Melestarikan Motif Batik Cirebon dengan Buku Taktil 3D-Printing
Oleh Adi Permana
Editor Adi Permana
BANDUNG, itb.ac.id—Sebagai karya asli Indonesia yang memadukan seni dan teknologi, batik memiliki beragam motif yang mengandung makna dan filosofi. Salah satu daerah yang memiliki motif batik terkenal adalah Cirebon dengan corak Mega Mendung. Motif tersebut menggambarkan nilai kesabaran yang harus ada dalam diri setiap manusia.
Batik termasuk ke dalam karya seni rupa dua dimensi yang dapat dinikmati dengan indera penglihatan. Berkat keindahannya yang telah mendunia, batik mendapatkan pengakuan dari UNESCO pada tahun 2009 sebagai warisan kemanusiaan dalam budaya lisan dan budaya nonbendawi. Akan tetapi, di era globalisasi, banyak produk lokal, termasuk batik, yang mulai tergeser dengan produk-produk luar negeri. Apabila tidak dijaga dan dilestarikan, hal ini dapat terus menggerus rasa cinta warga negara terhadap kebudayaannya.
Konsep belajar sambil bermain dapat menjadi cara yang tepat untuk memperkenalkan batik kepada anak-anak sejak usia dini. Salah satu kegiatan yang mudah dilakukan dan disenangi adalah bercerita, tidak terkecuali bagi penyandang disabilitas. Namun sayangnya, bagi mereka yang memiliki kondisi tunanetra total (totally blind) dan tunanetra sebagain (low vision), batik merupakan sesuatu yang abstrak karena mereka tidak memiliki pengalaman untuk melihat keanekaragaman motif yang beragam.
Oleh karena itu, melalui Kelas Ilustrasi Buku Anak (KIBA), program studi DKV FSRD ITB, di pertengahan tahun 2021, merancang tiga buku taktil dengan 3D-printing. Ketiga buku tersebut diberi judul:
1. Wiih… Ada Kluwih! (mengenalkan motif batik Godhong Kluwih)
2. Menjelajah Taman Arum (mengenalkan motif batik Taman Arum)
3. Bernyanyi bersama Batik Cirebon (mengenalkan motif batik Mega Mendung, Paksi Naga Liman dan Naga Seba)
Media karya dosen dan mahasiswa ITB ini ditujukan bagi anak-anak tunanetra yang tidak memiliki pengalaman taktual dalam memahami motif batik Cirebon sebagai karya budaya. Meskipun mereka mengalami hambatan secara visual, 3D-printing yang disediakan dapat merangsang indera peraba. Teks braille juga turut membantu dalam menjelaskan motif atau bentuk apa yang sedang mereka raba.
Sebagai upaya uji coba, dua sekolah di Bandung dan Cirebon dipilih sebagai sampel fieldtesting. Di Bandung, tim melakukan kegiatan di sekolah yang berada di Pusat Pelayanan Terpadu Low Vision (Low Vision Center), Komplek Wyata Guna, Jalan Pajajaran. Di sana, buku-buku diperkenalkan kepada anak-anak tunanetra yang berusia di bawah enam tahun. Sementara itu, di Cirebon, tim mengunjungi murid kelas 1-6 SD di Sekolah Luar Biasa Beringin Bhakti Cirebon.
Hasil fieldtesting menunjukkan bahwa anak-anak memiliki ketertarikan yang tinggi terhadap buku yang dibawa. “Walaupun proses membacakan bukunya dilakukan secara bergantian karena keterbatasan buku cetak yang kami bawa, tapi beberapa anak sangat tertarik bahkan ingin mencoba semua buku yang tersedia,” jelas Dr. Riama Maslan Sihombing, Lektor Kepala FSRD ITB.
Anak-anak juga sangat antusias untuk berpartisipasi aktif dalam meraba 3D-printing motif-motif batik Cirebon dan teks braille pada buku taktil. Meskipun demikian, beberapa siswa masih sulit memahami pola yang mereka raba karena pada dasarnya, motif-motif tersebut terdiri atas gabungan gambar yang unik. Tentu, hal ini menjadi suatu tantangan tersendiri untuk dapat mendesain setiap motif dalam mode 3D.
Menurut Dr. Riama, salah satu hal menarik yang ditemukan adalah saat salah seorang anak menyebut motif “awan” sebagai “sapi” setelah merabanya. Rupanya, yang ia maksud “sapi” adalah tekstur semikasar pada lembar hasil 3D-printing yang mengingatkannya akan kulit sapi.
Selain meminta opini dari para siswa, tim DKV FSRD ITB juga melakukan pendekatan kepada para orangtua. Komentar-komentar positif atas buku taktil mereka pun didapatkan, bahkan salah satunya berkata, “Buku cerita anak itu jarang sekali ditemukan yang ada braillenya. Apalagi untuk pembelajaran-pembelajaran yang lain, di toko buku Gramedia itu jarang sekali ditemukan. Makanya, selain buku ini, ke depannya semoga bisa dibuat buku cerita pendek yang ada braille-nya begini.”
Sebagai masukan, para orangtua meminta peneliti untuk membuat teks braille berukuran sebagaimana mestinya agar lebih mudah dikenal dan dipelajari. Pada beberapa bagian, ukuran titik-titik teks dirasa terlalu besar sehingga perlu diraba secara perlahan supaya tidak ada yang terlewati. Seorang guru tunanetra di SLB Beringin Bhakti juga ikut menyarankan agar 3D-printing dibuat lebih jelas dan detail, serta dilengkapi dengan penjelasan mengenai sejarah dan makna motif batik.
Setiap komentar yang diterima dari kegiatan fieldtesting di Bandung dan Cirebon tentu akan menjadi bahan evaluasi yang baik. Harapannya, buku yang telah dibuat dapat diperbaiki agar benar-benar memfasilitasi anak-anak tunanetra dalam mengenal motif batik Cirebon sebagai warisan Bangsa Indonesia.
*Artikel ini telah dipublikasi di Media Indonesia rubrik Rekacipta ITB, tulisan selengkapnya dapat dibaca di laman https://pengabdian.lppm.itb.ac.id
Reporter: Sekar Dianwidi Bisowarno (Rekayasa Hayati, 2019)