Maen Gedhe Ludruk ITB

Oleh prita

Editor prita

BANDUNG, itb.ac.id - Unit kegiatan mahasiswa "Ludruk" ITB kembali menyajikan hiburan segar bagi mahasiswa. Maen Gedhe Ludruk dengan lakon "Gonjang Ganjing Ganesha" memancing gelak tawa penonton sepanjang pertunjukkan. Ratusan penonton memadati Aula Barat ITB pada Sabtu (30/04/10) malam.
Pementasan ludruk kali ini menyoroti sosok heroik dari Madura, Pak Sakerah. Perjuangan beliau dalam melawan penjajah yang ironisnya justru harus membunuh sahabatnya sendiri, disajikan dalam humor-humor a la mahasiswa. Sindiran-sindiran halus yang ditujukan pada mahasiswa hingga pihak institusi tidak lupa diselipkan. Salah satu bagian acara yang menarik perhatian adalah penampilan para dharma wanita.Dharma wanita ini sesungguhnya adalah mahasiswa pria yang berpakaian seperti wanita. Karena masih dalam suasana peringatan hari Kartini, humor yang dibawakan seputar kegiatan wanita-wanita dari berbagai komunitas di kampus. Tak Tersentuh Penguasa Ludruk merupakan kesenian sandiwara khas jawa timur. Pementasan ludruk biasa mengambil tema kehidupan sehari-hari yang disampaikan dengan cara jenaka. Ludruk memiliki elemen-elemen penting seperti tari remo (ngremo), kidungan, dagelan (humor), dan cerita. Sebuah pementasan ludruk dibuka oleh tari remo. Tari yang berasal dari daerah Jombang ini sebenarnya menceritakan perjuangan seorang pangeran di medan laga. Kidungan merupakan nyanyian berbentuk puisi lirik yang diiringi oleh gamelan jawa. Ludruk lahir sebagai bentuk protes terhadap feodalisme dalam struktur masyarakat jawa timur masa lampau. Alih-alih melakukan gerakan perlawanan yang ekstrem, masyarakat memilih bentuk kesenian yang memuat sindiran-sindiran terhadap penguasa. Hal ini juga yang menyebabkan keseluruhan pemain ludruk adalah lelaki. Kalaupun ada wanita, biasanya ditempatkan sebagai pemain gamelan. Meskipun memuat sindiran terhadap penguasa, namun kesenian ini tak pernah tersentuh oleh kalangan penguasa yang sebenarnya menyadari esensi dari kesenian tersebut. Bahkan WS Rendra dalam buku "Mempertimbangkan Tradisi" (1984), mengatakan bahwa belum pernah ada raja yang melarang ludruk atau dagelan, meskipun dalam ludruk atau dagelan apa saja boleh diucapkan: yang kotor, yang kasar, segala macam kritikan, dan segala macam ejekan. Tidak pernah ada lurah, bupati, atau raja yang marah karena dikritik pedas dalam ludruk. Karena jika mereka marah akibat ini, maka rakyat menganggapnya mempunyai "roso-risi" - digerakkan oleh rasa bersalah, dan akan dinilai rendah. Dari masa ke masa Dalam perjalanannya, ludruk mengalami perkembangan dan penyesuaian jaman. Pada era orde lama, kesenian ini sempat dimanfaatkan sebagai sarana menarik simpati rakyat dalam kampanye-kampanye PKI. Pada era reformasi, ludruk mulai tenggelam seperti halnya kesenian-kesenian tradisional lainnya.Tayangan-tayangan ludruk di televisi oleh beberapa kalangan dinilai hanya "guyonan" belaka; tidak memuat esensi ludruk itu sendiri. Apa yang dilakukan oleh Unit Kesenian Jawa Timur Ludruk ITB, sesungguhnya merupakan upaya mengeksiskan kesenian tersebut di kalangan mahasiswa. Maen Gedhe Loedroek menjadi salah satu acara yang ditunggu-tunggu oleh mahasiswa. "Saya senang menontonnya, acaranya lucu dan menghibur," demikian aku Bobby (Teknik Mesin'06), salah satu penonton acara tersebut.