Menghadapi Tantangan Zaman dengan Inovasi dan Tindakan Kolektif Membangun Kota
Oleh Adi Permana
Editor Adi Permana
BANDUNG, itb.ac.id — Pernahkah terbersit pertanyaan akan inovasi kota yang mungkin muncul di era disrupsi ini? Atau bagaimana kota dapat berkembang dan sampai manakah batasnya? Ridwan Sutriadi, S.T., M.T., Ph.D., sebagai Ketua Program Studi Sarjana Perencanaan Wilayah dan Kota (PWK) ITB mencoba memaparkan jawabannya pada Studium Generale KU-4078. Bertempat di Aula Barat ITB, Jalan Ganesa No. 10 Bandung, Rabu (22/1/2020), Ridwan Sutriadi membawakan Studium Generale dengan tema “Perencana Kota: antara Inovasi dan Tindakan Kolektif Membangun Kota”.
Acara pagi hari itu dibuka dengan sambutan oleh Wakil Rektor Bidang Administrasi Umum, Alumni, dan Komunikasi (WRAAK) ITB, Dr. Miming Miharja, S.T., M.Sc.Eng., yang juga staf pengajar Program Studi PWK Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan (SAPPK) ITB. Ia memberikan ilustrasi mengenai proses pembangunan kota. Seluruh program studi yang ada di ITB, menurutnya, turut berkontribusi terhadap pengembangan kota, sehingga membangun kota merupakan kerja bersama dari semua bidang. “Inilah salah satu implementasi dari tindakan kolektif membangun kota. Pekerjaan seorang planner (planolog atau perencana) adalah menjadi dirigen, mendefinisikan visi pengembangan kota, bahu membahu dengan (keahlian) yang lainnya,” tambahnya ketika menjelaskan peran perencana kota.
Membangun Kota Bersama-sama
Ridwan Sutriadi mengawali sesi pemaparan dengan membuka pertanyaan bagi peserta Studium Generale. Pertanyaan yang terkumpul pun beragam, mulai dari transportasi yang paling baik di wilayah kepulauan, indikator kota yang tidak dapat dikembangkan lagi, hingga dampak pemindahan ibu kota. Para mahasiswa tampak antusias mengutarakan keingintahuannya.
Pertama-pertama ia menjelaskan, kota merupakan kawasan yang dibangun untuk tempat tinggal, bekerja, berkunjung, dan bermain (wisata). Kota juga melambangkan peradaban terkini dari manusia. Seiring berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi, pemaknaan kota pun menjadi luas, tidak hanya kota yang dapat ditunjukan secara fisik, tetapi juga kota maya.
Kota secara fisik ialah kota yang seperti kita kenal selama ini, tetapi kota maya ialah kota virtual dimana kita saling berkomunikasi, berinteraksi, bahkan berbisnis, tanpa saling bertatap muka. “Dengan tren yang berubah-ubah dan terus berganti, perencana harus berpikir lebih rinci tentang masa depan. Kita harus dapat memprediksi perkembangan yang mungkin terjadi di periode ke depan dan pada setiap tahunnya,” ujarnya.
Ridwan memaparkan, terdapat empat tahapan kota menuju masa depan, yaitu rudimentary, functioned, integrated, dan scalable. Pertama-tama, suatu kota berupaya memenuhi kebutuhan dan mempertimbangkan ketersediaan, kemudian pemenuhan kebutuhan dilakukan dengan mengadopsi solusi modern. Setelah itu, kota dapat memenuhi kebutuhan aspiratif dari semua pemangku kepentingan dan mengadopsi pendekatan holistik dalam pembangunan kota. Hingga akhirnya kota tersebut siap memasuki tantangan baru, dan kemudian mengadaptasi perubahan secara cepat melalui skenario pembangunan yang tepat dan proporsional. “Kuncinya ada tiga, never stop learning, reinvent yourself, use your most powerful tools,” kata penerima penghargaan Press ITB tahun 2019 itu.
Perihal inovasi, Ridwan menyatakan bahwa kita membutuhkan tidak hanya satu orang “gila” untuk membawa terobosan, tapi kalau bisa satu kampung, satu kota yang “gila”. Ia mencontohkan kesuksesan Banyuwangi dengan from mystic to majestic-nya dimana rakyat Banyuwangi yang menjadi kunci keberhasilan.
Ia menuturkan bahwa menurut buku Marketing Place karya Philip Kotler, kota itu seperti bunga. Suatu ketika bunga akan mekar lalu layu dan mati. Penulis lainnya menambahkan, kota bisa terus berkembang, namun di pinggirannya dan tidak di pusat kota. Akan tetapi, Ridwan kemudian menyampaikan bahwa kondisi di Indonesia tidaklah seperti itu, pusat kotanya pun tetap berkembang. Dengan pembangunan yang pesat dan bisa tidak terkontrol, kota perlu diperlambat ataupun dihentikan perkembangannya berdasarkan pertimbangan lingkungan, meskipun hal ini seringkali bertolak belakang dengan perspektif investasi dimana semakin padat maka semakin menguntungkan. Oleh karena itu, ia menyampaikan alternatif pengembangan kota berupa smart shrink. “Ada istilah smart shrink, kota jangan dibuat besar, kecil saja. Ketika kota membesar, konsumsi akan makin besar. Jadi kotanya diperlambat, agar tidak terlampaui daya dukung lahannya,” tuturnya.
Ridwan pun menerangkan bagaimana jejaring aktor yang berperan dalam perencanaan kota, termasuk dengan perkembangan teknologi informasi yang memungkinkan adanya tambahan pemangku kepentingan. Pemaparan ini pun melengkapi pemaknaan kerja kolektif seperti yang telah dijelaskan Miming Miharja sebelumnya.
Inovasi merupakan bekal untuk membangun kota di era yang terus berubah dengan cepat dan dinamis. Namun tanpa tindakan kolektif, segala upaya pembangunan kota akan sukar terlaksana. Ini adalah tugas bagi semua yang terlibat dalam perencanaan kota, semua warga kota, untuk bahu membahu memberi kontribusi bersama.
Reporter: Haura Zidna Fikri (PWK, 2016)