Magmatisme dan Subduksi di Indonesia: Keping yang Belum Terlengkapi

Oleh Adi Permana

Editor Vera Citra Utami

BANDUNG, itb.ac.id — Guest Lecture Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian (FITB) dengan tajuk “Magmatism and Subduction: some issues from Indonesia” dilaksanakan pada Kamis (14/10/2021) secara virtual dengan pembicara Prof. Robert Hall dari Royal Holloway University of London.

Materi dan tema yang dibawakan oleh Prof. Robert Hall adalah mengenai magmatism and subduction. Ia menekankan bahwa presentasi kali ini bukanlah sebuah pemaparan komprehensif, lebih kepada mengenalkan beberapa pemikiran mengenai subduksi dan beberapa hal yang tidak ada di dalam buku.

“Pada peta persebaran level seismik di Indonesia, satu hal penting yang perlu untuk diperhatikan lebih lanjut adalah kebanyakan level seismik ini berada di daerah pinggir lempeng,” katanya. Berdasarkan fakta tersebut, katanya, pulau Kalimantan merupakan pulau Indonesia yang tidak terlalu reaktif berdasarkan level seismiknya.

Mengenal Pemodelan Tomografi Seismik

Selama 45 juta tahun belakangan ini, rekonstruksi lempeng tektonik telah dikembangkan untuk membuat sebuah model prediksi mengenai riwayat subduksi yang terjadi. Riwayat terjadinya subduksi ini sesungguhnya ‘tersimpan’ di mantel bumi, sehingga dilakukanlah sebuah metode yang disebut sebagai pemodelan tomografi seismik untuk membuat pencitraan struktur mantel bumi.

Tomogram sendiri merupakan sebuah gambar kabur (blurred image) sebuah penyimpangan kecepatan gelombang seismik dari kecepatan reratanya. Warna pada hasil tomogram merupakan persentase anomali kecepatan, bervariasi dari 6 km/s pada kerak hingga kecepatan 13 km/s pada kedalaman hingga 3000 kilometer.

Warna biru yang ditunjukkan hasil tomogram umumnya diasosiasikan dengan temperatur yang lebih rendah dan warna merah menandakan temperatur yang lebih tinggi. “Dengan hasil tomogram pada berbagai kedalaman yang kita dapatkan, kini dapat diprediksi struktur mantel bumi yang kemudian dapat diinterpretasikan ke dalam bentuk rekonstruksi tektonik.”

Proses Terjadinya Subduksi

Berdasar literatur, beberapa konsep yang dipercaya secara luas antara lain adalah menginisiasi zona subduksi yang baru merupakan hal yang sangat sulit, serta tidak bisa dijawab dengan mudah melalui observasi langsung. Selain itu, inisiasi subduksi juga tidak bisa diobservasi pada sembarang tempat, terutama tanpa pengetahuan lebih lanjut mengenai daerah di mana subduksi mungkin terjadi.

“Subduksi baru dapat berkembang dari subduksi yang ada,” jelasnya secara singkat. Contoh mudahnya, menurut Prof. Robert, adalah di Banda yang telah memiliki sejumlah zona subduksi. Subduksi diinisiasi dengan propagasi arah timur dari zona subduksi yang telah ada sebelumnya, yaitu Palung Jawa (Java Trench).

Efek dari subduksi yang bisa diamati dapat terjadi akibat adanya perbedaan usia slab pada zona subduksi, perbedaan kecepatan subduksi, dan adanya objek apung. Hal ini dapat mengarah ke perubahan sudut pada slab yang tersubduksi, bertambahnya palung, erosi subduksi, dan perubahan pada aktivitas lengkungan.

Magmatisme dan Subduksi

Umumnya pada negara-negara di Asia Tenggara, paparnya, magmatisme Cenozoic terjadi karena adanya subduksi. Meskipun begitu, perlu diingat bahwa ini tanda dari subduksi tersebut mungkin saja tercipta dari peristiwa subduksi sebelumnya. Prof. Robert Menambahkan, “Perlu diingat juga bahwa beberapa zona subduksi yang aktif tidak memiliki keterkaitan dengan arc magmatism, seperti pada Palung Filipina.”

Ketika hinge subduksi kembali ke tempat semula, irisan mantel akan secara terus menerus terisi kembali, sehingga nantinya akan terjadi magmatisme lanjutan. Sedangkan jika hinge tersebut bersifat stasioner, maka mantel tersebut tidak akan terisi kembali. Hal ini dapat menimbulkan akibat berupa magmatisme yang terhenti meskipun subduksi terus berlanjut. Di Indonesia, banyak daerah yang belum dapat dijelaskan secara spesifik terkait magmatisme dan subduksi, contohnya adalah pada Borneo.

Prof. Robert Hall menegaskan bahwa masih banyak keping puzzle terkait efek dari subduksi yang saat ini belum menemui titik jelas; ketiadaan arc volcanism, pergantian komposisi dari CA menjadi K-rich, serta beberapa magmatisme yang terjadi karena perluasan namun tidak berhubungan dengan peleburan pasak mantel. “Hal-hal yang belum terjawab jumlahnya masih berlimpah, sehingga saya sangat berharap ada mahasiswa dari Indonesia suatu saat yang akan menyelesaikan permasalahan ini,” tutupnya.

Reporter: Athira Syifa P. S. (Teknologi Pascapanen, 2019)