Pakar ITB Mengupas Peristiwa Gempa 2 Agustus di Selat Sunda

Oleh Adi Permana

Editor Adi Permana

*Foto: Irfan Ibrahim

BANDUNG, itb.ac.id – Pusat Unggulan Iptek Sains dan Teknologi Kegempaan (PUI-STG) Institut Teknologi Bandung bekerja sama dengan Pemerintah Kota Bandung mengadakan Diskusi Terbuka Kejadian Gempa 2 Agustus 2019 di Selat Sunda dan Implikasinya. Kegiatan ini dilaksanakan di Auditorium Pemerintah Kota Bandung, Jl. Wastukencana No. 2, Bandung, Sabtu (10/8/2019).

Diskusi tersebut diisi oleh para pakar yang relevan dengan tema tersebut yakni Dr. Andri Dian Nugraha selaku Pakar Seismologi, Dr. Irwan Meilano selaku Pakar Geodesi Gempa Bumi, Dr. Astyka Pamumpuni selaku Pakar Geologi Gempa Bumi, Dr. Zulfakriza selaku Pakar Geofisika Gempa Bumi, dan Aria Mariany, M.T. selaku Peneliti PPMB-ITB. Kegiatan ini dihadiri oleh berbagai kalangan di Kota Bandung, akademisi ataupun para pejabat pemerintahan. 

Pemaparan pada kegiatan diskusi ini dimulai oleh Dr. Andri Dian Nugraha yang merupakan dosen pada Kelompok Keilmuan Geofisika Global, Teknik Geofisika, Fakultas Teknik Pertambangan dan Perminyakan (FTTM) ITB. Ia memulai pemaparan dari hal fundamental berupa definisi dari gempa itu sendiri. Ia menjelaskan bahwa pada dasarnya gempa merupakan goncangan pada permukaan bumi yang dapat terjadi karena aktivitas vulkanologi ataupun pergesaran lempeng.

Menurut penjelasan Dr. Andri Dian Nugraha ini, gempa yang terjadi pada tanggal 2 Agustus 2019 lalu di Selat Sunda merupakan gempa tektonik, yakni akibat pergeseran lempeng pada zona subduksi. Adanya pergerakan lempeng secara divergen di lokasi tersebut dari waktu lampau menghasilkan zona subduksi yang berupa zona pertemuan dua lempeng yakni lempeng samudera Indo-Australia dan lempeng benua Eurasia.

*Foto: Irfan Ibrahim

Pada pemaparannya, ia melakukan visualisasi terhadap segmentasi selat sunda, yakni area yang memiliki potensi tinggi sebagai pusat gempa akibat zona subduksi di bawah busur sunda tersebut. Gempa yang terjadi pada 2 Agustus 2019 lalu dengan Magnitudo 6,9 sebenarnya terbilang cukup rendah dibandingan dengan potensi maksimal gempa di area tersebut. Menurutnya, pada area subduksi tersebut, memiliki potensi gempa hingga mencapai Magnitudo 8.7.

Pemaparan selanjutnya oleh Dr. Zulfakriza merupakan dosen pada Kelompok Keilmuan Geofisika Global, Teknik Geofisika ITB, yang diberi judul Goncangan Gempa dan Hentakan Kesadaran. Kali ini pemaraparan dimulainya dengan visualisasi dari track record terjadinya gempa di sekitaran Pulau Jawa dengan nilai Magnitudo lebih dari 5.

Gempa Intraslab

Ia mengutarakan bahwa dari gempa-gempa yang terjadi tersebut menunjukkan pola yang sama di mana gempa tersebut terjadi pada zona kontak antar lempeng pada area subduksi tersebut. Namun gempa 2 Agustus 2019 di Banten ini merupakan gempa jenis intraslab di mana pusat gempa terjadi pada kerak samudera yang menunjam kebawah kerak benua yang tidak terjadi kontak langsung antar keduanya. “Ini merupakan sebuah keunikan karena termasuk anomaly jika dibandingkan dengan gempa yang telah terjadi lebih dahulu,” katanya.

Selanjutnya, Dr. Astyka Pamumpuni yang merupakan dosen pada Kelompok Keilmuan Geologi Terapan melakukan pemaparan dengan judul ‘Mengapa kerusakan akibat gempa berbeda beda?’ Ia memulai penjelasan dengan menerangkan dua faktor utama yang menyebabkan terjadinya gempa. Faktor pertama berupa intensitas guncangan gempa yang dipengaruhi beberapa variable seperti magnitude, kedalaman, jarak lokasi terkait dari sumber, serta jenis batuan. Kedua, adalah kualitas bangunan yang ada di lokasi terkait.

Terkait dengan faktor pertama ia menjelaskan bahwa pada hakikatnya jika dua gempa dengan magnitudo yang sama belum tentu memiliki kekuatan goncangan yang sama. Pasalnya hal tersebut juga dipengaruhi oleh kedalaman sumber gempa. “Jika sumber gempa semakin dangkal maka goncangan pada permukaan akan semakin kuat dan berbahaya. Terkait kerusakan pada lokasi terkena dampak gempa juga dipengaruhi oleh variable jarak. Lokasi yang semakin dekat dengan sumber memiliki tingkat kerentanan yang lebih tinggi untuk terjadinya kerusakan akibat gempa,”sambungnya.

Berhubungan dengan jenis batuan, menurut Dr. Astyka Pamumpuni, area dengan jenis batuan yang berbeda akan memberikan respon berbeda terhadap gempa tergantung jenis batuannya. Sehingga dalam hal ini perlu diintegrasikan antara analisis batuan suatu area dengan spesifikasi bangunan yang akan dibangun di atasnya. “Sebagai contoh, pada area dengan jenis batuan atau tanah yang terbilang rapuh atau tidak kompak seperti batu gamping, diperlukan kolom bangunan yang lebih dalam,” jelasnya.

Perlu Mitigasi Bencana

Selanjutnya, Dr. Irwan Meilano yang merupakan dosen pada Kelompok Keilmuan Geodesi, Teknik Geodesi dan Geomatika ITB juga memberikan pemaparan dengan judul “Makna Gempa 2 Agustus 2019 untuk Bandung.” Menurutnya diskusi dengan tagline EQ-Citizen (Earth Quake Citizen) ini bertujuan untuk mewujudkan masyarakat yang sadar akan bencana gempa dan siap menghadapinya.

Memperkuat yang disampaikan oleh Dr. Zulfakriza, ia menjelaskan bahwa gempa 2 Agustus 2019 di Selat Sunda memang berbeda dengan prediksi pada umumnya. Dari hasil plotting dapat dilihat bahwa arah pergerakan lempeng pada gempa sebelumnya terbilang sejajar dengan zona subduksi di area tersebut. Namun kali ini tidak demikian, pergerakan lempeng yang terjadi tegak lurus dengan zona subduksi.

Kemudian, dari data yang tersedia ia juga melakukan modeling terhadap posisi vertical dari permukaan dasar laut di lokasi terjadinya gempa. Ditemukan bahwa pasca gempa tersebut terdapat uplift atau kenaikan permukaan dasar laut sebesar 5,5 centimeter.

“Dari kejadian ini ada setidaknya tiga poin penting yang perlu kita ketahui. Pertama, perlu disadari bahwa selatan Jawa Barat memiliki potensi gempa dengan besar lebih dari Magnitudo 5. Kedua terjadinya gempa yang lebih besar dari gempa 2 Agustus 2019 akan berdampak serius. Ketiga, masyarakat Kota Bandung belum siap dalam penanganan bencana sehingga perlu edukasi lebih lanjut,” ujarnya.

Pemaparan terakhir oleh Aria Mariany, M.T. Menurutnya secara geografis dapat dilihat Kota Bandung sejatinya juga memiliki sumber gempa sendiri yakni berupa Sesar Lembang. Observasi yang ia lakukan terkait Sesar Lembang menunjukkan bahwa sesar tersebut banyak melalui pemukiman penduduk. Akibatnya jika terjadi gempa dapat menimbulkan potensi kerusakan yang cukup parah.

“Dalam hal ini kita perlu bekerja keras dalam menurunkan kerentanan terjadinya bencana di Kota Bandung sendiri. Hal tersebut menurutnya dapat dilakukan dengan beberapa hal seperti edukasi lebih lanjut kepada warga sekitar terkait penataan ruang serta mewujudkan adanya safe zone, simulasi bencana secara teratur, memastikan kesiapsiagaan individu dan komunitas dalam menghadapi bencana,” kata Ari yang juga sedang menempuh pendidikan Doktoral ITB itu.

Reporter: Irfan Ibrahim (Teknik Geodesi dan Geomatika, 2016)