Kuliah Umum Agama dan Etika Islam ITB: Mengulik Islam Liberal dan Pengaruhnya Terhadap Mahasiswa

Oleh Adi Permana

Editor Adi Permana

Kiri ke kanan: Dosen Agama dan Etika Islam ITB Dr. H. Asep Zaenal Ausop, M.Ag.; Mantan Menteri Agama Republik Indonesia Dr. (HC) K.H. Lukman Hakim Saifuddin; Dosen Filsafat Islam Universitas Darussalam Dr. Syamsuddin Arif; beserta moderator dari Dosen Agama dan Etika Islam ITB Sansan Ziaul Haq, M.A.Hum., Lc. (Foto: Bashravie Thamrin)

BANDUNG, itb.ac.id—Banyak yang mengenal Islam liberal merupakan sebuah aliran yang menghadirkan perspektif yang lebih inklusif dan terbuka dalam memahami ajaran Islam. Namun faktanya, Islam liberal juga masih menyimpan keresahan bagi beberapa kalangan di Indonesia.

Untuk membahas keresahan mengenai Islam Liberal, Kuliah Umum Agama dan Etika Islam ITB mengangkat topik tersebut pada Sabtu (6/5/2023) di Aula Barat ITB.

Kuliah umum ini disampaikan oleh Mantan Menteri Agama Republik Indonesia Dr. (H.C.) K.H. Lukman Hakim Saifuddin, Dosen Agama dan Etika Islam ITB Dr. H. Asep Zaenal Ausop, M.Ag., dan Dosen Filsafat Islam Universitas Darussalam Dr. Syamsuddin Arif. Kuliah umum tersebut dibuka oleh Sekretaris Senat Akademik ITB Prof. Wawan Dhewanto, S.T, M.Sc., Ph.D.

Prof. Wawan Dhewanto dalam sambutannya mengatakan ilmu yang dituntut di kampus ini sekiranya harus sejalan dengan konteks ‘salam ganesha’, yaitu bermanfaat kepada Tuhan, bangsa, dan almamater.

Dia juga menegaskan bahwa apa yang kita dapat harus dimanfaatkan sebagai dharma bakti kepada Tuhan Yang Maha Esa dan agama. “Selain itu pula, tidak ada salahnya untuk bermimpi setinggi mungkin. Sesungguhnya mimpi yang tinggi itu dimulai dari mimpi-mimpi kecil,” tutup Prof. Wawan.

Konsep Rahmatan lil ‘Alamin untuk Membangun Keutuhan Masyarakat Bangsa dan Negara

Dr. (HC) K.H. Lukman Hakim Saifuddin mengatakan bahwa secara konsep Rahmatan lil ‘Alamin, Rasul diturunkan oleh Allah SWT ke bumi untuk bertugas menyebarkan misi kebaikan. Menurutnya hal tersebut bermakna manusia juga diberikan tugas untuk menyebarkan misi kebaikan sebagai hamba Allah (Abdullah). Termasuk sebagai pengelola alam yang diberikan oleh Allah (Khalifah).

Namun untuk melaksanakan hal tersebut, manusia diberikan segala keterbatasan. Oleh karena itu, menjadi konsekuensi bagi manusia untuk saling bersinergi memberikan kemaslahatan dengan kelebihan masing-masing.

Keragaman yang dihasilkan dari segala keterbatasan itu pula dapat memunculkan berbagai tafsir yang berbeda diantara manusia mengenai pengetahuan, penglihatan, maupun penggambaran.

“Jadi pemahaman akan firman boleh berbeda, namun konteks firmannya sendiri tidak boleh berubah. Jika pemahaman akan firman sudah sama, maka kita dapat membangun keutuhan dalam masyarakat, bangsa, maupun negara,” tambah K.H. Lukman.

Makna Ekstrem dan Militan serta Wasathi dan Liberal

Dosen Agama dan Etika Islam ITB Dr. H. Asep Zaenal Ausop, M.Ag. saat menjadi pembicara kedua dalam Kuliah Umum Agama dan Etika Islam ITB mengangkat topik tersebut pada Sabtu (6/5/2023) di Aula Barat ITB (Foto: Bashravie Thamrin)

Menurut Dr. H. Asep Zaenal Ausop, keragaman di dalam Islam memberikan 2 pandangan agama yang berbeda, yaitu militan dan ekstrem. Militan merupakan muslim dengan keimanan, ibadah, dan akhlak yang kokoh dan tidak mudah digoda duniawi. Sedangkan ekstrem adalah pandangan dengan prinsip memaksakan kehendak.
Ekstrem kerap disandingkan dengan pemahaman radikal, padahal radikal bermakna pemahaman yang mengakar (dalam) dan kita sebagai hamba wajib mengamini hal tersebut.

“Lalu ada lagi sebutan orang tentang muslim wasathiyah. Muslim wasathiyah merupakan muslim yang “siger tengah” atau yang dimaksud dengan muslim yang tegas akan imannya, namun tetap bijaksana dalam memahami agamanya,” tambah Dr. Asep.

Perkembangan Islam Liberal di Indonesia

Dr. Syamsuddin Arif memandang pengaruh Islam liberal yang hadir saat ini justru sulit untuk dikatakan memahami konteks Islam. Seperti menerima pandangan LGBT atas nama hak asasi manusia (HAM), padahal jelas dilarang oleh Allah. Justru, ini merupakan pandangan yang dihadirkan barat sebagai strategi politik untuk memenangkan mereka sebagai negara adidaya. Maka dari itu, perlunya filtrasi terhadap yang batil dan yang buruk untuk melawan pengaruh yang buruk.

Dr. Syamsuddin juga mengatakan perlunya negara Islam bersatu untuk merubah pengaruh yang negatif dan menunjukkan Islam yang menerima perbedaan dan kesetaraan. Namun tetap dalam koridor yang dimaksud oleh Allah.

Reporter: Bashravie Thamrin (Manajemen, 2024)