Kuliah Tamu Prodi Teknik Kimia ITB Bahas Pemanfaatan Batu bara Indonesia dan Tantangannya Menuju Net Zero Emission 2060

Oleh Adi Permana

Editor Adi Permana

BANDUNG, itb.ac.id–Prodi Teknik Kimia, Fakultas Teknologi Industri ITB menyelenggarakan kuliah tamu untuk mata kuliah TK4027 dan TK5007 Kimia dan Teknologi Batu bara pada Selasa (22/2/2022). Kuliah tamu ini berjudul “Sumber Daya Batubara Indonesia dan Tantangan Pemanfaatannya Menuju Net-Zero Emission 2060”. Materi pada perkuliahan ini disampaikan oleh dosen Kelompok Keahlian Eksplorasi Sumber Daya Bumi, Fakultas Pertambangan dan Perminyakan ITB (FTTM ITB), Dr. phil. nat. Agus Haris Widayat, S.T, M.T.

Dr. Haris memulai pemaparan materinya dengan menerangkan bahwa batubara merupakan batuan sedimen organik yang berasal dari tumbuhan yang dapat terbakar, memiliki warna coklat sampai hitam, dan sejak pengendapannya mengalami proses fisika dan kimia sehingga memperkaya kandungan karbonnya.
Pembentukan batubara dimulai sejak zaman Paleocene-Eocene yang terjadi pada sekitar 35 juta tahun yang lalu. “Rezim ekstensi terjadi di wilayah Indonesia pada zaman Eocene, tepatnya sekitar 35 juta tahun yang lalu,” terang Dr. Haris.

Dari pembentukannya yang terjadi puluhan juta tahun yang lalu hingga saat ini, Indonesia menjadi negara yang kaya akan sumber daya batubara. Indonesia memiliki berbagai lokasi yang menjadi sebaran cekungan batubara. Mulai dari Meulaboh, Sibolga, Ombilin, Sumatera Selatan, Bengkulu, Bayah, Barito, Kutai, dan Kutai. Pulau Sumatera dan Pulau Kalimantan menjadi pulau dengan jumlah cekungan batubara terbanyak di Indonesia.

Selain itu, proses pembentukan batubara atau pembatubaraan melibatkan dua proses utama yaitu biochemical processes dan geochemical processes. Secara total, Indonesia memiliki sumber daya batubara sekitar 144 milyar ton dan cadangan batubara sekitar 39 milyar ton.

Sumberdaya batubara yang dimiliki Indonesia ini juga terbagi dari beberapa kategori yaitu Hipotetik, Tereka, Tertunjuk, dan Terukur. Selain itu, terdapat beberapa tingkatan kelas kalori dari batubara. Mulai dari low, medium low , medium high, high, dan very high. Batubara dengan kelas kalori rendah hingga medium mempunyai jumlah sumberdaya paling banyak di Indonesia.

“Batubara yang diendapkan di dekat laut atau berkembang di dekat pegunungan umumnya memiliki kandungan sulfur yang lebih tinggi, contohnya batubara yang terdapat di sekitar Bukit Barisan dan di daerah cekungan delta di Kalimantan Timur,” pungkas Dr. Haris.

Batubara juga merupakan sumber energi nomor satu yang dimiliki Indonesia, bahkan Indonesia juga merupakan salah satu negara pengekspor batubara terbesar di dunia. Maka dari itu, mayoritas industri pertambangan bergerak di sektor batubara. Penambangan batubara dilakukan melalui dua cara. Pertama ada penambangan terbuka atau yang biasa disebut open pit dan kedua ada penambangan bawah tanah. Untuk Indonesia, mayoritas penambangan dilakukan dengan metode terbuka atau open pit.

Bukan hanya mendominasi untuk energi konvensional, batubara juga masih mendominasi dalam bauran energi pembangkit listrik nasional dengan persentase 60%. Selain itu, masih banyak lagi bentuk pemanfaatan dari batubara. Mulai dari pemanfaatan batubara untuk industri semen, industri baja, dan briket batubara.

Terakhir, Dr. Haris membahas tantangan terkait target Net-Zero Emission untuk tahun 2060. “Net-Zero Emission bukan berarti menghapus pemanfaatan energi fosil, namun menyeimbangkan karbon yang diemisi dengan karbon yang diserap. Nah, tantangan yang dihadapi sektor batubara cukup besar karena batubara merupakan penyumbang emisi karbon yang besar. Tidak hanya itu, batubara juga memberi emisi polutan seperti NOx dan SOx,” tegas Dr. Haris.

Maka dari itu, perlu dilakukan dan diciptakan bentuk pemanfaatan batubara yang lebih ramah terhadap lingkungan hidup. Salah satunya dengan cara mengembangkan teknologi gasifikasi, yaitu dengan mengkonversikan batubara dari padatan menjadi gas sintetik yang kemudian bisa diolah menjadi produk hilir yang beragam seperti bahan-bahan kimia, pupuk, dimethyl ether (DME) atau bahan bakar gas.

Reporter: Yoel Enrico Meiliano (Teknik Pangan, 2020)