Kelompok Riset Cekungan Bandung (KRCB)
Oleh habiburmuhaimin
Editor habiburmuhaimin
Berangkat dari kebutuhan itulah beberapa dosen Geologi ITB dan peneliti Puslitbang, Geoteknologi LIPI mengajak serta mahasiswa untuk sekadar me-refresh Geologi Bandung melalui kegiatan jalan-jalan, sehingga terbentuklah kelompok jalan-jalan yang diberi nama Kelompok Riset.
KRCB berdiri pertama kali 12 Desember 2000. Tujuannya untuk memberikan "sesuatu" yang berarti bagi Bandung, kota yang sangat dicintai para penghuninya. "Karena kita sebagian besar anggotanya geolog, maka sumbangan pemikiran tentang geologi pula yang ingin kita berikan untuk Bandung," ujar Budi, satu dari sebelas anggota inti KRCB yang mendiskusikan tentang persoalan-persoalan geologi Bandung.
Ide jalan-jalan ini, menurut Budi, dipicu pula oleh pengalaman beberapa dosen dan peneliti yang pernah bersekolah di Jepang. Di sana terdapat sekelompok orang yang terdiri atas dosen, peneliti, mahasiswa, guru sekolah menengah, bahkan pihak swasta dan masyarakat yang selalu menggelar agenda jalan-jalan.
Menariknya, kata Budi, setiap anggota kelompok ini selalu memposisikan dirinya sebagai "Saya tidak tahu dan ingin tahu". Prinsip inilah yang kemudian dikembangkan Budi di KRCB. "Makanya, di KRCB itu tidak ada unggah-ungguh. Semuanya berjalan berdasarkan ilmu pengetahuan dan pengalaman masing-masing. Tidak sedikit profesor yang tetap hormat dan menghargai terhadap anggota belia sekalipun," ujar Budi.
Hal itu tampak bila KRCB menggelar simposium atau lokakarya. Seorang guru besar akan tetap mengangguk-angguk tanda setuju terhadap pandangan yang disampaikan para pembicara. Padahal, bisa saja pemakalah tersebut berusia masih sangat muda.
"Di KRCB justru kekakuan atau hal-hal rigid seperti itu harus ditinggalkan. Pada saat membicarakan KRCB, maka posisinya sama walaupun mungkin ada saja orang yang sudah menduduki jabatan tertentu. Justru kita tidak ingin di KRCB ini muncul seseorang yang merasa lebih atau kurang. Tetapi semuanya sama, egaliter dalam bergaul tanpa harus mengurangi rasa hormat satu sama lain," ujar Budi.
Uji coba
Ide jalan-jalan Kelompok Riset ini sudah dimulai sejak 1999. Waktu itu, kata Budi, mereka konsetrasi terhadap Cekungan Bandung dan bertahan sampai 2004. Cekungan Bandung ini meliputi kawasan Karst Citatah, Saguling, Aliran Ci Meta dan Ci Taruna, Sesar Lembang, dan Gunung Tangkubanparahu.
Sedangkan untuk kawasan selatan, Cekungan Cicalengka dan Nagreg menjadi dua lokasi pengawasan dan penelitian KRCB. Pencapainnya pun luar biasa, hasil penjelajahan Cekungan Bandung ini adalah penemuan artefak prasejarah di Guwa Pawon.
Penemuan yang spektakuler ini merupakan kesuksesan penerapan konsep geologi dan pengunaan metoda geofisika. Menurut Budi, penelitian ini juga menggunakan geomagnetik (magnet bumi) yang dapat membaca segala kandungan dalam perut bumi.
Dengan temuan tersebut, akhirnya kelompok jalan-jalan ini mendirikan Kelompok Riset Cekungan Bandung (KRCB) atau Bandung Basin Research Group (BBRG). Dana yang digunakan pun didapat dari saku masing-masing anggota yang sering kali "on/off" kehadirannya. Kendati begitu, ada sebelas orang perintis yang sampai sekarang terus "on" menggerakkan KRCB.
Sebelas orang itulah yang kini menggerakkan KRCB. Bukan saja menjalankan roda kegiatan, tetapi juga bersinergi dengan berbagai wadah yang juga konsep terhadap masalah-masalah kebumian dan lingkungan Bandung. Seperti Kelompok Mahanagari, Kelompok LPPM ITB, BPLHD, Kopassus, Museum Sribaduga, Disbudpar Jawa Barat, Himpunan Geograf, Himpunan Geolog, hingga Air Photography.
Semakin banyak hubungan kerja sama dengan berbagai pihak, kata Budi, akan semakin banyak masyarakat tahu tentang kebumian dan lingkungan Bandung yang sesungguhnya. "Dengan Air Photography misalnya, kita sengaja bekerja sama mengadakan lomba fotografi tentang penyelamatan Karst Citatah. Animonya bagus sekali dan hasilnya masyarakat bisa tahu kerusakan lingkungan akan berdampak buruk terhadap asal muasal manusia sesungguhnya," tutur Budi.
Filosofi Setangkai Daun Singkong
SETANGKAI daun singkong adalah simbol yang dimiliki Kelompok Riset Cekungan Bandung (KRCB). Setiap helai lengan daun adalah simbolisasi dari bentuk Gunung Tangkubanparahu. Bentuk perahu terbalik tersebut berputar serah jarum jam menjadi perahu dalam posisi normal.
Tangkai daun adalah simbolisasi Ci Tarum, sungai yang menjadi urat nadi Cekungan Bandung. Itu artinya, KRCB ingin mengetahui bumi Bandung dengan membalikkan tutupan (tangkuban) yang berbentuk perahu itu agar mengetahui ada apa di balik tutupannya.
Filosofi setangkai daun singkong ini dapat kita temui dalam buku Amanat Gua Pawon yang diterbitkan KRCB pada 2004 selepas keberhasilan spektakulernya menemukan situs manusia Gua Pawon.
Ada banyak kisah dan tradisi (kebiasaan) anggota KRCB dalam mempraktikkan filosofi setangkai daun singkong ini. Bukan saja dalam niatnya menguak Bandung dengan membalikkan perahu yang terbalik (nangkub) menjadi perahu biasa (normal), tetapi juga pelaksanaan riilnya di lapangan.
Tradisi yang biasa dilakukan anggota KRCB adalah botram. Menikmati hidangan lauk-pauk di alam bebas terbuka. Betapa tidak, anggota KRCB yang sebagian besar sudah berusia di atas 40 tahun harus rela keluar masuk Gua Pawon, misalnya demi menemukan jawaban dari misteri Cekungan Bandung.
Hasilnya, mereka harus selalu membawa bekal makan dan minum dari rumah. Namun, justru rehat sejenak dengan botram (makan bersama di alam terbuka) inilah, anggota KRCB satu sama lain begitu akrab, begitu dekat. Tidak ada sekat antara yang satu dan lainnya.
Padahal, kalau melihat profesi di luar KRCB, semuanya mempunyai jabatan ataupun posisi strategis di bidangnya masih-masing. Akan tetapi, pada saat mereka bergabung di KRCB dan berbuat untuk KRCB - yang berarti juga berbuat untuk Bandung dan bangsa ini - semua predikat dan jabatan itu justru ditanggalkan.
Mereka tidak hanya kompak dalam diskusi, lokakarya, ataupun seminar, tapi juga saat di lapangan. Perilaku ini, menurut Ketua KRCB Budi Brahmantyo, justru menjadi penguat ikatan keanggotaan satu sama lain. Ini penting, sebab hakikat meneliti menurut Budi adalah konsisten. "Konsistensi inilah yang kita butuhkan pada saat kita membuka misteri helai demi helai filosofi setangkai daun singkong ini. Ada apa gerangan di dalamnya," ujarnya.
"Kalau salah urus, bisa hancur. Begitu juga kalau dibiarkan, tidak ada misteri ilmu pengetahuan yang akan terkuak dari misteri Cekungan Bandung ini," ujar Miko.
Sumber (KOMUNITAS PIKIRAN RAKYAT, 27 September 2009) Ext http://blog.fitb.itb.ac.id//BBrahmantyo