua istilah yakni pembangunan nonorganik dan organik. Selama ini, menurut Prof. Yasraf, Indonesia masih menganut pembangunan nonorganik berupa pertumbuhan ekonomi yang masih berpusat pada aspek industrialisasi dengan upaya meningkatkan GDP yang mengabaikan aspek sosial, lingkungan, dan bangsa. Supaya bisa berkontribusi, perguruan tinggi harus mengembangkan pendekatan holistik berbasis pembangunan organik yang berarti mengintegrasikan aspek sosial, kultural, politis, lingkungan, dan ekonomi. Kemudian beliau memperkenalkan tiga tingkat peran sebagai berikut:

1. Level 1: Ekonomi yakni mengaitkan dengan karya dengan hasil inovasi,
2. Level 2: Sosiologis yakni mengaitkan dengan nilai budaya, politik pengetahun, dan rasa nasionalisme dengan hasil pengetahuan ilmiah,
3. Level 3: Filosofis yakni mengaitkan dengan pemikiran dengan metode kontemplasi sehingga menghasilkan filosofi tertentu.

Indonesia harus mulai menerapkan human centered-development dengan menjadikan manusia sebagai tujuan utamanya. Perguruan tinggi memiliki peran sentral dalam perkembangan ini dengan memberikan masukan pada kebijakan pengembangan. Saat ini ITB sudah mengarah ke sana dengan implementasi cipta, rasa, dan karsa yang terus diupayakan.

“Saya yakin ITB bisa jadi model ekonomi karena terbukti hari ini menyelenggarakan acara untuk berkontemplasi memikirkan perekonomian nasional,” ujar Prof. Yasraf.

Reporter: Lukman Ali (Teknik Mesin/FTMD, 2020)