Karsaloka ITB: Membangun Resiliensi Masyarakat terhadap Risiko Bencana
Oleh Adi Permana
Editor Adi Permana
BANDUNG, itb.ac.id – Pada Jumat (15/10/2021), Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) ITB bekerja sama dengan Design Ethnography Lab FSRD ITB menyelenggarakan webinar “Membangun Resiliensi Masyarakat Rawan Bencana”.
Webinar ke-12 ini merupakan sesi terbaru dari acara bulanan “Karsa Loka: Gelar Wicara ITB untuk Masyarakat” dan dihadiri oleh Reggi Kayong Munggaran sebagai narasumber. Karsa Loka sendiri adalah salah satu aksi ITB untuk menggemakan konsep, pengalaman, serta peran dalam persoalan masyarakat. Diharapkan lewat webinar ini peserta dari berbagai bidang ilmu dapat berbagi dan bersinergi untuk mengoptimalkan pemberdayaan masyarakat melalui inovasi sains dan teknologi.
Sebagai Ketua Operasional Jabar Quick Response (JQR), Reggi bercerita bahwa JQR resmi didirikan tiga tahun yang lalu sebagai program pertama Gubernur Jawa Barat. Saat masa awal pengelolaan aduan masyarakat, alur prosesnya masih kurang jelas dan dilakukan lewat pesan langsung. Dari situ dia merancang sistem pertolongan JQR dengan landasan menghadirkan negara dalam setiap kebutuhan kedaruratan dan kemanusiaan di Jawa Barat. Luas Jawa Barat dan populasi yang mencapai 50 juta juga menitikberatkan urgensi adanya layanan pengaduan yang mencakupi seluruh daerah dan responsif terhadap semua persoalan.
JQR dekat kepada sistem informasi di media sosial sebagai sarana mobilisasi relawan, kampanye media, publikasi, kanal aduan, dan media edukasi masyarakat sekitar mengenai masalah kedaruratan. Fungsi lain media sosial bagi JQR adalah mengedukasi dan melakukan verifikasi pengguna bahwa pertolongan hanya untuk orang-orang yang mengalami masalah darurat dalam skala provinsi.
“Kami 24 jam stand-by dan cepat respons melalui pesan maupun pengoperasian bantuan,” ujarnya.
Potensi risiko bencana alam di Jawa Barat sangat tinggi. 75% dari desa atau kelurahan di sana rawan bencana tingkat tinggi. “Maka dari itu, kesiapsiagaan dan ketangguhan masyarakat dalam menghadapi ancaman harus menjadi budaya dan kebiasaan untuk merekognisi bencana di sekitarnya sekaligus mencari solusi praktisnya,” Reggi menyatakan.
Contoh dari kombinasi budaya dan manajemen risiko bencana dalam skala kecil dapat diamati dari banjir Garut yang memakan banyak korban. Kabupaten Garut memiliki indeks risiko bencana yang tinggi bernilai 238, sebab wilayah ini rawan dengan kebanjiran. Beberapa kelompok penggiat arung jeram yang mengadvokasi satu kampung dengan pelatihan penyelamatan. Pada akhirnya, warga sana dapat mengenali titik-titik lokasi yang akan meluap jika terjadi banjir. Mereka juga merancang exit plan dan rencana mitigasi lainnya.
Secara teoritis, resiliensi adalah kapasitas komunitas atau masyarakat untuk bertahan di hadapan potensi terpapar bencana. Dengan contoh warga Jepang yang diajarkan berbagai cara untuk beradaptasi dari potensi gempa bumi and tsunami, Reggi menekankan bagaimana budaya dapat dimasukkan dalam upaya resiliensi atas bencana alam.
Umumnya, parameter dalam pemrosesan manajemen risiko bencana adalah pencegahan, mitigasi, dan rencana. Walaupun banyak pihak di Jawa Barat berurusan dengan emergency response and post disaster, itu saja tidak cukup untuk mengubah mentalitas masyarakat yang sering mengabaikan peringatan dini. Oleh karena itu, ketiga aktivitas manajemen risiko bencana dilangsungkan agar sistem manajemen risiko efisien dan efektif di mana warga sekitar dapat berkontribusi dalam pengurangan dan pengelolaannya.
Signifikansi media dan teknologi sebagai bagian dari budaya resiliensi penting untuk respons cepat terhadap bencana alam. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa provinsi pengguna internet terbanyak di Indonesia adalah Jawa Barat dengan 35,1 juta penduduk. Dengan pemakaian sebesar ini, diciptakan strategi pendekatan yang populis seperti sistem untuk meninggikan interaksi dengan warga, yaitu dengan bantuan media dan teknologi. Selain itu, media sosial sebagai sumber informasi harus dapat dipercayai dan mudah diakses. Pembangunan resiliensi lewat sumber informasi tersebut dapat dilakukan dengan orang-orang terkenal maupun aplikasi yang ramai digunakan pada masa ini.
Dari pengalaman Reggi sendiri, dia melihat bahwa JQR berhasil dalam mendekatkan diri kepada warga-warga korban bencana. Hal ini tercapai karena anggota-anggotanya yang semangat berinovasi. “Kita dikelilingi oleh anak-anak muda yang berenergi, tetapi memiliki kesabaran yang sedikit,” kata Reggi.
“Meskipun demikian, pendekatan mereka menghadapi bencana sangat kekinian, sehingga pembangunan resiliensi ini dapat berlangsung dengan lancer,” ujarnya.
Lewat penanggapan yang cepat, ide-ide menarik dan niat yang baik, pendekatan media dan teknologi dapat membantu menumbuhkan resiliensi sebagai budaya keharusan untuk menanggulangi potensi bencana.
Reporter: Ruth Nathania (Teknik Lingkungan, 2019)