Pelajaran dari Tsunami Palu, Indonesia Perlu Belajar dari Jepang

Oleh Adi Permana

Editor Adi Permana

*Kondisi Pantai Talise, Palu yang rusak pasca tsunami. (Foto: Moch. Akbar)

PALU, itb.ac.id -- Tsunami yang terjadi di Palu berbeda dengan tsunami yang terjadi di Aceh pada tahun 2004. Ketika tsunami Aceh terjadi, hiposentrum atau pusat terjadinya titik gempa terletak di dalam laut sehingga menimbulkan gelombang yang tinggi lagi panjang. Berbeda dengan tsunami yang terjadi di Palu, pusat titik gempanya terjadi di darat, namun dapat menyebabkan tsunami di laut.


Berdasarkan hasil pengamatan dari Ahli tsunami Institut Teknologi Bandung, dari Kelompok Keahlian Sumber Daya Air, Mohammad Bagus Adityawan, ST, MT, PhD., bahwa bentuk pantai di Palu cukup berbeda, yakni dengan adanya bagian laut yang menjorok ke darat atau biasa disebut dengan teluk. Keberadaan teluk ini berdampak ketika ombak yang menghadang, ia akan berkumpul kemudian menghantam sisi pantai dan berkumpul di area yang sama, sehingga menyebabkan besarnya gelombang yang dihasilkan akibat hantaman ke arah pantai.

Ketika melakukan kunjungan ke pantai Taipa di Palu, dosen yang meraih gelar doktoral di Universitas Tohoku Jepang ini, menemukan tetrapoda blok beton pantai yang sudah berantakan dan rusak. Alat ini berguna untuk menahan dan memecah ombak yang menghampiri pantai. Namun sayang, kondisinya saat ini sudah berjatuhan dan terguling. 

Sebagai perhatian, ketika tsunami menghantam daratan, masyarakat perlu sadar bahwa gelombang air tersebut akan menarik kembali ke arah laut dengan lebih kuat. "Sehingga perlu diantisipasi juga tarikan ke laut oleh warga pesisir jika hal yang sama terjadi," kata Bagus Adityawan ketika diwawancara reporter Kantor Berita ITB. 

Tak hanya itu, ahli tsunami yang sekaligus lulusan ITB ini juga melihat dampak tsunami pada sungai sekitarnya. Tsunami yang masuk kembali ke sungai seperti masuk jalan tol, dapat berhenti setelah berkilo-kilo meter jauhnya. Jika terjadi tsunami kembali, perlu dilakukan perhitungan seberapa jauh dampak tsunami berpengaruh pada sungai di sekitarnya, atau bahkan zonasi serta perlindungan terhadap tsunami itu sendiri. 

Ada baiknya, diberlakukan aturan izin pembangunan lahan maksimal 100 meter dari pantai sehingga dapat mengurangi risiko korban. Indonesia sudah sepatutnya belajar dari Jepang perihal tsunami. Jepang melakukan multi defense, yaitu pembuatan tanggul secara berlapis. Seperti tanggul untuk di pinggir pantai, kemudian jalan raya yang turut didesain sedemikian rupa agar dapat menjadi benteng pertahanan air. "Karena tujuan dari ikhtiar ini tentu bermuara pada minimalisasi dampak kerusakan dan korban. Karena bencana alam tak bisa ditahan, hal tersebut tak mungkin dihilangkan dan sudah ketentuan dari Tuhan," ucapnya.

Ia juga menyampaikan bahwa sangat mungkin ada usulan program yang dapat diterapkan oleh ITB dan pihak-pihak terkait mengenai pengembangan sumber daya air. Misalnya, pembuatan master plan tata air, pengaturan saluran irigasi yang terputus agar dapat mengairi sawah atau perkebunan di sekitar, dan penyusunan sistem drainase. "Karena tampaknya belum ada usulan terkait hal ini. Semoga ke depannya dapat direncanakan program-program untuk kembali membangun dan membangkitkan Palu, Sigi, serta Donggala," harapnya.

Reporter: Moch Akbar Selamat