Pengembangan Bioindikator untuk Pengelolaan Kualitas Air Sungai

Oleh Adi Permana

Editor Adi Permana

*Foto: Dok. E-learning ITB


BANDUNG, itb.ac.id – Berdasarkan data Badan Pusat Statistik pada tahun 2016 menyatakan bahwa 56 persen sungai di Indonesia berada dalam status tercemar berat. Tingginya tingkat pencemaran pada badan air karena aktivitas manusia khususnya di Indonesia ini dapat mempengaruhi aspek kehidupan manusia dan membawa kerugian.

Kerugian tersebut terdapat pada tingginya biaya pengelolaan air minum, kesehatan, serta kerusakan keseimbangan ekosistem air. Untuk itu perlu dikembangkan bioindikator sebagai penilaian kualitas air permukaan dengan parameter tertentu sebagai salah satu upaya untuk mengelola kualitas air sungai. Hal inilah yang menjadi topik utama orasi imliah Prof. Barti Setiani Muntalif Ph.D., pada acara Orasi Ilmiah Forum Guru Besar ITB yang diselenggarakan pada Sabtu, 21 September 2019 di Aula Barat ITB.

Dalam orasi ilmiah yang berjudul “Pengembangan Bioindikator Sebagai Upaya Pengelolaan Kualitas Air Sungai”, Prof. Barti menyampaikan bahwa penilaian kualitas air permukaan dengan parameter kimia-fisika belum efektif dalam memberikan perlindungan dan pengendalian kerusakan ekosistem badan air. Sehingga pada umumnya, parameter tersebut hanya menggambarkan kondisi kualitas air saat pengambilan sampel dan tidak mencerminkan kualitas air yang real. “Maka dari itu diperlukan indikator yang ada di lokasi air yang tercemar. Indikator tersebut merupakan makhluk hidup yang menjadi salah satu parameter yang menentukan kondisi badan air,” ujarnya.

Makrozoobentos sebagai Bioindikator Penilaian Kualitas Air Permukaan

Makrozoobentos merupakan organisme mikroinvertebrata (hewan invertebrate berukuran kecil) yang hidupnya melekat di dasar sungai, antara batuan, dalam runtuhan bahan organik, batang kayu, dan ekosistem dekat perairan sungai lainnya. Contoh dari makrozoobentos adalah Annelida (cacing cincin), Sulcospira sp. (siput air tawar), dan Rhyacophilia sp (sejenis kepik). “Organisme ini umumnya mempunyai kemampuan untuk menghancurkan material yang besar menjadi lebih kecil dan partikel tersebut akan menjadi substrat (medium) bakteri untuk berkembang biak. Proses dekomposisi ini berperan penting terutama dalam regenerasi unsur hara dan nutrien sehingga menunjang keberlangsungan ekosistem sungai,” tutur Prof. Barti. 

Penggunaan makrozoobentos sebagai bioindikator ini memiliki beberapa keuntungan yaitu mampu merefleksikan kondisi lokal suatu ekosistem sungai, mempunyai siklus hidup yang relatif panjang (lebih dari 1 tahun), mudah disampling, tingkat sensitivitas yang beragam terhadap polutan, dan keberadaannya relatif melimpah. 

Prof. Barti menyampaikan bahwa terdapat tiga klasifikasi dalam makrozoobentos sebagai bioindikator. Klasifikasi pertama adalah bioindikator untuk air tercemar ringan digunakan Sulcospira sp. dan Rhyacophilia sp. karena memiliki nilai toleransi yang rendah. Klasifikasi kedua adalah bioindikator untuk air tercemar sedang digunakan Hydrospyche sp. karena nilai toleransi yang sedang. Sedangkan klasifikasi terakhir adalah bioindikator untuk air tercemar berat yang menggunakan Chironomus sp. dan Tubifex sp. karena nilai toleransi yang tinggi.

Prof. Barti juga berkata bahwa dalam aplikasinya, penggunaan bioindikator sebagai pendeteksi pencemaran air sungai juga dibarengi oleh uji analisis kualitas air dengan metode Family Biotic Index (FBI), Lyncoln Quality Index (LQI) serta Indeks Shannon Wiener untuk mengonfirmasi pencemaran lingkungan secara analitis.

Pemodelan Pertumbuhan Makrozoobentos

Pemodelan pertumbuhan makrozoobentos dilakukan dengan tujuan sebagai model yang memprediksi pengaruh lingkungan terhadap dinamika populasi makrozoobentos. Prof. Barti menyampaikan bahwa dengan analisis statistik regresi polynomial, pertumbuhan populasi makrozoobentos dalam per m3 per satuan waktu dipengaruhi oleh laju pertumbuhan makrozoobentos, jumlah populasi makrozoobentos per m3, faktor lingkungan, serta kapasitas daya dukung populasi makrozoobentos.

“Pemodelan ini telah diuji coba di hulu Sungai Citarum dan diperoleh bahwa pertumbuhan populasi makrozoobentos dipengaruhi oleh kelimpahan bioindikator, laju pertumbuhan intrinsik bioindikator, faktor lingkungan, dan daya dukung lingkungan,” ungkap Prof. Barti.

Penggunaan makrozoobentos sebagai bioindikator dapat menggambarkan dampak dari senyawa berbahaya. Faktanya, di Afrika Selatan, program biomonitoring dengan menggunakan bioindikator telah menjadi pendekatan yang cepat, integratif, dan cost-effective. “Penggunaan bioindikator juga dinilai sangat baik untuk melihat dampak akibat kombinasi seluruh kontaminan dan sumber tekanan lingkungan,” lanjutnya.

Dijelaskan Prof. Barti, penggunaan bioindikator serta pemodelan pertumbuhannya dapat menunjukkan kondisi ekologis perairan secara lokal, spesifik, dan dapat menggambarkan integrasi efek perubahan lingkungan jangka pendek. “Penggunaan makrozoobentos di Indonesia memiliki banyak potensi untuk dikembangkan dan memberikan kemudahan dalam pemantauan di lapangan serta dapat dipantau lebih lanjut,” jelasnya.

Reporter: Billy Akbar Prabowo (Teknik Metalurgi, 2016)